Cari

31 Mei 2025

Lepaskan

 


WARNING!!

Cerita ini dapat memberikan opini yang berbeda-beda pada setiap orang. Mohon dibaca dengan bijak!


Petugas ambulan segera menurunkan pasien yang kritis dari belakang mobil dibantu dengan dua orang lelaki, salah satunya jauh lebih tua dari yang lain, dan satu gadis yang terlihat tidak seperti gadis pada umumnya. Para suster yang yang sedang berjaga segera membagi tugas, ada yang segera memanggil dokter jaga dan ada yang membawanya ke salah satu tirai IGD serta memberi pertolongan selagi menunggu dokter untuk mengambil alih.

Aku menemani rekanku yang bersigap memberi pertolongan awal pada pasien, dan sedia membantu jika membutuhkan tangan tambahan. Sedangkan ketiga orang yang yang menemani pasien tadi, melihat dari tepi ruangan. Kecuali gadis tadi, tidak sepenuhnya diam ditempat dan melihat ke segala arah.

Beberapa lama kemudian, dokter berlari menghampiri kami. Kondisi pasien perlahan membaik menuju stabil, namun belum melewati masa kritis. Terutama karena dirinya yang kehilangan banyak darah. Aku menutup tirai pembatas dan menghalangi pandangan dari tiga orang tersebut.

Tirai pembatas dibuka kembali. Tidak, pasien belum sepenuhnya dapat lepas dari pandangan. Rekanku pergi menyiapkan ruangan operasi yang tersedia. Dokter tetap memperhatikan pasien, membawa kasurnya, dan memintaku untuk mengambil beberapa informasi mengenai pasien dari tiga orang yang bersamanya.

“Maaf, bisa saya tanyakan beberapa hal pada kalian?” Kuajukan pertanyaan singkat dengan kertas dan pulpen di tanganku. Dua lelaki itu mengangguk, sedangkan gadis satunya lagi, asik dengan imajinasinya sendiri.

“Bisa beri tahu saya dengan siapa saja saya bicara dan beberapa informasi mengenai pasien?”

“Namanya Beatrice, saya pacarnya. Ini Ayah dan Adiknya,” ucap lelaki yang lebih muda pelan.

“Oke, nama Bapak siapa?”

Lelaki tua itu tidak langsung menjawab pertanyaanku. Ia berkedip selama beberapa lama sebelum akhirnya membuka mulutnya dan mengatakan, “Kurniawan.”

“Baiklah. Bisa beri tahu mengenai usia, tanggal lahir, kondisi medis khusus sebelumnya, dan apa yang terjadi?”

“6 Agustus 1999,” tanggap lelaki muda, “berarti 25 tahun. Dia ditabrak mobil saat menyeberang jalan raya, mobil dengan kecepatan tinggi. Untuk kondisi medis khusus, setahu saya tidak ada.”

Lelaki muda itu melihat kearah Pak Kurniawan, meminta validasi dari pernyataannya. Tanpa membalas tatapannya, Pak Kurniawan hanya menganggukkan kepala. Aku mencatat informasi-informasi tersebut dan berharap bisa mendapatkan informasi tambahan ketika pasien bangun nantinya. Namun, dengan kondisinya saat ini, entah kapan pasien tersebut dapat membuka mata.

Malam hari telah tiba. Sudah hampir 30 jam berlalu sejak kedatangan pasien bernama Beatrice. Kulihat di kamar ICU hanya ada satu orang yang berjaga, si lelaki muda. Aku datang untuk melakukan pengecekan rutin pasca operasi. Setelah dipindahkan ke ICU, kondisinya jauh lebih stabil. Operasinya pun tidak mengalami kendala. Meski operasi yang dilakukan bukan operasi besar, akan tetap berbahaya jika pasien dibiarkan lebih lama.

Kulontarkan beberapa kalimat yang biasa ducapkan saat pemeriksaan rutin jika tidak ada kendala. Lelaki tersebut hanya diam mendengarkan dan sesekali tersenyum seperti menyiratkan terima kasih.

“Dengan Kakak siapa saya harus panggil?” tanyaku padanya diakhir pemeriksaan.

“Leo.”

“Baik, Kak Leo. Jika Kakaknya sudah bangun mohon beri tahu suster jaga ya dengan tombol alarm.”

“Iya, terima kasih banyak.”

Aku membawa peralatanku pergi untuk pemeriksaan ke tempat lain. Sembari menutup pintu, kulihat Leo menghampiri Beatrice dan mencium tangannya yang tidak bergerak.

Aku sedang merapikan berkas-berkas laporan pada meja administrasi saat tombol alarm dari kamar Beatrice menyala. Aku segera berlari ke sana dan mendapati kali ini Pak Kurniawan dan Adik Beatrice yang menemaninya. Selain itu, Beatrice terlihat seperti membuka matanya. Aku kembali berlari ke telepon rumah sakit untuk meminta salah satu dokter jaga datang. Dokter jaga yang datang memeriksa segala hal fital pada dirinya dan memastikan bahwa Beatrice tidak mengalami kendala.

“Apa Anda bisa mendengar saya? Apa yang dirasakan?” tanya pelan dokter.

Beatrice mengernyitkan dahinya dan menjawab pelan, “Bisa…, kaku…, sakit…, badan tidak bisa gerak.”

Dokter mengangguk dan mengatakan hal tersebut wajar, terutama pasca operasi tulang rusuk empat yang hari lalu. Beatrice meminta untuk diberikan obat pereda nyeri hingga sakitnya menghilang. Tentu dokter tidak bisa memberikannya sembarangan karena itu akan menyalahi aturan. Dokter jaga hanya dapat berjanji untuk menyampaikan kepada dokter penanggung jawab akan hal ini. Beatrice menggangguk pelan kecewa. Akan tetapi, tatapannya tidak diam. Pandangannya bergerak ke sekeliling kamar seakan mencari sesuatu.

“Apa ada yang ingin Anda cari?” tanya lagi dokter sebelum menyudahi pemeriksaan.

“Leo.”

“Leo?”

“Ah, itu pacarnya Kak Beatrice,” ucapku menimpali, “akan saya hubungi dia setelah ini.”

“Terima kasih,” balas Beatrice lemah.

Untungnya aku sempat menanyakan nomor telepon Leo saat bagian jagaku terakhir kemarin. Segera setelah menyelesaikan semua tugasku yang penting, kuhubungi Leo melalui ponselku. Aku tidak tahu seberapa jauh tempat tinggalnya, namun kehadirannya memang memakan waktu yang lama.

*******

Aku sudah muak mendengar semua ceramah yang dilontarkan orang tuaku. Entah sepanjang apa dan seberbelit apapun, intinya hanya satu, kami berbeda. Ya, aku tahu persis aku dan Leo tidak sepenuhnya sama, kami berbeda. Namun perbedaan inilah yang menjadi daya tarik. Apa yang berbeda dari kami, bukan menjadi masalah jika, JIKA, tidak dimasalahkan. Sedari awal aku memperkenalkan Leo pada mereka, aku sudah membuat keputusan bulat. Apapun tanggapan dunia terhadap kami. Dan Leo, meski dia tidak sepenuhnya setuju dengan caraku, dia tetap bersamaku dan masih mau berjuang bersama.

Apa yang membuat kami berbeda? Apa itu karena pendidikannya? Apa karena kekayaannya? Apa karena pekerjaan dia? Apa karena kemampuan berbahasa dia? Sayangnya, bukan itu semua. Bahkan jika semua itu adalah derajat manusia, maka derajat dia jauh lebih tinggi dariku.

Kami berbeda. Hanya satu kalimat itu yang diperlukan untuk tidak setuju. Bahkan semiskin apapun orang itu, tidak jadi masalah selama kami sama. Sebuah tanggapan yang sangat mendidihkan darahku.

Mengapa aku ingin capek-capek berjuang setengah mati hanya untuk bersama Leo? Jawaban paling sederhana yang bisa kuberikan adalah, karena perbedaan keluarga kami terhadap sebuah pernikahan. Mendengar beberapa cerita Leo mengenai orang tuanya seringkali membuatku iri. Orang tuanya menjadi sosok yang Leo contohkan untuk pernikahan dia, yang kuharapkan bersamaku. Sedangkan orang tuaku? Tidak, keluargaku tidak sampai terdapat KDRT. Namun bagaimana jika kau sedari kecil sudah mendengar bahwa Ayah Ibu kalian hanya menganggap satu sama lain orang asing yang tinggal bersama? Apa kalian masih ingin mencontoh mereka?

Sudah 100 hari sejak Ibu meninggal. Jauh sebelum Ibu meninggal, aku sudah lama ingin pergi dari rumah dan tinggal sendirian. Mereka yang tidak akur, Ibu yang benci Ayah, Ayah yang seringkali diluar nalar, dan Adik yang merupakan anak khusus sangat tidak membantu dengan tempramennya. Tinggal di rumah selama 24 jam, terasa seperti mimpi buruk. Namun, apa yang bisa kulakukan? Jalan bersama teman tidak akan berhasil karena takkan diberikan izin. Aku belum punya pekerjaan, tidak punya uang. Siapa yang akan memberi kerja pada anak dibawah umur? Meregang nyawa? Tidak ada jaminan akan lebih baik. Satu-satunya harapanku saat itu ada tinggal di luar kota saat kuliah.

Kini aku sudah bekerja. Setelah lulus, aku masih tinggal bersama mereka karena selain finansial dan tempat tinggal, aku belum sanggup untuk mengatakan bahwa keinginanku untuk pergi karena mereka, terutama kepada Ibu. Namun karena kini Ibu sudah tidak ada, tidak ada yang menahan diriku lagi.

Tepat di 100 hari Ibu meninggal, saat kembali dari mendoakan Ibu, aku menyatakan akan pindah dari rumah kepada Ayah. Terkejut? Marah? Iya, bahkan berteriak di tempat umum. Akan tetapi, itu tidak mengusikku. Aku tetap berjalan keluar dari tempat doa tanpa menoleh kebelakang. Hingga akhirnya setelah diluar, pundakku ditahan oleh Leo yang ikut serta dengan doa kami dan membuatku berhenti. Memaksaku untuk bertindak lebih tenang. Karena bagaimanapun, di mata Leo, kami tetap orang tua dan anak.

“Kau gila ya?! Kamu pikir sudah jadi orang hebat setelah bekerja? Sudah tidak peduli dengan keluarga? Kau pindah terus rumah bagaimana? Ayah mana bisa ngurus rumah sambil jaga adik! Karena DIA ini! Gara-gara laki sialan ini!” teriaknya dengan lantang. Kalimatnya diselingi oleh kata-kata kasar menggunakan bahasa daerahnya.

“Ya, I don’t f***ing care anymore!” balasku tidak kalah keras. Kalau kalian saja sudah tidak ingin mengurus adik, kenapa aku harus mau menggantikan kalian? Kalau kalian saja tidak bahagia saling bersama, kenapa aku harus mengikuti jejak kalian?

Setelah teriakan itu, aku kembali berbalik dan pergi tanpa peduli dengan Leo yang mencoba menahanku kembali. Namun tidak kusadari bahwa aku menapak pada jalan raya ketika lampu hijau sedang menyala dan kendaraan melaju dengan cepat.

“Beatrice!”

Aku ingat Leo memanggilku dengan keras sesaat sebelum kesadaraanku pudar.

******

Aku kembali melakukan pemeriksaan rutin diakhir hariku bekerja. Setelah melewati beberapa kamar, kini saatnya memeriksa kondisi Beatrice. Aku mengetuk pintu kamar sebelum membukanya.

“Permisi saatnya pemeriksaan sore,” ucapku pelan. Ketikaku melangkah masuk, suasana kamar sangat hening dan mencekam, kecuali Adik Beatrice yang tetap pada dunianya. Pak Kurniawan berada di ujung kasur, sedangkan Leo berada di sisi kanan Beatrice. Kumendekati sisi kiri Beatrice yang kosong, melakukan pemeriksaan yang sudah seperti bagian dari diriku. Tak ada yang berkata apapun selama aku melakukan pemeriksaan. Ucapan-ucapanku yang kulontakkan pada mereka pun hanya dibalas singkat. Aku mohon undur diri setelah selesai, dan sesaat sebelum pintu tertutup, aku mendengar Beatrice mengatakan sesuatu cukup pelan.

“Biarkan aku, Yah. Lepaskan aku.”


Pic src: https://depositphotos.com/photo/black-silhouette-of-man-hands-in-handcuffs-133690256.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar