WARNING!!
Cerita ini dapat memberikan opini yang berbeda-beda pada setiap orang. Mohon dibaca dengan bijak!
Petugas ambulan segera menurunkan pasien yang kritis dari belakang mobil dibantu dengan dua orang lelaki, salah satunya jauh lebih tua dari yang lain, dan satu gadis yang terlihat tidak seperti gadis pada umumnya. Para suster yang yang sedang berjaga segera membagi tugas, ada yang segera memanggil dokter jaga dan ada yang membawanya ke salah satu tirai IGD serta memberi pertolongan selagi menunggu dokter untuk mengambil alih.
Aku
menemani rekanku yang bersigap memberi pertolongan awal pada pasien, dan sedia
membantu jika membutuhkan tangan tambahan. Sedangkan ketiga orang yang yang
menemani pasien tadi, melihat dari tepi ruangan. Kecuali gadis tadi, tidak
sepenuhnya diam ditempat dan melihat ke segala arah.
Beberapa
lama kemudian, dokter berlari menghampiri kami. Kondisi pasien perlahan membaik
menuju stabil, namun belum melewati masa kritis. Terutama karena dirinya yang
kehilangan banyak darah. Aku menutup tirai pembatas dan menghalangi pandangan
dari tiga orang tersebut.
Tirai
pembatas dibuka kembali. Tidak, pasien belum sepenuhnya dapat lepas dari
pandangan. Rekanku pergi menyiapkan ruangan operasi yang tersedia. Dokter tetap
memperhatikan pasien, membawa kasurnya, dan memintaku untuk mengambil beberapa
informasi mengenai pasien dari tiga orang yang bersamanya.
“Maaf, bisa
saya tanyakan beberapa hal pada kalian?” Kuajukan pertanyaan singkat dengan
kertas dan pulpen di tanganku. Dua lelaki itu mengangguk, sedangkan gadis
satunya lagi, asik dengan imajinasinya sendiri.
“Bisa beri
tahu saya dengan siapa saja saya bicara dan beberapa informasi mengenai
pasien?”
“Namanya Beatrice,
saya pacarnya. Ini Ayah dan Adiknya,” ucap lelaki yang lebih muda pelan.
“Oke, nama
Bapak siapa?”
Lelaki tua
itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia berkedip selama beberapa lama
sebelum akhirnya membuka mulutnya dan mengatakan, “Kurniawan.”
“Baiklah.
Bisa beri tahu mengenai usia, tanggal lahir, kondisi medis khusus sebelumnya,
dan apa yang terjadi?”
“6 Agustus
1999,” tanggap lelaki muda, “berarti 25 tahun. Dia ditabrak mobil saat
menyeberang jalan raya, mobil dengan kecepatan tinggi. Untuk kondisi medis
khusus, setahu saya tidak ada.”
Lelaki muda
itu melihat kearah Pak Kurniawan, meminta validasi dari pernyataannya. Tanpa
membalas tatapannya, Pak Kurniawan hanya menganggukkan kepala. Aku mencatat
informasi-informasi tersebut dan berharap bisa mendapatkan informasi tambahan
ketika pasien bangun nantinya. Namun, dengan kondisinya saat ini, entah kapan
pasien tersebut dapat membuka mata.
Malam hari
telah tiba. Sudah hampir 30 jam berlalu sejak kedatangan pasien bernama
Beatrice. Kulihat di kamar ICU hanya ada satu orang yang berjaga, si lelaki
muda. Aku datang untuk melakukan pengecekan rutin pasca operasi. Setelah
dipindahkan ke ICU, kondisinya jauh lebih stabil. Operasinya pun tidak
mengalami kendala. Meski operasi yang dilakukan bukan operasi besar, akan tetap
berbahaya jika pasien dibiarkan lebih lama.
Kulontarkan
beberapa kalimat yang biasa ducapkan saat pemeriksaan rutin jika tidak ada
kendala. Lelaki tersebut hanya diam mendengarkan dan sesekali tersenyum seperti
menyiratkan terima kasih.
“Dengan
Kakak siapa saya harus panggil?” tanyaku padanya diakhir pemeriksaan.
“Leo.”
“Baik, Kak
Leo. Jika Kakaknya sudah bangun mohon beri tahu suster jaga ya dengan tombol
alarm.”
“Iya,
terima kasih banyak.”
Aku membawa
peralatanku pergi untuk pemeriksaan ke tempat lain. Sembari menutup pintu,
kulihat Leo menghampiri Beatrice dan mencium tangannya yang tidak bergerak.
Aku sedang
merapikan berkas-berkas laporan pada meja administrasi saat tombol alarm dari
kamar Beatrice menyala. Aku segera berlari ke sana dan mendapati kali ini Pak
Kurniawan dan Adik Beatrice yang menemaninya. Selain itu, Beatrice terlihat
seperti membuka matanya. Aku kembali berlari ke telepon rumah sakit untuk
meminta salah satu dokter jaga datang. Dokter jaga yang datang memeriksa segala
hal fital pada dirinya dan memastikan bahwa Beatrice tidak mengalami kendala.
“Apa Anda
bisa mendengar saya? Apa yang dirasakan?” tanya pelan dokter.
Beatrice
mengernyitkan dahinya dan menjawab pelan, “Bisa…, kaku…, sakit…, badan tidak
bisa gerak.”
Dokter
mengangguk dan mengatakan hal tersebut wajar, terutama pasca operasi tulang
rusuk empat yang hari lalu. Beatrice meminta untuk diberikan obat pereda nyeri
hingga sakitnya menghilang. Tentu dokter tidak bisa memberikannya sembarangan
karena itu akan menyalahi aturan. Dokter jaga hanya dapat berjanji untuk
menyampaikan kepada dokter penanggung jawab akan hal ini. Beatrice menggangguk
pelan kecewa. Akan tetapi, tatapannya tidak diam. Pandangannya bergerak ke
sekeliling kamar seakan mencari sesuatu.
“Apa ada
yang ingin Anda cari?” tanya lagi dokter sebelum menyudahi pemeriksaan.
“Leo.”
“Leo?”
“Ah, itu
pacarnya Kak Beatrice,” ucapku menimpali, “akan saya hubungi dia setelah ini.”
“Terima
kasih,” balas Beatrice lemah.
Untungnya
aku sempat menanyakan nomor telepon Leo saat bagian jagaku terakhir kemarin.
Segera setelah menyelesaikan semua tugasku yang penting, kuhubungi Leo melalui
ponselku. Aku tidak tahu seberapa jauh tempat tinggalnya, namun kehadirannya
memang memakan waktu yang lama.
*******
Aku
sudah muak mendengar semua ceramah yang dilontarkan orang tuaku. Entah
sepanjang apa dan seberbelit apapun, intinya hanya satu, kami berbeda. Ya, aku
tahu persis aku dan Leo tidak sepenuhnya sama, kami berbeda. Namun perbedaan
inilah yang menjadi daya tarik. Apa yang berbeda dari kami, bukan menjadi
masalah jika, JIKA, tidak dimasalahkan. Sedari awal aku memperkenalkan Leo pada
mereka, aku sudah membuat keputusan bulat. Apapun tanggapan dunia terhadap
kami. Dan Leo, meski dia tidak sepenuhnya setuju dengan caraku, dia tetap
bersamaku dan masih mau berjuang bersama.
Apa yang
membuat kami berbeda? Apa itu karena pendidikannya? Apa karena kekayaannya? Apa
karena pekerjaan dia? Apa karena kemampuan berbahasa dia? Sayangnya, bukan itu
semua. Bahkan jika semua itu adalah derajat manusia, maka derajat dia jauh
lebih tinggi dariku.
Kami
berbeda. Hanya satu kalimat itu yang diperlukan untuk tidak setuju. Bahkan
semiskin apapun orang itu, tidak jadi masalah selama kami sama. Sebuah
tanggapan yang sangat mendidihkan darahku.
Mengapa
aku ingin capek-capek berjuang setengah mati hanya untuk bersama Leo? Jawaban
paling sederhana yang bisa kuberikan adalah, karena perbedaan keluarga kami
terhadap sebuah pernikahan. Mendengar beberapa cerita Leo mengenai orang tuanya
seringkali membuatku iri. Orang tuanya menjadi sosok yang Leo contohkan untuk
pernikahan dia, yang kuharapkan bersamaku. Sedangkan orang tuaku? Tidak,
keluargaku tidak sampai terdapat KDRT. Namun bagaimana jika kau sedari kecil
sudah mendengar bahwa Ayah Ibu kalian hanya menganggap satu sama lain orang
asing yang tinggal bersama? Apa kalian masih ingin mencontoh mereka?
Sudah
100 hari sejak Ibu meninggal. Jauh sebelum Ibu meninggal, aku sudah lama ingin
pergi dari rumah dan tinggal sendirian. Mereka yang tidak akur, Ibu yang benci
Ayah, Ayah yang seringkali diluar nalar, dan Adik yang merupakan anak khusus
sangat tidak membantu dengan tempramennya. Tinggal di rumah selama 24 jam,
terasa seperti mimpi buruk. Namun, apa yang bisa kulakukan? Jalan bersama teman
tidak akan berhasil karena takkan diberikan izin. Aku belum punya pekerjaan,
tidak punya uang. Siapa yang akan memberi kerja pada anak dibawah umur?
Meregang nyawa? Tidak ada jaminan akan lebih baik. Satu-satunya harapanku saat
itu ada tinggal di luar kota saat kuliah.
Kini aku
sudah bekerja. Setelah lulus, aku masih tinggal bersama mereka karena selain
finansial dan tempat tinggal, aku belum sanggup untuk mengatakan bahwa
keinginanku untuk pergi karena mereka, terutama kepada Ibu. Namun karena kini
Ibu sudah tidak ada, tidak ada yang menahan diriku lagi.
Tepat di
100 hari Ibu meninggal, saat kembali dari mendoakan Ibu, aku menyatakan akan
pindah dari rumah kepada Ayah. Terkejut? Marah? Iya, bahkan berteriak di tempat
umum. Akan tetapi, itu tidak mengusikku. Aku tetap berjalan keluar dari tempat
doa tanpa menoleh kebelakang. Hingga akhirnya setelah diluar, pundakku ditahan
oleh Leo yang ikut serta dengan doa kami dan membuatku berhenti. Memaksaku
untuk bertindak lebih tenang. Karena bagaimanapun, di mata Leo, kami tetap
orang tua dan anak.
“Kau
gila ya?! Kamu pikir sudah jadi orang hebat setelah bekerja? Sudah tidak peduli
dengan keluarga? Kau pindah terus rumah bagaimana? Ayah mana bisa ngurus rumah
sambil jaga adik! Karena DIA ini! Gara-gara laki sialan ini!” teriaknya dengan
lantang. Kalimatnya diselingi oleh kata-kata kasar menggunakan bahasa
daerahnya.
“Ya, I don’t f***ing care anymore!”
balasku tidak kalah keras. Kalau kalian saja sudah tidak ingin mengurus adik,
kenapa aku harus mau menggantikan kalian? Kalau kalian saja tidak bahagia
saling bersama, kenapa aku harus mengikuti jejak kalian?
Setelah teriakan
itu, aku kembali berbalik dan pergi tanpa peduli dengan Leo yang mencoba
menahanku kembali. Namun tidak kusadari bahwa aku menapak pada jalan raya
ketika lampu hijau sedang menyala dan kendaraan melaju dengan cepat.
“Beatrice!”
Aku
ingat Leo memanggilku dengan keras sesaat sebelum kesadaraanku pudar.
******
Aku kembali
melakukan pemeriksaan rutin diakhir hariku bekerja. Setelah melewati beberapa
kamar, kini saatnya memeriksa kondisi Beatrice. Aku mengetuk pintu kamar
sebelum membukanya.
“Permisi
saatnya pemeriksaan sore,” ucapku pelan. Ketikaku melangkah masuk, suasana
kamar sangat hening dan mencekam, kecuali Adik Beatrice yang tetap pada
dunianya. Pak Kurniawan berada di ujung kasur, sedangkan Leo berada di sisi
kanan Beatrice. Kumendekati sisi kiri Beatrice yang kosong, melakukan
pemeriksaan yang sudah seperti bagian dari diriku. Tak ada yang berkata apapun
selama aku melakukan pemeriksaan. Ucapan-ucapanku yang kulontakkan pada mereka
pun hanya dibalas singkat. Aku mohon undur diri setelah selesai, dan sesaat
sebelum pintu tertutup, aku mendengar Beatrice mengatakan sesuatu cukup pelan.
“Biarkan
aku, Yah. Lepaskan aku.”
Pic src: https://depositphotos.com/photo/black-silhouette-of-man-hands-in-handcuffs-133690256.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar