Cari

09 Maret 2019

Perjalanan Sebuah Surat




Kamis, 30 Agustus 2018. Matahari bersinar dengan riang pagi ini. Tidak seperti biasanya, hari ini adalah hari terbaikku. Aku segera menuruni tangga sambil membawa sebuah koper besar dan sebuah ransel menuju pintu utama. Di balik pintu, kulihat dirinya sudah berdiri menungguku di sana.


“Hey Mel. Kau sudah siap?” tanyanya. Aku tersenyum lebar. Mungkin bisa selebar pipiku. “Berhenti tersenyum selebar itu. Bibir dan pipi kau masih lebih besar bibir kau,” katanya sambil mencubit pipiku dengan dua jarinya. Aku menarik tangannya. “Kau juga berhenti mencubitku. Aku bukan squishy yang bisa kau cubit seenak jidat kau,” balasku menentang. Ia tertawa setelah mendengarnya. Aku pun ikut tertawa melihatnya. Karena salah satu hal yang aku suka di dunia ini adalah senyum dan tawanya.

“Ayo! Taksinya sudah menunggu. Kau tak ingin ketinggalan pesawat bukan?”

“Tentu saja. Biar aku kunci pintunya dahulu.”

Namaku Mella. Aku adalah wanita lulusan universitas ternama di wilayahku ini, Deli Serdang. Aku lulus tahun lalu. Dan temanku yang bersamaku ini adalah Frayz. Dia adalah pria yang... yah, dapat kukatakan cukup memukau. Kami pertama bertemu di kampus. Dia satu angkatan di atasku. Bagaimana kami bisa jadi dekat? Jika diceritakan akan sangat panjang dan membentuk sebuah cerita tersendiri. Tapi yang pasti, dia adalah kakak terbaikku.

Kami menuju Bandara Kuala Namu. Kenapa? Karena itu bandara yang paling dekat. Ha ha ha... tidak, aku hanya bercanda. Kami akan pergi jalan-jalan keliling Indonesia. Kapan lagi bisa mendapat kesempatan seperti ini. Berkeliling Indonesia adalah impian kami sejak lama. Kami mengumpulkan sisa-sisa uang saku kami untuk ini. Ada pepatah yang mengatakan ‘lakukan apa yang kau inginkan selagi masih muda’.

Selama perjalanan, kami saling bertukar informasi yang kami kumpulan dari internet. Destinasi kami meliputi beberapa daerah terkenal. Dan tak ketinggalan daerah-daerah yang masuk ke dalam list Festival Indonesiana 2018. Daerah kami juga merupakan destinasi tujuan festival. Bukannya kami tak berkeliling daerah sendiri, tapi kami menyimpannya untuk yang terakhir. Save the best for the last. Itu yang sering teman-temanku katakan.

“Mel. Kan, kita baru beli tiket pergi saja. Kira-kira kita mau berapa lama di Dataran Tinggi Gayo?” Frayz melontarkan pertanyaan. Aku memicingkan mata dan berkata, “Aku pikir dari sana kita ke Sabang dulu. Banyak keluargaku yang bilang di sana menyenangkan.”

“Baiklah. Kau yang memimpin nyonya.”

“Iih, apaan sih! Kok nyonya?!”

Tapi dia hanya tertawa. Dan aku pun kembali tertawa melihatnya. Perjalanan kami menuju bandara menjadi terasa sangat sebentar karenanya.

Sesampainya di sana, kami langsung check-in. Dan setelahnya kami menyadari bahwa jam baru saja menunjuk pukul sembilan pagi, yang mana jadwal kami adalah 10.30 WIB. Mungkin karena kami terlalu semangat sehingga kami tidak memperhatikan waktu. Mau tak mau, kami harus menunggu. Setidaknya lebih baik dari pada terlambat.

“Kau mau sesuatu? Jadwal kita masih lama. Kita masih bisa menunggu di kafe,” ajak Frayz. Aku mengangguk setuju. Kami berjalan menuju salah satu kafe di dalam bandara.

“Kau mau apa?”

Aku mendongakkan kepalaku untuk melihat daftar menu yang terpampang. Siapa pun tak akan terkejut lagi jika sudah pernah membeli sesuatu di bandara. Harganya bisa lebih tinggi berkali-kali lipat.

“Aku mocha avochiatto.”

“Tolong mocha avochiatto-nya satu dan expresso-nya satu.”

“Baik. Atas nama siapa?”

“Frayz.”

“Totalnya Rp 95.000,00.”

Fray mengambil uang dari dompetnya dan memberikan selembar uang seratus ribu pada kasir. Kemudian aku menyadari sesuatu. Dompet yang ia pakai sekarang adalah hadiah yang kuberikan saat kelulusannya. Sudah dua tahun silam, mengapa ia baru memakainya?

“Kembalian lima ribu. Mohon ditunggu.”

“Terima kasih,” balas Frayz.

Kami duduk di bangku yang kafe sediakan. Dan aku membuka suara lebih dahulu.

“Dompetmu itu. Hadiah dariku bukan? Kau baru memakainya?” tanyaku. Dia tersenyum lembut. 

“Iya. Kenapa? Kau kecewa baru kupakai?”

“Tentu saja aku kecewa. Aku sempat berpikir kau tak menyukainya,” ucapku dalam hati. Namun, tentu aku takkan mengatakannya. Aku menggelengkan kepala dan menjawab, “Tidak. Hanya heran saja.”

Frayz tak langsung membalasku. Dia menatapku lekat-lekat selama beberapa saat. Dan itu membuatku tak nyaman. “Apa yang kau perhatikan? Hentikan! Itu membuatku tak nyaman,” ucapku. Lagi-lagi ia tertawa untuk kesekian kalinya hari ini. “Apa yang kau tertawakan?” tanyaku. Ia kembali menatapku dan menjawab, “Meski kita baru bertemu lima tahun yang lalu, aku tahu tanda-tanda kau sedang berbohong.”

Aku menatapnya tak mengerti. “Apa maksudmu? Tanda apa?” tanyaku lagi. Kali ini ia tersenyum dan menunjuk jariku yang memainkan rambutku tanpa kusadari. Aku menerka dalam hati bagaimana caranya tahu. Karena aku sendiri sering kali tak menyadarinya. Frayz tertawa (lagi) melihatku. “Kau pasti bingung mengapa aku bisa tahu. Tenang saja. Aku mengetahui tanpa disengaja, bukan stalking,” katanya.

“Kepada saudara Frayz. Kepada saudara Frayz,” panggilan kasir menghentikan tawanya. “Aku ambil minumannya dulu.”

Waktu berlalu seiring semakin jauhnya percakapan kami. Frayz melihat arlogi di tangan kanannya. “Sudah jam sepuluh. Ayo, kita tunggu di dalam saja,” ajaknya. Aku mengangguk dan berjalan di sampingnya.
***

Rabu, 26 September 2018.
Jepret... bunyi jepretan kamera terdengar jelas di telingaku. Aku memutar wajah ke asal bunyi. “Frayz! Berhenti mengambil fotoku tanpa izin!” kataku sambil berusaha meraih kamera yang ia pegang. Tentu jika aku bisa menggapai, aku akan mengambilnya. Tapi perbedaan tinggi kami terlampau cukup jauh. Bahkan selama perjalanan ini saja, beberapa orang sudah salah mengira aku adalah keponakannya. Atau yang lebih parah lagi ‘anak’.

“Hayo. Bagaimana kau bisa mengambilnya? Kau hanya sebahuku,” godanya. Aku cemberut. “Baiklah. Aku pulang ke hotel saja,” gerutuku. Frayz tersenyum. “Silakan saja. Jika kau hafal jalan kembali,” balasnya dengan senyuman.

Kurang asam! Dia tahu aku tak memperhatikan jalan. Aku tak bisa membalasnya, sehingga aku hanya diam saja. Kami diam selama beberapa saat, sampai akhirnya ia membuka suara. “Oke, oke. Aku mengalah. Akan kuhapus foto yang kau tak mau.”

Sebenarnya aku tak masalah. Hanya saja... yang tak kuingin adalah sikap jahil Frayz yang melibatkanku. Terakhir kali dia menyebar foto wajah jelekku pada sepupunya. Dia cukup memukau tapi menyebalkan juga.

“Awas kalau tidak. Tak usah pulang barengku,” ancamku. “Ya, ya. Ayo jalan lagi. masih satu jam lagi sebelum matahari terbenam,” ucapnya yang kemudian merangkul bahuku. Baru saja aku akan memindahkan tangannya, seorang pengendara sepeda tiba-tiba melaju kencang di sebelahku dan membuatku terkejut.

“Di sini bukan hanya kita saja, jadi perhatikan sekeliling juga. Kalau kau terlalu cuek, bisa-bisa kau diculik. Kita ada di Palu, mana mungkin aku mencarimu di seluruh penjuru Palu.”
Aku tak membalas perkataannya. Tapi harus aku akui, diriku memang terlalu cuek. Dan mengenai penculikan itu, yang ia katakan adalah kejadian masa laluku. Butuh waktu sampai tujuh tahun sampai aku berani untuk pergi sendiri.

“Terima kasih,” ucapku pelan. Sepelan angin yang menghembus sore ini. “Apa? Aku tak dengar?” tanyanya. Aku memalingkan wajah dan berkata, “Terima kasih telah mengingatkanku.”
Dia mengacak-acak rambutku. “Sama sama,” balasnya.

***

Senin, 1 Oktober 2018. Kami berencana untuk berpindah ke Kalimantan. Ya, rencana. Namun Tuhan yang berkehendak. Kota Palu digoncang oleh gempa bumi berkekuatan 7,4 SR - jika aku tak salah dengar – beberapa hari yang lalu. Sekarang aku berdiri diam menatap hotel tempat kami menginap. Ya, hanya aku seorang. Saat terjadinya gempa, aku sedang keluar sendirian menuju minimarket terdekat untuk keperluanku. Dan semua terjadi begitu cepat. Hotel kami roboh.

Tim SARS sedang berusaha menemukan dan menolong orang-orang yang masih terjebak di antara puing-puing reruntuhan hotel. Aku tak ingat sudah berapa hari aku lewatkan tanpanya. Dan di tiap nafasku, selalu kusematkan doa untuknya.

“Kakak sedang apa di sini?”

Suara anak kecil yang bertanya mengalihkan perhatianku. Aku menundukkan kepala. Seorang anak perempuan kecil dengan pakaian yang... terlihat tidak seperti pakaian lagi. Tingginya bahkan tak melebihi perutku.

Aku berlutut dan tersenyum padanya. “Adik sendiri sedang apa di sini? Di sini, kan, bahaya untuk anak sekecilmu. Di mana keluargamu?” tanyaku sembari menggenggam tangan mungilnya. Anak itu tak langsung menjawabku. Ia memutar wajahnya ke arah reruntuhan hotel dan menatapnya selama beberapa lama.

“Aku sedang keluar bermain dengan teman-teman. Rumahku ada di belakang situ (hotel). Awalnya aku ingin menjemput mama papa, tapi mereka (SARS) melarangku. Jadi aku menunggu di sini,” katanya dengan suara lucunya. Sesaat aku merasa sangat sedih. Rumahnya sudah pasti tak utuh lagi karena tertimpa reruntuham hotel. Kejadian sebesar ini menimpa dirinya yang masih kecil. Kita para orang dewasa saja butuh waktu untuk bangkit. Bagaimana dengannya?

“Aku sering melihat kakak di sini. Ada yang kakak tunggu?”

Aku mengangguk. “Iya. Teman kakak. Kami menginap di hotel itu,” jawabku. “Tadi kau bilang, kau sedang bermain dengan teman-temanmu. Di mana mereka? Kau tak bersama mereka?” lanjutku bertanya. Ia menggelengkan kepala. Awalnya kupikir karena ia hanya ingin orang tuanya sehingga ia meninggalkan teman-temannya. Tapi alasan yang sebenarnya benar-benar membuatku ingin menangis.

“Teman-teman tidak dikasih oleh orang tuanya pergi terlalu jauh dari tenda. Beberapa temanku juga ada yang sudah pergi dari sini dengan orang tuanya.”

“Lalu kau tak punya kerabat lain? Paman atau bibi?”

Ia menggeleng. “Mama papa sama sama anak tunggal.”

Aku memeluk dirinya, berharap ia tak kehilangan semangat hidupnya setelah kejadian ini. Ya Tuhanku. Mengapa Kau biarkan kejadian ini menimpa anak yang tak berdosa ini? Ada hal apa yang Kau rencanakan di baliknya, ya, Tuhan?

***

Jumat, 13 Oktober 2018.
Aku berlutut menghadap sebuah nisan yang terlihat seadanya. Kutaruh bunga rumput dan berdoa untuknya. Kuseka air mataku yang mengalir pelan. “Semoga kau berada di sisi Tuhan. Aku di sini ingin pamit padamu. Dan terima kasih semuanya.”

Aku berjalan menuju sebuah mobil – anggap mobil jeep. Aku akan pulang ke Deli Serdang dengan menumpang para sukarelawan lain yang kebetulan sedaerah denganku. Perjalanan pulang kali ini akan terasa sangat panjang. Aku menatap langit. Tanah Palu sedang menangis. Dan tampaknya langit pun tak berani untuk tersenyum.

“Langit kali ini tak menyenangkan untuk dipandang, ya?”

Aku menghela nafas. “Iya. Perjalanan ini saja sudah kelabu dengan bencana yang terjadi. Dan kemudian, berita kematiannya. Entah mengapa rasanya seperti tak ingin pulang tapi juga tak ingin di sini,” ucapku panjang.

“Kau sangat menyayanginya? Sampai kau lesu begini.”

“Aku tak tahu.”

“Yang benar saja. Masa tidak tahu.”

“Hentikan, Frayz! Aku tak sedang dalam mood yang bagus.”

“Maaf, maaf.”

Keheningan melanda kami. Sampai akhirnya aku buka mulut. “Aku sudah takut kau takkan selamat. Setiap hari aku hanya berdiri menunggu sendirian di sana. Sampai Fia menghampiri dan mengajakku bicara. Jika dia saja masih menyimpan setitik harapan tentang orang tuanya dalam dirinya. Mengapa aku tidak? Aku menjalani hari ditemani olehnya. Dan saat kegiatan sukarelawan, aku menemukan ia meninggal karena penyakit setelah bertemu denganmu lagi. Ini seperti kau hanya bisa memiliki salah satu dari yang kau inginkan.”

“Tapi kau juga tak bisa seperti ini terus. Seperti yang kau bilang tadi. Fia saja menyimpan setitik harapan tentang orang tuanya, mengapa kau yang tak mengalami hal fatal harus terus bersedih? Setidaknya kau sudah berusaha membantu yang lainnya, padahal kau sendiri juga korban.”

Aku berpikir sejenak dan menghadap pada Frayz. Kemudian tersenyum. “Kau benar. Btw, bagaimana kondisi kakimu?”

“Sudah tak sesakit sebelumnya. Untunglah aku ditemukan dengan cepat. Jadi tidak sampai pendarahan yang parah,” katanya. “Dan untungnya aku punya wanita tangguh sepertimu,” lanjutnya sembari mengelus rambutku. Aku tersenyum lebar mendengarnya. “Kau memang kakakku yang terbaik,” ucapku dalam hati yang berdegup kencang.

Untuk Fia,

Terima kasih telah menemani kakak selama ini. Meski hanya bertemu beberapa hari, tapi kau sudah memberi kakak pelajaran yang berharga. Kakak takkan pernah melupakanmu sampai kapanpun. Biarlah surat ini dan tenaga sukarelaku menjadi jejak terakhir mengenai kebersamaan kita. Baik-baiklah kau di sana bersama orang tuamu. Tuhan menyertaimu dan seluruh keluarga Palumu.

Kakak Mella

Kulipat suratnya membentuk pesawat terbang dan menerbangkannya ke langit. Membiarkan surat itu mengambang-ngambang mengikuti tarian angin yang ada. Tarian yang berusaha menghibur para penduduk Palu.


Note :
Ini hanya cerita fiksi, penghiburan semata. Tak ada maksud apapun untuk menyinggung pihak manapun. Jika ada kesamaan nama dan kejadian, mohon maklumkan.


Teruntuk warga korban gempa dan tsunami.
Seperti manusia yang diciptakan bersama, untuk saling membantu dan tolong menolong.
Tuhan takkan membiarkan kalian terpuruk selamanya.
Uluran tangan-Nya akan dapat dirasakan.
Mungkin belum sekarang, tapi suatu saat pasti!




"Maaf ucapan yang telat"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar