Kamis, 30 Agustus 2018. Matahari bersinar dengan riang pagi ini. Tidak seperti biasanya, hari ini adalah hari terbaikku. Aku segera menuruni tangga sambil membawa sebuah koper besar dan sebuah ransel menuju pintu utama. Di balik pintu, kulihat dirinya sudah berdiri menungguku di sana.
“Hey Mel.
Kau sudah siap?” tanyanya. Aku tersenyum lebar. Mungkin bisa selebar pipiku.
“Berhenti tersenyum selebar itu. Bibir dan pipi kau masih lebih besar bibir
kau,” katanya sambil mencubit pipiku dengan dua jarinya. Aku menarik tangannya.
“Kau juga berhenti mencubitku. Aku bukan squishy
yang bisa kau cubit seenak jidat kau,” balasku menentang. Ia tertawa setelah
mendengarnya. Aku pun ikut tertawa melihatnya. Karena salah satu hal yang
aku suka di dunia ini adalah senyum dan tawanya.
“Ayo!
Taksinya sudah menunggu. Kau tak ingin ketinggalan pesawat bukan?”
“Tentu saja.
Biar aku kunci pintunya dahulu.”
Namaku
Mella. Aku adalah wanita lulusan universitas ternama di wilayahku ini, Deli
Serdang. Aku lulus tahun lalu. Dan temanku yang bersamaku ini adalah Frayz. Dia
adalah pria yang... yah, dapat kukatakan cukup memukau. Kami pertama bertemu di
kampus. Dia satu angkatan di atasku. Bagaimana kami bisa jadi dekat? Jika
diceritakan akan sangat panjang dan membentuk sebuah cerita tersendiri. Tapi
yang pasti, dia adalah kakak terbaikku.
Kami menuju
Bandara Kuala Namu. Kenapa? Karena itu bandara yang paling dekat. Ha ha ha...
tidak, aku hanya bercanda. Kami akan pergi jalan-jalan keliling Indonesia.
Kapan lagi bisa mendapat kesempatan seperti ini. Berkeliling Indonesia adalah
impian kami sejak lama. Kami mengumpulkan sisa-sisa uang saku kami untuk ini.
Ada pepatah yang mengatakan ‘lakukan apa yang kau inginkan selagi masih muda’.
Selama
perjalanan, kami saling bertukar informasi yang kami kumpulan dari internet. Destinasi
kami meliputi beberapa daerah terkenal. Dan tak ketinggalan daerah-daerah yang
masuk ke dalam list Festival
Indonesiana 2018. Daerah kami juga merupakan destinasi tujuan festival.
Bukannya kami tak berkeliling daerah sendiri, tapi kami menyimpannya untuk yang
terakhir. Save the best for the last.
Itu yang sering teman-temanku katakan.
“Mel. Kan,
kita baru beli tiket pergi saja. Kira-kira kita mau berapa lama di Dataran
Tinggi Gayo?” Frayz melontarkan pertanyaan. Aku memicingkan mata dan berkata,
“Aku pikir dari sana kita ke Sabang dulu. Banyak keluargaku yang bilang di sana
menyenangkan.”
“Baiklah.
Kau yang memimpin nyonya.”
“Iih, apaan
sih! Kok nyonya?!”
Tapi dia
hanya tertawa. Dan aku pun kembali tertawa melihatnya. Perjalanan kami menuju
bandara menjadi terasa sangat sebentar karenanya.
Sesampainya
di sana, kami langsung check-in. Dan
setelahnya kami menyadari bahwa jam baru saja menunjuk pukul sembilan pagi,
yang mana jadwal kami adalah 10.30 WIB. Mungkin karena kami terlalu semangat
sehingga kami tidak memperhatikan waktu. Mau tak mau, kami harus menunggu. Setidaknya
lebih baik dari pada terlambat.
“Kau mau
sesuatu? Jadwal kita masih lama. Kita masih bisa menunggu di kafe,” ajak Frayz.
Aku mengangguk setuju. Kami berjalan menuju salah satu kafe di dalam bandara.
“Kau mau
apa?”
Aku
mendongakkan kepalaku untuk melihat daftar menu yang terpampang. Siapa pun tak
akan terkejut lagi jika sudah pernah membeli sesuatu di bandara. Harganya bisa
lebih tinggi berkali-kali lipat.
“Aku mocha avochiatto.”
“Tolong mocha avochiatto-nya satu dan expresso-nya satu.”
“Baik. Atas
nama siapa?”
“Frayz.”
“Totalnya Rp
95.000,00.”
Fray
mengambil uang dari dompetnya dan memberikan selembar uang seratus ribu pada
kasir. Kemudian aku menyadari sesuatu. Dompet yang ia pakai sekarang adalah
hadiah yang kuberikan saat kelulusannya. Sudah dua tahun silam, mengapa ia baru
memakainya?
“Kembalian
lima ribu. Mohon ditunggu.”
“Terima
kasih,” balas Frayz.
Kami duduk
di bangku yang kafe sediakan. Dan aku membuka suara lebih dahulu.
“Dompetmu
itu. Hadiah dariku bukan? Kau baru memakainya?” tanyaku. Dia tersenyum lembut.
“Iya.
Kenapa? Kau kecewa baru kupakai?”
“Tentu saja
aku kecewa. Aku sempat berpikir kau tak menyukainya,” ucapku dalam hati. Namun,
tentu aku takkan mengatakannya. Aku menggelengkan kepala dan menjawab, “Tidak.
Hanya heran saja.”
Frayz tak
langsung membalasku. Dia menatapku lekat-lekat selama beberapa saat. Dan itu
membuatku tak nyaman. “Apa yang kau perhatikan? Hentikan! Itu membuatku tak
nyaman,” ucapku. Lagi-lagi ia tertawa untuk kesekian kalinya hari ini. “Apa
yang kau tertawakan?” tanyaku. Ia kembali menatapku dan menjawab, “Meski kita
baru bertemu lima tahun yang lalu, aku tahu tanda-tanda kau sedang berbohong.”
Aku
menatapnya tak mengerti. “Apa maksudmu? Tanda apa?” tanyaku lagi. Kali ini ia
tersenyum dan menunjuk jariku yang memainkan rambutku tanpa kusadari. Aku
menerka dalam hati bagaimana caranya tahu. Karena aku sendiri sering kali tak
menyadarinya. Frayz tertawa (lagi) melihatku. “Kau pasti bingung mengapa aku
bisa tahu. Tenang saja. Aku mengetahui tanpa disengaja, bukan stalking,” katanya.
“Kepada
saudara Frayz. Kepada saudara Frayz,” panggilan kasir menghentikan tawanya.
“Aku ambil minumannya dulu.”
Waktu
berlalu seiring semakin jauhnya percakapan kami. Frayz melihat arlogi di tangan
kanannya. “Sudah jam sepuluh. Ayo, kita tunggu di dalam saja,” ajaknya. Aku mengangguk
dan berjalan di sampingnya.
***
Rabu, 26
September 2018.
Jepret...
bunyi jepretan kamera terdengar jelas di telingaku. Aku memutar wajah ke asal
bunyi. “Frayz! Berhenti mengambil fotoku tanpa izin!” kataku sambil berusaha
meraih kamera yang ia pegang. Tentu jika aku bisa menggapai, aku akan
mengambilnya. Tapi perbedaan tinggi kami terlampau cukup jauh. Bahkan selama
perjalanan ini saja, beberapa orang sudah salah mengira aku adalah
keponakannya. Atau yang lebih parah lagi ‘anak’.
“Hayo.
Bagaimana kau bisa mengambilnya? Kau hanya sebahuku,” godanya. Aku cemberut.
“Baiklah. Aku pulang ke hotel saja,” gerutuku. Frayz tersenyum. “Silakan saja. Jika
kau hafal jalan kembali,” balasnya dengan senyuman.
Kurang asam!
Dia tahu aku tak memperhatikan jalan. Aku tak bisa membalasnya, sehingga aku
hanya diam saja. Kami diam selama beberapa saat, sampai akhirnya ia membuka
suara. “Oke, oke. Aku mengalah. Akan kuhapus foto yang kau tak mau.”
Sebenarnya
aku tak masalah. Hanya saja... yang tak kuingin adalah sikap jahil Frayz yang
melibatkanku. Terakhir kali dia menyebar foto wajah jelekku pada sepupunya. Dia
cukup memukau tapi menyebalkan juga.
“Awas kalau
tidak. Tak usah pulang barengku,” ancamku. “Ya, ya. Ayo jalan lagi. masih satu
jam lagi sebelum matahari terbenam,” ucapnya yang kemudian merangkul bahuku.
Baru saja aku akan memindahkan tangannya, seorang pengendara sepeda tiba-tiba
melaju kencang di sebelahku dan membuatku terkejut.
“Di sini
bukan hanya kita saja, jadi perhatikan sekeliling juga. Kalau kau terlalu cuek,
bisa-bisa kau diculik. Kita ada di Palu, mana mungkin aku mencarimu di seluruh
penjuru Palu.”
Aku tak
membalas perkataannya. Tapi harus aku akui, diriku memang terlalu cuek. Dan
mengenai penculikan itu, yang ia katakan adalah kejadian masa laluku. Butuh
waktu sampai tujuh tahun sampai aku berani untuk pergi sendiri.
“Terima
kasih,” ucapku pelan. Sepelan angin yang menghembus sore ini. “Apa? Aku tak
dengar?” tanyanya. Aku memalingkan wajah dan berkata, “Terima kasih telah
mengingatkanku.”
Dia
mengacak-acak rambutku. “Sama sama,” balasnya.
***
Senin, 1
Oktober 2018. Kami berencana untuk berpindah ke Kalimantan. Ya, rencana. Namun
Tuhan yang berkehendak. Kota Palu digoncang oleh gempa bumi berkekuatan 7,4 SR
- jika aku tak salah dengar – beberapa hari yang lalu. Sekarang aku berdiri
diam menatap hotel tempat kami menginap. Ya, hanya aku seorang. Saat terjadinya
gempa, aku sedang keluar sendirian menuju minimarket terdekat untuk
keperluanku. Dan semua terjadi begitu cepat. Hotel kami roboh.
Tim SARS
sedang berusaha menemukan dan menolong orang-orang yang masih terjebak di antara
puing-puing reruntuhan hotel. Aku tak ingat sudah berapa hari aku lewatkan
tanpanya. Dan di tiap nafasku, selalu kusematkan doa untuknya.
“Kakak
sedang apa di sini?”
Suara anak
kecil yang bertanya mengalihkan perhatianku. Aku menundukkan kepala. Seorang anak
perempuan kecil dengan pakaian yang... terlihat tidak seperti pakaian lagi.
Tingginya bahkan tak melebihi perutku.
Aku berlutut
dan tersenyum padanya. “Adik sendiri sedang apa di sini? Di sini, kan, bahaya
untuk anak sekecilmu. Di mana keluargamu?” tanyaku sembari menggenggam tangan
mungilnya. Anak itu tak langsung menjawabku. Ia memutar wajahnya ke arah
reruntuhan hotel dan menatapnya selama beberapa lama.
“Aku sedang
keluar bermain dengan teman-teman. Rumahku ada di belakang situ (hotel).
Awalnya aku ingin menjemput mama papa, tapi mereka (SARS) melarangku. Jadi aku
menunggu di sini,” katanya dengan suara lucunya. Sesaat aku merasa sangat
sedih. Rumahnya sudah pasti tak utuh lagi karena tertimpa reruntuham hotel. Kejadian
sebesar ini menimpa dirinya yang masih kecil. Kita para orang dewasa saja butuh
waktu untuk bangkit. Bagaimana dengannya?
“Aku sering
melihat kakak di sini. Ada yang kakak tunggu?”
Aku
mengangguk. “Iya. Teman kakak. Kami menginap di hotel itu,” jawabku. “Tadi kau
bilang, kau sedang bermain dengan teman-temanmu. Di mana mereka? Kau tak
bersama mereka?” lanjutku bertanya. Ia menggelengkan kepala. Awalnya kupikir
karena ia hanya ingin orang tuanya sehingga ia meninggalkan teman-temannya.
Tapi alasan yang sebenarnya benar-benar membuatku ingin menangis.
“Teman-teman
tidak dikasih oleh orang tuanya pergi terlalu jauh dari tenda. Beberapa temanku
juga ada yang sudah pergi dari sini dengan orang tuanya.”
“Lalu kau
tak punya kerabat lain? Paman atau bibi?”
Ia
menggeleng. “Mama papa sama sama anak tunggal.”
Aku memeluk
dirinya, berharap ia tak kehilangan semangat hidupnya setelah kejadian ini. Ya
Tuhanku. Mengapa Kau biarkan kejadian ini menimpa anak yang tak berdosa ini?
Ada hal apa yang Kau rencanakan di baliknya, ya, Tuhan?
***
Jumat, 13
Oktober 2018.
Aku berlutut
menghadap sebuah nisan yang terlihat seadanya. Kutaruh bunga rumput dan berdoa
untuknya. Kuseka air mataku yang mengalir pelan. “Semoga kau berada di sisi
Tuhan. Aku di sini ingin pamit padamu. Dan terima kasih semuanya.”
Aku berjalan
menuju sebuah mobil – anggap mobil jeep. Aku akan pulang ke Deli Serdang dengan
menumpang para sukarelawan lain yang kebetulan sedaerah denganku. Perjalanan
pulang kali ini akan terasa sangat panjang. Aku menatap langit. Tanah Palu
sedang menangis. Dan tampaknya langit pun tak berani untuk tersenyum.
“Langit kali
ini tak menyenangkan untuk dipandang, ya?”
Aku menghela
nafas. “Iya. Perjalanan ini saja sudah kelabu dengan bencana yang terjadi. Dan
kemudian, berita kematiannya. Entah mengapa rasanya seperti tak ingin pulang
tapi juga tak ingin di sini,” ucapku panjang.
“Kau sangat
menyayanginya? Sampai kau lesu begini.”
“Aku tak
tahu.”
“Yang benar
saja. Masa tidak tahu.”
“Hentikan,
Frayz! Aku tak sedang dalam mood yang
bagus.”
“Maaf,
maaf.”
Keheningan
melanda kami. Sampai akhirnya aku buka mulut. “Aku sudah takut kau takkan
selamat. Setiap hari aku hanya berdiri menunggu sendirian di sana. Sampai Fia
menghampiri dan mengajakku bicara. Jika dia saja masih menyimpan setitik
harapan tentang orang tuanya dalam dirinya. Mengapa aku tidak? Aku menjalani
hari ditemani olehnya. Dan saat kegiatan sukarelawan, aku menemukan ia
meninggal karena penyakit setelah bertemu denganmu lagi. Ini seperti kau hanya
bisa memiliki salah satu dari yang kau inginkan.”
“Tapi kau
juga tak bisa seperti ini terus. Seperti yang kau bilang tadi. Fia saja
menyimpan setitik harapan tentang orang tuanya, mengapa kau yang tak mengalami
hal fatal harus terus bersedih? Setidaknya kau sudah berusaha membantu yang
lainnya, padahal kau sendiri juga korban.”
Aku berpikir
sejenak dan menghadap pada Frayz. Kemudian tersenyum. “Kau benar. Btw, bagaimana kondisi kakimu?”
“Sudah tak
sesakit sebelumnya. Untunglah aku ditemukan dengan cepat. Jadi tidak sampai
pendarahan yang parah,” katanya. “Dan untungnya aku punya wanita tangguh
sepertimu,” lanjutnya sembari mengelus rambutku. Aku tersenyum lebar
mendengarnya. “Kau memang kakakku yang terbaik,” ucapku dalam hati yang
berdegup kencang.
Untuk Fia,
Terima kasih telah menemani kakak selama ini. Meski hanya
bertemu beberapa hari, tapi kau sudah memberi kakak pelajaran yang berharga. Kakak
takkan pernah melupakanmu sampai kapanpun. Biarlah surat ini dan tenaga
sukarelaku menjadi jejak terakhir mengenai kebersamaan kita. Baik-baiklah kau
di sana bersama orang tuamu. Tuhan menyertaimu dan seluruh keluarga Palumu.
Kakak Mella
Kulipat suratnya
membentuk pesawat terbang dan menerbangkannya ke langit. Membiarkan surat itu
mengambang-ngambang mengikuti tarian angin yang ada. Tarian yang berusaha
menghibur para penduduk Palu.
Note
:
Ini
hanya cerita fiksi, penghiburan semata. Tak ada maksud apapun untuk menyinggung
pihak manapun. Jika ada kesamaan nama dan kejadian, mohon maklumkan.
Teruntuk
warga korban gempa dan tsunami.
Seperti
manusia yang diciptakan bersama, untuk saling membantu dan tolong menolong.
Tuhan
takkan membiarkan kalian terpuruk selamanya.
Uluran
tangan-Nya akan dapat dirasakan.
Mungkin
belum sekarang, tapi suatu saat pasti!
"Maaf ucapan yang telat"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar