
“Kau lagi, kau lagi! Tak bisakah kau biarkan aku sendiri?!” teriak
Pristan. Teriakannya mengema sepanjang lorong. Semua orang yang awalnya sibuk
dengan kesibukannya masing-masing, kini memperhatikan mereka berdua. Mereka
menunjukkan muka terkejut dan heran. Cecillya pun tak bisa berkata-kata. Mulutnya
beku, lidahnya kelu. Ia langsung melangkah pergi melewati Pristan.
Ini sudah kesekian kalinya Pristan menghindari Cecil. Namun, ini pertama
kalinya ia berteriak. Cecil tahu, ia memang sudah keterlaluan. Tapi ia hanya
ingin minta maaf pada Pristan. Sekian lama Cecil mencarinya setelah mereka
berpisah. Cecil hanya ingin minta maaf atas perbuatannya yang lalu.
“Andai saja aku tak sebodoh itu. Andai saja aku tak seidiot itu. Andai aku
tak melakukan apa-apa. Pastinya dia tak akan membenciku,” ucapnya lirih
disertai derai air mata. Ia habiskan waktu kosongnya hanya untuk menangisi masa
lalu.
September 1994, masa OSPEK Universitas Trisakti. Cecil
yang sudah melakukan segala upaya untuk mencari Pristan, hampir menyerah. Namun
saat pidato penutup OSPEK, Cecil melihat Pristan berdiri di sebelah dekan
menghadap pada mereka semua - para mahasiswa baru - yang berada di tengah
lapangan. “Akhirnya, aku menemukannya,” kata terakhirnya sebelum semua menjadi
gelap.
Saat Cecil membuka mata, ia sudah berada di Ruang Medis Univ. Tapi ia tak
sendiri. Di sana, Pristan juga duduk menunggu sambil membaca buku kesukaannya
yang sudah lusuh. Buku yang menjadi saksi terakhir pertemuan mereka.
“Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Bisa pulang? Atau perlu aku antar
pulang?” Pristan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Sifatnya pun
tak berubah, masih suka bertanya panjang lebar. “Aku baik, apa kau juga yang
membawaku kemari? Terima kasih kalau begitu,” balas Cecil.
Cecil ingin sekali minta maaf padanya. Tapi entah kenapa, mulutnya tak mau
bekerja sama dengannya. Ia hanya diam memandangi Pristan. Pristan yang bingung
bertanya lagi padanya. Tapi bukannya mengatakan semuanya, Cecil malah
menggelengkan kepala.
Tiga semester berlalu, Cecil dan Pristan menjadi dekat. Cecil
merasa senang karena Pristan menerima kehadirannya. Tapi disaat yang sama, ia
juga semakin merasa bersalah. Pristan belum tahu kebenarannya, kebenaran yang
tersembunyi di balik diri Cecillya.
Terlihat Cecil duduk melamun setelah kelas selesai. Semua mahasiswa telah
pulang. Hanya tinggal ia seorang di kelas itu. Pikirannya semakin kalut saat
memikirkan Pristan.
“Cel!” Panggilan Pristan membuyarkan lamunannya. “Ah, iya? Ada apa?”
“Harusnya aku yang tanya. Ada apa denganmu? Aku sudah panggil kau berulang
kali. Kau juga kenapa belum pulang? Semua sudah pulang dari tadi.”
“Ah, benarkah? Maaf, aku gak dengar sama sekali. Apa yang ingin kau
sampaikan?”
“Kita jadi, kan, pergi ke mall? Untuk beli keperluan kelas jurusan kita.”
“Iya, jadi. Besok, bukan? Jam 10 pagi?”
Pristan mengangguk tanda setuju. Lalu mereka pun berpisah di gerbang kampus.
Ini adalah kesempatan Cecil untuk mengatakan yang sebenarnya pada Pristan.
Tentu dalam hatinya, ia tak ingin menyia-nyiakannya.
Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang telah mereka tentukan
sebelumnya. Tak buang-buang waktu, mereka langsung membeli segala keperluan
yang tertulis di daftar belanja. Mereka memerlukan waktu hingga 6 jam untuk
mengumpulkan semua barang. Mereka akhirnya memutuskan untuk rehat sebentar di
suatu resto sebelum pulang ke rumah masing-masing.
“Tan?” Cecil membuka percakapan. Pristan memandang padanya sambil tetap
meminum Mochacinno Latte-nya tanda siap mendengarkan. Namun
lagi-lagi, Cecil menggelengkan kepala. Cecil merasa takut jikalau ia tahu yang
sebenarnya, ia akan kembali menjauh.
Waktu kembali berlalu tanpa
ampun. Kini sudah
memasuki semester ke-5. Mereka mulai sibuk mempersiapkan skripsi mereka
masing-masing. Meski begitu, Pristan tak pernah sekali pun lupa untuk
menanyakan kabar Cecil. Setiap kali Pristan menghubungi Cecil, perasaan
bersalah menancap semakin dalam di hati Cecil.
Kriip...Kripip... Bunyi handphone
Cecil menyadarkannya. Pesan dari Pristan. Sama seperti pesan-pesan sebelumnya,
ia hanya menanyakan kabar Cecil. Tapi kali ini Cecil tak ada niat untuk
membalasnya. Segera ia matikan handphone-nya
setelah membaca pesan itu. Air matanya kembali mengalir menelusuri pipinya.
Malam itu, Cecil tidur dengan keadaan mata sembab.
Pagi harinya, Pristan yang biasanya sibuk dengan
tugasnya, kali ini berdiri diam di depan kelas. Cecil berjalan menghampirinya.
Sebelum ia berkata apa-apa, Pristan sudah bertanya panjang lebar lagi. “Kemarin
kenapa? Apa pesanku tidak masuk? Kau ada masalah?”
Sifat bertanya Pristan selalu bisa membuat Cecil tersenyum. “Tak ada
apa-apa. Aku baik-baik saja. Maaf aku tak balas pesanmu. Kemarin malam aku
ketiduran,” balasnya guna menenangkan Pristan. Namun, sepertinya Pristan tak
percaya dengan apa yang ia katakan. Pristan menunjukan ekspresi wajah bingung.
Cecil tak bisa lagi membohonginya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya pada
Pristan. “Tan, ada yang ingin ku....”
TAP TAP TAP... Bunyi langkah kaki dosen memotong perkataannya.
“Dosennya sudah datang. Ayo, masuk!” Ajaknya. Cecil mengangguk saja. Lagi-lagi
takdir tidak mengijinkannya untuk jujur kali ini.
Cecil mengikuti kelas dengan tidak tenang. Sudah ia putuskan, apapun yang
terjadi, ia harus mengatakannya setelah kelas ini selesai.
“Baiklah, kelas hari ini selesai.” Segera setelah dosen mengakhiri kelas, Cecil
menghampiri Pristan. “Tan, ada yang ingin kukatakan padamu. Secara empat mata,”
ucapnya dengan wajah serius. “Oh, baiklah,” balas Pristan sambil menggendong
tasnya.
Cecil berjalan di depan Pristan, menuntunnya ke tempat yang jauh dari
kelas. Setelah sampai, Cecil berhenti. Dan lagi-lagi mulutnya tak mau bekerja
sama dengannya. Bahkan tubuhnya ikut-ikutan membeku. “Cel? Ada apa? Kau
baik-baik saja?” tanya Pristan padanya.
Ia menarik nafas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. “Aku adalah
Emilya!” teriaknya sambil memutar badan untuk menghadap Pristan. Pristan yang
mendengar dengan jelas, membeku di hadapan Cecil. Wajahnya pucat, seputih
kertas. Tentu saja, mengingat apa yang telah Cecil lakukan padanya dulu, tentu
dia akan sangat takut dan terkejut.
“K-Kau pasti bercanda, bukan? Kau tak mungkin Emilya. Dia setahuku sudah
pergi ke Amerika sejak...sejak....” Pristan berhenti mengucapkan kata-katanya.
Wajahnya bertambah pucat. Mungkin ia mengingat kembali wajah Emilya – Cecil
waktu dulu. Ya...memang penampilan Cecil banyak berubah sejak ia di Amerika.
Tapi ada 1 hal yang tak berubah. Luka di pelipis kanannya takkan pernah hilang.
Luka tanda kenakalannya pada Pristan.
“Aku tahu, kau pasti sangat kaget. Kau pasti membenciku. Tidak. Bukan
benci. Mungkin kau sudah mengutukku. Tapi aku kembali bukan untuk
mengingatkanmu tentang masa kelam itu. Aku di sini ingin minta maaf padamu. Aku
bener-bener minta....”
“DIAM!” teriak Pristan menghentikan ucapan Cecil. “Kau diamlah! Maaf? Kau
pikir hanya kata maaf saja maka semuanya selesai? Bodoh! Tidak. Akulah yang
bodoh. Kenapa aku bisa menyukai gadis keji sepertimu. Aku yang bodoh karena mau
mengikuti permainanmu!”
“Aku minta maaf, Tan. Saat itu....” Pristan mengangkat telapak tangannya
menghadap pada Cecil tanda untuknya berhenti. Pristan lalu berjalan pergi
menjauh. Meninggalkan Cecil sendirian ditemani oleh angin sepoi panas di siang
itu.
Sejak saat itu, Pristan tak pernah lagi bertanya kabar Cecil. Pristan jadi
selalu menghindari Cecil. Setiap kali Cecil ingin bicara dengannya, ia selalu
mencari alasan lain. Cecil terus mengikutinya hingga ke kos-kosannya, hanya
untuk mencari kesempatan menjelaskan padanya. Namun semua sia-sia.
Sudah berlalu 8 bulan, sejak kejadian Pristan berteriak pada Cecil
waktu itu. Sekarang mereka semakin sibuk dengan skripsi mereka. Meski Cecil sudah tak mengikuti Pristan secara terang-terangan
lagi, tapi ia selalu berada di sekitar Pristan. Ia pikir, walaupun Pristan tak
menerima kehadirannya lagi, tapi setidaknya ia bisa menjaga Pristan dari jarak
jauh.
Hingga suatu hari, sebuah keributan terjadi di kampus mereka. Banyak
mahasiswa ikut ambil bagian dalam keributan ini. Tentu saja Cecil tak ikut
ambil bagian. Pastinya Pristan juga begitu. Mereka bukanlah anak yang suka ikut
serta dalam sebuah keributan.
Namun sialnya, keributan itu terjadi saat masih banyak mahasiswa yang
menggunakan fasilitas kampus. Sehingga banyak di antaranya yang menjadi korban
adalah mahasiswa-mahasiswa tak berdosa. Di sela-sela kekacauan, Cecil masih
mencari sosok Pristan yang menghilang di tengah-tengah kerumunan mahasiswa.
DUAR... terdengar suara tembakan yang sangat
keras dari arah belakang. Di sana juga terlihat sosok Pristan berdiri membeku
menghadap ke seseorang dengan senjata api di tangannya. Orang itu siap menembak
Pristan kapan saja.
Tanpa pikir panjang, Cecil langsung berlari ke arahnya dan berdiri di
depannya. Disaat yang sama, orang itu melontarkan tembakan ke arah mereka. DUAR.... Peluru menembus perut kiri Cecil. Seketika
pandangannya buram, tapi Cecil masih bisa mendengar suara samar-samar
memanggilnya. “Cel! Sadarlah! Jangan mati! Cecillya! Emilya!...”
Satu minggu setelah
kerusuhan itu, Cecil
masih terbaring lemah di rumah sakit. Cecil hanya bisa menghibur diri dengan
memandang ke luar jendela. Berharap segera pulih dan melanjutkan kuliah. Tapi
sepertinya harus ia tanam dalam-dalam harapan itu. Dokter mengatakan selain
ginjal kirinya yang sudah rusak tertembus peluru, ternyata Cecil juga mengidap
kanker tulang belakang stadium akhir.
“Cel?” Sebuah suara dari arah pintu menyadarkannya. Cecil menoleh kearah
pintu. Di sana berdiri Pristan membawa buku kesukaannya yang sudah lusuh. Cecil
menyambutnya dengan senyum kecil.
“Bagaimana keadaanmu? Lebih baik?” tanyanya dengan sedikit lembut. Cukup
mengejutkan untuk Cecil, Pristan bertanya kabarnya lagi setelah sekian lama.
Namun, Cecil hanya mengangguk lembut. Pristan terlihat sangat gugup, kaku, dan
tegang. Seakan-akan ingin mengucapkan kata-kata yang sangat sulit untuk
diucapkan.
“Ada apa? Santai saja. Kau duduklah. Aku akan dengarkan semua hal yang
ingin kau ucapkan,” kata Cecil guna menenangkannya. Kemudian Pristan duduk di bangku
di sebelah kiri ranjang Cecil. “Aku hanya ingin bilang terima kasih telah
menyelamatkan nyawaku. Dan maaf, aku selalu menghindarimu.”
Cecil menggelengkan kepala. “Tak perlu minta maaf. Aku mengerti mengapa kau
menghindariku. Kau juga tak perlu berterima kasih. Aku melakukan itu bukan
untuk mendapat terima kasih darimu. Yang kuinginkan hanya satu. Maaf. Aku hanya
ingin kau memaafkanku. Itu saja,” ucapnya panjang lebar dengan tatapan memohon
pada Pristan.
Pristan mengangguk dan meneteskan air mata. “Aku sudah memaafkanmu. Dan aku
tetap akan berterima kasih. Katakan apa saja, apapun yang kau mau akan aku lakukan.”
Setelah mendengar perkataan Pristan, langsung terlintas di benak Cecil buku
kesukaan Pristan. Buku yang dulu pernah Pristan berikan pada Cecil, tapi Cecil
tolak mentah-mentah dan melemparnya ke gorong-gorong. Mata Cecil pun melirik
buku itu, mengikuti pikirannya yang melayang ke masa lalu.
Pristan yang menyadari lirikkan mata Cecil, mengangkat bukunya. “Kau mau?”
Cecil mengangguk sambil menahan air mata. Pristan bacakan buku itu dengan
saksama. Tak ia lewatkan satu kata, satu tanda baca pun. Sembari mendengarnya,
Cecil meneteskan air mata.
Terima kasih maaf. Karena mu
lah hubungan kami membaik, kata Cecil dalam hati. “Aku mencintaimu, Pristan,” ucap Cecil dengan sangat
pelan disertai nafas terakhirnya.
TIIITT.... Suara dari monitor membuat Pristan berhenti
membaca bukunya. “Cel?” panggilnya dengan tetes air mata. “Cel? Cel!
Bangun,Cel!” teriaknya lagi sambil mengguncangkan tubuh Cecil. “Bangun dasar
idiot! Kau tak boleh pergi sebelum mendengar akhir ceritanya. Bangun, Cel,
bangun! Emilya!!!”
Namun, teriakan Pristan tak mengubah apapun. Kini ia hanya bisa menangis di
samping ranjang Cecil yang telah terbujur kaku. “Kumohon... bangunlah.
Emilya... kumohon... bangunlah. Akupun masih mencintaimu. Jadi kumohon...
bangunlah... Emilya,” ucap Pristan disertai isak tangis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar