Cari

19 Desember 2017

Terima Kasih Maaf

Gambar terkait



“Kau lagi, kau lagi! Tak bisakah kau biarkan aku sendiri?!” teriak Pristan. Teriakannya mengema sepanjang lorong. Semua orang yang awalnya sibuk dengan kesibukannya masing-masing, kini memperhatikan mereka berdua. Mereka menunjukkan muka terkejut dan heran. Cecillya pun tak bisa berkata-kata. Mulutnya beku, lidahnya kelu. Ia langsung melangkah pergi melewati Pristan.


Ini sudah kesekian kalinya Pristan menghindari Cecil. Namun, ini pertama kalinya ia berteriak. Cecil tahu, ia memang sudah keterlaluan. Tapi ia hanya ingin minta maaf pada Pristan. Sekian lama Cecil mencarinya setelah mereka berpisah. Cecil hanya ingin minta maaf atas perbuatannya yang lalu.

“Andai saja aku tak sebodoh itu. Andai saja aku tak seidiot itu. Andai aku tak melakukan apa-apa. Pastinya dia tak akan membenciku,” ucapnya lirih disertai derai air mata. Ia habiskan waktu kosongnya hanya untuk menangisi masa lalu.


September 1994, masa OSPEK Universitas Trisakti. Cecil yang sudah melakukan segala upaya untuk mencari Pristan, hampir menyerah. Namun saat pidato penutup OSPEK, Cecil melihat Pristan berdiri di sebelah dekan menghadap pada mereka semua - para mahasiswa baru - yang berada di tengah lapangan. “Akhirnya, aku menemukannya,” kata terakhirnya sebelum semua menjadi gelap.

Saat Cecil membuka mata, ia sudah berada di Ruang Medis Univ. Tapi ia tak sendiri. Di sana, Pristan juga duduk menunggu sambil membaca buku kesukaannya yang sudah lusuh. Buku yang menjadi saksi terakhir pertemuan mereka.

“Kau sudah bangun? Bagaimana keadaanmu? Bisa pulang? Atau perlu aku antar pulang?” Pristan melontarkan pertanyaan-pertanyaan tanpa henti. Sifatnya pun tak berubah, masih suka bertanya panjang lebar. “Aku baik, apa kau juga yang membawaku kemari? Terima kasih kalau begitu,” balas Cecil.

Cecil ingin sekali minta maaf padanya. Tapi entah kenapa, mulutnya tak mau bekerja sama dengannya. Ia hanya diam memandangi Pristan. Pristan yang bingung bertanya lagi padanya. Tapi bukannya mengatakan semuanya, Cecil malah menggelengkan kepala.


Tiga semester berlalu, Cecil dan Pristan menjadi dekat. Cecil merasa senang karena Pristan menerima kehadirannya. Tapi disaat yang sama, ia juga semakin merasa bersalah. Pristan belum tahu kebenarannya, kebenaran yang tersembunyi di balik diri Cecillya.

Terlihat Cecil duduk melamun setelah kelas selesai. Semua mahasiswa telah pulang. Hanya tinggal ia seorang di kelas itu. Pikirannya semakin kalut saat memikirkan Pristan.

“Cel!” Panggilan Pristan membuyarkan lamunannya. “Ah, iya? Ada apa?”

“Harusnya aku yang tanya. Ada apa denganmu? Aku sudah panggil kau berulang kali. Kau juga kenapa belum pulang? Semua sudah pulang dari tadi.”

“Ah, benarkah? Maaf, aku gak dengar sama sekali. Apa yang ingin kau sampaikan?”

“Kita jadi, kan, pergi ke mall? Untuk beli keperluan kelas jurusan kita.”

“Iya, jadi. Besok, bukan? Jam 10 pagi?”

Pristan mengangguk tanda setuju. Lalu mereka pun berpisah di gerbang kampus. Ini adalah kesempatan Cecil untuk mengatakan yang sebenarnya pada Pristan. Tentu dalam hatinya, ia tak ingin menyia-nyiakannya.

Keesokan harinya, mereka bertemu di tempat yang telah mereka tentukan sebelumnya. Tak buang-buang waktu, mereka langsung membeli segala keperluan yang tertulis di daftar belanja. Mereka memerlukan waktu hingga 6 jam untuk mengumpulkan semua barang. Mereka akhirnya memutuskan untuk rehat sebentar di suatu resto sebelum pulang ke rumah masing-masing.

“Tan?” Cecil membuka percakapan. Pristan memandang padanya sambil tetap meminum Mochacinno Latte-nya tanda siap mendengarkan. Namun lagi-lagi, Cecil menggelengkan kepala. Cecil merasa takut jikalau ia tahu yang sebenarnya, ia akan kembali menjauh.


Waktu kembali berlalu tanpa ampun. Kini sudah memasuki semester ke-5. Mereka mulai sibuk mempersiapkan skripsi mereka masing-masing. Meski begitu, Pristan tak pernah sekali pun lupa untuk menanyakan kabar Cecil. Setiap kali Pristan menghubungi Cecil, perasaan bersalah menancap semakin dalam di hati Cecil.

Kriip...Kripip... Bunyi handphone Cecil menyadarkannya. Pesan dari Pristan. Sama seperti pesan-pesan sebelumnya, ia hanya menanyakan kabar Cecil. Tapi kali ini Cecil tak ada niat untuk membalasnya. Segera ia matikan handphone-nya setelah membaca pesan itu. Air matanya kembali mengalir menelusuri pipinya. Malam itu, Cecil tidur dengan keadaan mata sembab.


Pagi harinya, Pristan yang biasanya sibuk dengan tugasnya, kali ini berdiri diam di depan kelas. Cecil berjalan menghampirinya. Sebelum ia berkata apa-apa, Pristan sudah bertanya panjang lebar lagi. “Kemarin kenapa? Apa pesanku tidak masuk? Kau ada masalah?”

Sifat bertanya Pristan selalu bisa membuat Cecil tersenyum. “Tak ada apa-apa. Aku baik-baik saja. Maaf aku tak balas pesanmu. Kemarin malam aku ketiduran,” balasnya guna menenangkan Pristan. Namun, sepertinya Pristan tak percaya dengan apa yang ia katakan. Pristan menunjukan ekspresi wajah bingung.

Cecil tak bisa lagi membohonginya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya pada Pristan. “Tan, ada yang ingin ku....”

TAP TAP TAP... Bunyi langkah kaki dosen memotong perkataannya. “Dosennya sudah datang. Ayo, masuk!” Ajaknya. Cecil mengangguk saja. Lagi-lagi takdir tidak mengijinkannya untuk jujur kali ini.

Cecil mengikuti kelas dengan tidak tenang. Sudah ia putuskan, apapun yang terjadi, ia harus mengatakannya setelah kelas ini selesai.

“Baiklah, kelas hari ini selesai.” Segera setelah dosen mengakhiri kelas, Cecil menghampiri Pristan. “Tan, ada yang ingin kukatakan padamu. Secara empat mata,” ucapnya dengan wajah serius. “Oh, baiklah,” balas Pristan sambil menggendong tasnya.

Cecil berjalan di depan Pristan, menuntunnya ke tempat yang jauh dari kelas. Setelah sampai, Cecil berhenti. Dan lagi-lagi mulutnya tak mau bekerja sama dengannya. Bahkan tubuhnya ikut-ikutan membeku. “Cel? Ada apa? Kau baik-baik saja?” tanya Pristan padanya.

Ia menarik nafas panjang, mencoba untuk menenangkan diri. “Aku adalah Emilya!” teriaknya sambil memutar badan untuk menghadap Pristan. Pristan yang mendengar dengan jelas, membeku di hadapan Cecil. Wajahnya pucat, seputih kertas. Tentu saja, mengingat apa yang telah Cecil lakukan padanya dulu, tentu dia akan sangat takut dan terkejut.

“K-Kau pasti bercanda, bukan? Kau tak mungkin Emilya. Dia setahuku sudah pergi ke Amerika sejak...sejak....” Pristan berhenti mengucapkan kata-katanya. Wajahnya bertambah pucat. Mungkin ia mengingat kembali wajah Emilya – Cecil waktu dulu. Ya...memang penampilan Cecil banyak berubah sejak ia di Amerika. Tapi ada 1 hal yang tak berubah. Luka di pelipis kanannya takkan pernah hilang. Luka tanda kenakalannya pada Pristan.

“Aku tahu, kau pasti sangat kaget. Kau pasti membenciku. Tidak. Bukan benci. Mungkin kau sudah mengutukku. Tapi aku kembali bukan untuk mengingatkanmu tentang masa kelam itu. Aku di sini ingin minta maaf padamu. Aku bener-bener minta....”

“DIAM!” teriak Pristan menghentikan ucapan Cecil. “Kau diamlah! Maaf? Kau pikir hanya kata maaf saja maka semuanya selesai? Bodoh! Tidak. Akulah yang bodoh. Kenapa aku bisa menyukai gadis keji sepertimu. Aku yang bodoh karena mau mengikuti permainanmu!”

“Aku minta maaf, Tan. Saat itu....” Pristan mengangkat telapak tangannya menghadap pada Cecil tanda untuknya berhenti. Pristan lalu berjalan pergi menjauh. Meninggalkan Cecil sendirian ditemani oleh angin sepoi panas di siang itu.

Sejak saat itu, Pristan tak pernah lagi bertanya kabar Cecil. Pristan jadi selalu menghindari Cecil. Setiap kali Cecil ingin bicara dengannya, ia selalu mencari alasan lain. Cecil terus mengikutinya hingga ke kos-kosannya, hanya untuk mencari kesempatan menjelaskan padanya. Namun semua sia-sia.


Sudah berlalu 8 bulan, sejak kejadian Pristan berteriak pada Cecil waktu itu. Sekarang mereka semakin sibuk dengan skripsi mereka. Meski Cecil sudah tak mengikuti Pristan secara terang-terangan lagi, tapi ia selalu berada di sekitar Pristan. Ia pikir, walaupun Pristan tak menerima kehadirannya lagi, tapi setidaknya ia bisa menjaga Pristan dari jarak jauh.

Hingga suatu hari, sebuah keributan terjadi di kampus mereka. Banyak mahasiswa ikut ambil bagian dalam keributan ini. Tentu saja Cecil tak ikut ambil bagian. Pastinya Pristan juga begitu. Mereka bukanlah anak yang suka ikut serta dalam sebuah keributan.

Namun sialnya, keributan itu terjadi saat masih banyak mahasiswa yang menggunakan fasilitas kampus. Sehingga banyak di antaranya yang menjadi korban adalah mahasiswa-mahasiswa tak berdosa. Di sela-sela kekacauan, Cecil masih mencari sosok Pristan yang menghilang di tengah-tengah kerumunan mahasiswa.

DUAR... terdengar suara tembakan yang sangat keras dari arah belakang. Di sana juga terlihat sosok Pristan berdiri membeku menghadap ke seseorang dengan senjata api di tangannya. Orang itu siap menembak Pristan kapan saja.

Tanpa pikir panjang, Cecil langsung berlari ke arahnya dan berdiri di depannya. Disaat yang sama, orang itu melontarkan tembakan ke arah mereka. DUAR....  Peluru menembus perut kiri Cecil. Seketika pandangannya buram, tapi Cecil masih bisa mendengar suara samar-samar memanggilnya. “Cel! Sadarlah! Jangan mati! Cecillya! Emilya!...”


Satu minggu setelah kerusuhan itu, Cecil masih terbaring lemah di rumah sakit. Cecil hanya bisa menghibur diri dengan memandang ke luar jendela. Berharap segera pulih dan melanjutkan kuliah. Tapi sepertinya harus ia tanam dalam-dalam harapan itu. Dokter mengatakan selain ginjal kirinya yang sudah rusak tertembus peluru, ternyata Cecil juga mengidap kanker tulang belakang stadium akhir.

“Cel?” Sebuah suara dari arah pintu menyadarkannya. Cecil menoleh kearah pintu. Di sana berdiri Pristan membawa buku kesukaannya yang sudah lusuh. Cecil menyambutnya dengan senyum kecil.

“Bagaimana keadaanmu? Lebih baik?” tanyanya dengan sedikit lembut. Cukup mengejutkan untuk Cecil, Pristan bertanya kabarnya lagi setelah sekian lama. Namun, Cecil hanya mengangguk lembut. Pristan terlihat sangat gugup, kaku, dan tegang. Seakan-akan ingin mengucapkan kata-kata yang sangat sulit untuk diucapkan.

“Ada apa? Santai saja. Kau duduklah. Aku akan dengarkan semua hal yang ingin kau ucapkan,” kata Cecil guna menenangkannya. Kemudian Pristan duduk di bangku di sebelah kiri ranjang Cecil. “Aku hanya ingin bilang terima kasih telah menyelamatkan nyawaku. Dan maaf, aku selalu menghindarimu.”

Cecil menggelengkan kepala. “Tak perlu minta maaf. Aku mengerti mengapa kau menghindariku. Kau juga tak perlu berterima kasih. Aku melakukan itu bukan untuk mendapat terima kasih darimu. Yang kuinginkan hanya satu. Maaf. Aku hanya ingin kau memaafkanku. Itu saja,” ucapnya panjang lebar dengan tatapan memohon pada Pristan.

Pristan mengangguk dan meneteskan air mata. “Aku sudah memaafkanmu. Dan aku tetap akan berterima kasih. Katakan apa saja, apapun yang kau mau akan aku lakukan.”

Setelah mendengar perkataan Pristan, langsung terlintas di benak Cecil buku kesukaan Pristan. Buku yang dulu pernah Pristan berikan pada Cecil, tapi Cecil tolak mentah-mentah dan melemparnya ke gorong-gorong. Mata Cecil pun melirik buku itu, mengikuti pikirannya yang melayang ke masa lalu.

Pristan yang menyadari lirikkan mata Cecil, mengangkat bukunya. “Kau mau?”
Cecil mengangguk sambil menahan air mata. Pristan bacakan buku itu dengan saksama. Tak ia lewatkan satu kata, satu tanda baca pun. Sembari mendengarnya, Cecil meneteskan air mata.

Terima kasih maaf. Karena mu lah hubungan kami membaik, kata Cecil dalam hati. “Aku mencintaimu, Pristan,” ucap Cecil dengan sangat pelan disertai nafas terakhirnya.

TIIITT.... Suara dari monitor membuat Pristan berhenti membaca bukunya. “Cel?” panggilnya dengan tetes air mata. “Cel? Cel! Bangun,Cel!” teriaknya lagi sambil mengguncangkan tubuh Cecil. “Bangun dasar idiot! Kau tak boleh pergi sebelum mendengar akhir ceritanya. Bangun, Cel, bangun! Emilya!!!”


Namun, teriakan Pristan tak mengubah apapun. Kini ia hanya bisa menangis di samping ranjang Cecil yang telah terbujur kaku. “Kumohon... bangunlah. Emilya... kumohon... bangunlah. Akupun masih mencintaimu. Jadi kumohon... bangunlah... Emilya,” ucap Pristan disertai isak tangis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar