Cari

02 Januari 2019

Taruhan Nyawa

Gambar terkait



“Jangan menarik bajuku!” teriak Leo. Dia adalah temanku sejak kecil, sangat kecil. Aku bahkan tidak ingat kapan pertama kali kami bertemu. “Aku takut! Bagaimana jika ada apa-apa di dalam sana?! Kenapa rumah yang itu? Malam-malam lagi!” gerutuku.


“Lah? Kau sendiri kenapa mau ikut? Sudah tahu dirimu penakut,” balasnya. Kata-katanya membuatku terdiam. Yah... memang aku sendiri yang mau ikut dengannya. Padahal aku sendiri takut akan hal-hal berbau supranatural. Akhirnya aku hanya mengikutinya dari belakang sambil terus menarik bajunya, sampai dia berhenti dan menarik tanganku. “Sudah, jangan tarik bajuku lagi. pegang tanganku saja,” katanya setelah menyalakan handycam di tangannya yang lain.

Kami mulai berjalan memasuki gerbang dari sebuah rumah tua yang sangat besar. Dikabarkan bahwa semua orang yang masuk tak ada yang pernah keluar lagi atau paling beruntung keluar dalam bentuk mayat. Itupun bila masih dalam keadaan dapat dikenali.

Dari memasuki gerbang saja, suasananya sudah sangat menakutkan. Tanaman-tanaman yang tumbuh tak terawat dan kumpulan-kumpulan rumput liar. Wajar, sih, rumah ini sudah ditinggalkan kira-kira sejak 25 tahun yang lalu. “Leo?” panggilku sambil menggenggam tangannya semakin erat. “Ya?” jawabnya sambil terus memperhatikan handicam-nya.

“Apa kau yakin akan masuk ke sana?” tanyaku pelan. Dia berhenti lagi, menghela nafas, dan menoleh padaku. “Luna... kalau kau tak ingin masuk, maka pulanglah sekarang. Aku akan masuk sendiri. Tak ada yang memaksa. Lagipula ini konsekuensi dari taruhanku. Kau tak ada hubungannya,”ucapnya panjang lebar. Aku terdiam sesaat, lalu aku menggelengkan kepala. “Tidak. Aku tidak mungkin membiarkanmu masuk sendirian,” balasku. “Jadi... kau ikut?” tanyanya lagi. Aku membalas dengan anggukkan pelan dan kembali mengikutinya walau rasa takut masih menyelimuti diriku.

Butuh waktu sekitar 5 menit untuk sampai di depan pintu utama karena halamannya yang cukup luas. Pintu rumah yang bahkan sudah tak layak lagi digunakan, dibuka secara perlahan oleh Leo. Suara derit kayu tua bergema di seluruh ruangan di dalam rumah itu. Aura yang sangat mencekam membuat bulu kudukku berdiri.

Kami menelusuri setiap sudut rumah. Mulai dari ruang tamu sampai ruangan paling belakang, di mana pintunya tergantung sebuah papan nama yang sudah tak jelas lagi tulisannya. Leo membuka pelan pintu yang tak terkunci itu dan berharap tak ada “apapun” di dalam sana. Dan benar, tak ada apapun di sana selain ruangan kosong dengan jendela yang tertutup oleh gorden berwarna putih.

Setelah itu, kami melanjutkan penelusuran ke lantai dua. Tangga yang terbuat dari kayu jati yang sudah hampir hancur termakan rayap, tak menyurutkan niat Leo untuk melanjutkan. Setiap kali kami melangkah naik, suara tangga ynag semakin hancur terdengar semakin jelas. “Tidakkah sebaiknya kita pulang sekarang?” tanyaku padanya.

“Jangan kuatir. Ini akan segera selesai. Setelah itu, kita akan langsung pulang. Kita akan berlari jika itu yang kau inginkan,” balasnya. Aku kembali mengikutinya. Harus aku akui, suasana di lantai dua ini jauh lebih menyeramkan dari pada lantai satu.

Kami baru saja akan membuka pintu ruangan pertama yang terletak di samping anak tangga. Namun sebelum Leo menyentuh pintu itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan dari ujung lorong. Kami berdua menutup telinga kami karena jeritan itu sangat keras. Aku hampir menangis mendengarnya. Aku ingin segera pulang. Tapi Leo mendatang ruangan yang berada di ujung lorong, yang mana ia kira jeritan itu berasal dari sana. Aku juga tak berani turun sendirian, jadi aku mengikutinya... lagi.

Ia membuka secara perlahan pintu tersebut. Kali ini kami lebih waspada dari sebelumnya. Namun, sama seperti ruangan terakhir di lantai satu yang kami telusuri. Hanya sebuah ruang kosong dengan jendela yang tertutup gorden. Yang berbeda hanya ada pada warna gorden. Gorden di ruangan ini memiliki corak bercak merah gelap yang tak beraturan.

Leo baru saja akan menutup pintunya dan mengajakku untuk mengakhiri penelusuran ini. Tapi sebelum pintu tertutup dengan sempurna, suatu suara kembali terdengar dari ruangan itu. Leo kembali membuka pintunya. Namun, tak ada yang berubah. Selain gorden jendela yang melambai-lambai karena tertiup angin.

Leo berjalan ke arah jendela dan memastikan apakah suara itu berasal dari luar. Aku mengikuti dari belakang sambil memperhatikan sekitar. Ruangan ini benar-benar kosong. Tak ada satupun furniture di ruangan itu. “Le, apa kita sudah selesai?” tanyaku.

Ia baru akan membuka mulutnya untuk menjawabku. Tapi kemudian ia berlari keluar dari ruangan meninggalkan aku sendirian di tengah-tengah ruangan. “Leo!” teriakku sambil berlari ke arahnya. “Aku melihat sesuatu! Tadi dia berjalan di sini,” ucapnya.

Kemudian secara tiba-tiba, pintu tertutup sebelum aku keluar dari sini. “Leo! Jangan bercanda! Buku pintunya!” teriakku sambil menggedor-gedor pintu. “Bukan aku! Pasti karena angin!” balasnya juga berusaha membuka pintu.
Sudah sekitar 5 menit kami berusaha membuka ini. Kami sudah hampir frustasi dengan keadaan, terutama aku. “Hentikan sekarang Le... hiks. Aku takut... hiks. Tolong buka pintunya sekarang. Kumohon... hiks hiks,” pintaku disertai oleh isak tangis. “Tapi sungguh itu bukan aku. Untuk apa aku menguncimu di dalam?” katanya dari sisi lain pintu.

Keheningan menyerang kami selama beberapa saat. “Tunggu sebentar, aku akan cari alat semacam linggis atau yang lain. Kau bersabarlah sebentar,” ucapnya memecah keheningan. Aku tak membalas kata-katanya. Aku hanya menundukkan kepala dan menyandarkannya ke pintu sambil terus menangis. Tentu saja aku harus menunggu mau tidak mau. Aku tak mau berada di dalam sini terus-menerus.

Tiba-tiba setelah Leo pergi, aku mendengar ia menjerit ketakutan. Dan langkah kakinya yang awalnya pelan berubah menjadi sangat cepat seperti berlari. Kemudan, terdengar suara runtuhan yang diikuti oleh teriakannya.
Setelah semua kembali tenang, aku memanggilnya. Tapi tak ada jawaban apapun. Jangankan jawaban, suara yang terdengar hanyalah suaraku saja. Aku kembali memanggilnya  berkali-kali, semakin lama semakin keras. Namun tetap tak ada jawaban. Aku kembali menangis pasrah di belakang pintu sambil berharap bahwa aku dapat melalui malam ini dan dapat pulang ke rumah.

Waktu sudah berlalu beberapa jam, aku hanya duduk sambil memeluk lututku. Mataku yang sembab terasa sangat berat karena kantuk setelah beberapa jam menangis. Sesaat sebelum aku tertidur, suara tadi kembali terdengar. Kali ini lebih halus dan lembut. Di saat yang sama, gorden jendela juga melambai-lambai karena angin. Aku merinding ketakutan di tengah rasa kantukku.

Kemudian tiba-tiba terdengar suara dering telepon dari dalam tas. Dengan cekatan aku bongkar tas itu. Susah payah aku keluarkan telepon itu karena puluhan earphone yang menggulung jadi satu dan membungkus telepon itu. Sayangnya di saat aku berhasil melepasnya, telepon itu mati. Bersamaan dengan itu, gorden kembali melambai. Tapi, aku sama sekali tidak merasakan ada angin yang berhembus.  Dan seketika bulu-buluku berdiri saat aku menyadari sesuatu.


“Bukankah tadi jendelanya tertutup? Dan seingatku kami tak membawa tas sama sekali.”


---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Selamat Tahun Baru untuk semua manusia di Bumi
Semoga tahun 2019 ini menjadi berkah untuk kita semua

=======================================

Happy New Year to all of  man in the world
Hope this 2019 will be a blessings for all of us

---------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

src img : https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj7_qTHzc7fAhXXYysKHdgKDeAQjB16BAgBEAQ&url=http%3A%2F%2Fblognyazahra9j.blogspot.com%2F&psig=AOvVaw3CZWucgDsBmWDh72UopiDx&ust=1546501269726501

Tidak ada komentar:

Posting Komentar