Pagi ini suasana perkotaan tetap sama. Bising suara jalan dan kantor terus mengitari sekelilingku. Tidak berbeda dengan bank. Suara orang bercakap meminta penyelesaian masalahnya atau bahkan hanya sekadar cetak buku tabungan, semua terjadi.
“Antrian
nomor 10.”
Aku
beranjak dari kursiku begitu nomor antrianku trerpanggil.
“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa dibantu?”
Kujelaskan
masalah yang kuhadapi kepada petugas dan ia pun membantuku menyelesaikannya.
Tidak butuh waktu terlalu lama hingga semuanya beres dengan bantuan ahlinya.
Aku berterima kasih padanya dan bangun dari kursi. Ketika aku membalikkan
badan, disaat yang sama, petugas memanggil nomor selanjutnya. Di kala itulah,
aku melihat sosoknya. Berjalan ke arahku, dengan anggun dan lembut namun tegas.
“Permisi,”
ucapnya pelan.
“Ah, iya,
maaf.”
Aku
menyingkir dari tempat dan berjalan pergi. Sesekali menoleh kebelakang melihat
wanita itu. Ia mengenakan seragam dengan nama yang belum pernah aku lihat
sebelumnya.
“McRenna,”
ucapku mengingat namanya. “Coba kucari nanti setelah dikantor.”
Hanya butuh
waktu 15 menit perjalanan dari bank kembali ke kantor. Begitu kembali, tumpukan
berkas yang perlu kuperiksa sudah bersiap di atas mejaku. Aku menghela napas
panjang dan meletakkan barang-barangku.
“Saatnya
kembali bekerja.”
Sebelum jam
menunjukkan waktu makan siang, tubuhkku sudah merasa ingin menyerah.
Berkali-kali melihat ke layar dan kertas, membuat leherku lelah. Aku mencoba
merenggangkan badanku sebanyak yang kubisa. Namun pada akhirnya, aku menyerah
dan memilih beristirahat sejenak.
Tiba-tiba
kuteringat dengan wanita tadi. Kuambil ponselku dan mencari nama dari
seragamnya. Dari lama pencarian, muncullah sebuah kafedengan nama itu. Cafenya
belum lama berdiri dan masih tahap event opening. Lokasinya tidak
terlalu jauh dari kantor. Aku memutuskan untuk mencoba untuk berkunjung.
Suasana kafenya
tidak terlalu ramai meski masih dalam event opening. Beberapa pembeli
terlihat sedang menikmati minuman mereka di bangku masing-masing. Sambil
mengantri, kulihat menu yang terpampang besar dibelakang konter. Mereka
menyediakan cukup banyak pilihan yang dapat disesuaikan dengan preferensi usia.
Dan ketika akhirnya giliranku, kusadari yang melayaniku adalah wanita itu.
Dengan senyum kecil nan lembutnya, ia menyambutku.
“Selamat
siang, boleh pesanannya kak?”
Suaranya
sangat candu untuk didengar. Ingin rasanya kudengar setiap hari. Kuberusaha
memilih salah satu dari berbagai pilihan yang ditawarkan, namun apa daya,
seluruh pilihannya memberikan vibes yang layak untuk dicoba.
“Boleh
dicoba rekomendasinya terlebih dulu, kak. Yang ini untuk suka manis, ini yang
tidak terlalu ingin manis, ini untuk perpaduan gurih dan manis. Atau mungkin
mencoba varian teh untuk yang ingin nuansa pahit,” jelasnya untuk menghentikan
keheningan.
“Kalau
begitu, yang ini saja. Dine in,” jawabku sambil menunjuk salah satu
rekomendasi darinya. Kusodorkan selembar uang, dan secara sigap ia
menyelesaikan transaksinya. Segala pergerakannya sangat menyenangkan untuk
dilihat.
Aku
menunggu di salah satu bangku hingga pesananku jadi. Salah satu rekannya yang
mengantarnya, ia tidak berpindah dari konter kasir. Meski pelanggan kafe tidak
terlalu ramai, namun selalu ada yang datang memesan selama beberapa menit
sekali. Sembari menyeruput pesananku, kuperhatikan ia yang bekerja tanpa henti.
Sesekali melambat karena bersenda gurau dengan rekannya. Aku tak bisa mendengar
tawanya, namun aku dapat melihat tawanya yang anggun. Tanpa sadar waktu telah
berlalu hingga waktu istirahatku selesai. Aku harus kembali bekerja.
Sore
harinya, kulihat kafetersebut masih buka seperti tadi siang. Wanita itupun
masih berada di balik kasir. Aku ingin kembali masuk ke kafe, tapi rasanya akan
terlalu aneh jika aku datang lagi dihari yang sama.
Keesokkan
paginya, ketika perjalanan ke kantor, kulewati rute depan kafe tersebut. Kulihat
kafe sedang persiapan untuk buka. Wanita itu dan rekannya merapikan posisi
bangku dan membersihkannya.
“Rendy!”
panggil salah satu kawan kerjaku sesaat kuletakkan barang-barangku.
Aku menoleh
kearahnya menampilkan ekspresi wajah bertanya.
“Kenapa,
Yan?”
“Tahu kafe baru
dekat sini? Mau kesana gua. Yang lain ada yang mau nitip juga, mau nyoba.”
“Ayo,”
balasku tanpa pikir dua kali. Pikirku, ini akan jadi kesempatan bagus untuk bertemu
lagi dengan wanita itu.
Kami berdua
pergi ke kafe tersebut dan mendapati tempat sudah ramai dengan ojek online.
Kami tak perlu mengantre dan langsung dilayani. Namun sayangnya, kali ini bukan
wanita itu yang ada dihadapan kami. Rekan prianya yang menyambut kami. Saat Ryan
sibuk memotret menu yang terpampang untuk menanyakan di grup kantor, aku sibuk
mencari wanita itu.
Ryan
membacakan pesanan yang diminta, dan kemudian kulihat sosok wanita itu muncul
dari balik sebuah ruangan dibalik konter. Ia menenteng dua kantung plastik dan memberikan
kepada dua ojol yang sudah menunggu. Mataku tetap mengikuti
pergerakkannya hingga Ryan memanggil namaku.
“Ren, lu
mau apa?”
“Huh? Oh,
ini aja,” tunjukku pada salah satu menu tanpa melihat dengan jelas. Seperti
kemarin, tak butuh waktu lama transaksi diselesaikan, seakan-akan mereka sudah
melakukan hal ini puluhan tahun.
“Nadya, ini
tambahan tempel dibelakang dulu,” ucap sang kasir sambil menyodorkan kembali
kartu Ryan dan bersamaan memberikan list tambahan kepada wanita itu.
Kala itulah, kuketahui nama dari wanita tersebut adalah Nadya. Tanpa sadar
mengetahui hal tersebut membuatku tersenyum sendiri.
Minuman
dibagikan kepada rekan-rekan lain yang sudah menunggu. Kuletakkan milikku
diatas meja dan menatapnya. Kutak tahu apa yang kupesan, namanya saja aku tidak
ingat. Namun penampilannya sangat mencolok. Campuran warna kuning dengan ungu
dan sedikit jingga.
“Ren,
menyala sekali minuman lu.”
Salah satu
rekanku meledekku. Aku hanya tertawa kecil dan menanggapinya pelan, “Iya, coba
saja.”
Kutusuk
sedotan dan mencoba menyeruputnya. Rasanya sangat beragam, asam, manis, gurih,
dan pahit dapat dicari dari satu minuman. Tidak bisa kubilang tidak enak, namun
memang bukan preferensiku.
Malam itu,
perutku terasa sangat geli hanya memikirkan namanya. Hanya sekadar nama, namun
dapat membuatku tersenyum hingga sulit tidur. Untuk pertama kalinya, aku bangun
dari kasur tanpa basa-basi. Tanpa alarm yang berulang kali kumatikan. Aku
sampai ke kantor lebih cepat dari biasanya. Dapat kurasakan beberapa mata
menatapku bertanya-tanya.
“Ren,
tumben lu sudah sampai? Biasanya agak mepet,” sapa Ryan.
“Iya, mau
ke kafeitu lagi. Mau ikut?”
“Huh?
Engga, kemarin sudah. Jatah jajan gua sebulan sekali. Lu mau pesen yang kemarin
lagi?”
“Entah,
mungkin coba yang lain.”
Dan
terjadilah interaksi rutin kami setiap pagi. Terkadang Nadya yang menjadi
kasir, terkadang rekannya yang menjadi kasir. Ketika Nadya sedang tidak berada
di kasir, aku akan menunggu sebentar hingga sosoknya terlihat sebelum kembali
ke kantor.
“Selamat
pagi. Boleh pesanannya, Ka Rendy?” tanya Nadya.
Aku
tersenyum senang setiap Nadya menyebutkan namaku. Aku menatap ke papan menu
dengan wajah riang. Sudah semua menu yang tertera kucoba tanpa tersisa.
Sejujurnya tak ada satupun yang kusuka, tapi tak ada satupun juga yang kubenci.
Melihatku yang akhirnya bingung memilih, Nadya mencoba memberi saran.
“Mungkin
menu yang yang paling Kakak suka dari semuanya. Kakak suka minuman yang mana?”
tanyanya. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku suka dirinya, namun itu hanya
akan merusak semuanya.
“Yang
kuning…,” jawabku pelan, “Ada ungu, sama jingga.”
“Oh, Flowerbed
Mixtures. Dine in atau take away?”
“Take
away.”
Flowerbed
mixtures…, apa aku
menyukainya? Tidak, hanya minuman itu yang kuingat dari semua yang sudah kucoba
karena warnanya yang mencolok.
Aku kembali
ke kantor dengan minuman menyalaku. Rekan-rekan yang awalnya merasa aneh dengan
diriku yang datang lebih awal dan selalu membeli minuman di kafeitu, kini sudah
terbiasa dan tidak mempertanyakannya lagi, kecuali satu orang.
“Ren,”
panggil Ryan, “Gua lihat setiap pagi pasti lu ada beli sesuatu dari kafe itu.
Dan sekarang lu kembali dengan minuman menyala ini.”
“Iya, suka saja
gua.”
“Naaah,
Bro! Gua kenal lu, brother. Lu bukan suka kafenya. Lu pasti suka sama
petugas ceweknya, kan?”
Belum
sempat kujawab tuduhan (pertanyaan) dia, Ryan memotongku.
“Sudah tak
apa. Gua tau lu juga cuma berani dikandang. Besok gua ikut bareng lu ke sana. Sudah
ganti bulan, sudah refresh lagi jatah jajan gua,” bilangnya sambil
berjalan kembali ke meja kerjanya.
Besok,
sesuai janjinya, ia ikut bersamaku ke kafe. Karena kafe sudah tidak lagi masa opening,
antrian ojol pun sudah berkurang. Hari ini yang berjaga di kasirnya
adalah rekan Nadya. Seperti sebelumnya, Ryan yang menanggapi sang kasir
sedangkan kuhanya mencari sosok Nadya. Kali ini kudapati dirinya sedang
membersihkan meja-meja kosong.
“Pesan ini
satu, Mas,” ucap Ryan, “Lu mau apa Ren? Yang menyala?”
“Ah, iya,
yang flower,” balasku tanpa berpikir. Ryan menyelesaikan transaksinya
dan aku? Hanya memperhatikan Nadya dari jauh. Setelah minuman selesai dibuat,
Ryan mengeluarkan suaranya ketika pesanan disodorkan padanya.
“Mas, nanya
dong. Ini kafesudah sebulanan, ya. Pekerjanya hanya berdua saja sama Mba itu?”
“Iya, Kak.
Hanya berdua.”
“Dilihat-lihat
kayaknya sudah terbiasa banget dari awal buka dengan segala hal dari kasir,
racik minumannya, sampai beres-beres tempat. Sebelumya kerja di kafe juga?”
“Iya,”
balas pekerja itu tertawa kecil, “Kami sebelumnya sudah kerja sebagai bartender
di kota lain. Setelah menikah, mencoba peruntungan buka kafe sendiri.”
“Menikah?”
“Iya, Nadya
istri saya.”
“Ooooh,
masih muda. Saya kira berdua single. Sudah nikah ternyata. Ada rencana
nambah karyawan?” tanya Ryan basa-basi.
Aku yang
mendengar percakapan mereka dari dekat, tak sanggup menatap mata kasirnya. Atau
suaminya Nadya. aku mencoba mengalihkan perhatianku ke benda lain selain Nadya.
Namun semakin kucari, semakin mata ini ingin menangis.
“Yan, gua
sakit perut. Gua balik duluan deh, ya,” ucapku.
“Eh, bareng
saja. makasih, ya, Mas.”
Kami
kembali ke kantor dengan Ryan membawa pesanan kami. Selama perjalanan, hanya
hening dan suara bising jalan yang menemani kami. Tak ada percakapan antara
kami. Hingga di ruangan, Ryan meletakkan minumanku di meja, menepuk pundakku,
dan kembali ke mejanya.
Flowerbed
mixtures…, nama
yang cocok dengan penampilannya. Berwarna-warni layaknya kebun bunga. Jika
diperhatikan, minuman ini memang memiliki warna yang cantik. Aku hanya menatap
minuman tersebut tanpa menyentuhnya.
Kubereskan
barang-barangku saat akan beranjak pulang. Kemudian melihat minuman tersebut
yang tak kusentuh sejak pagi. Kuambil dan kuminum akhirnya.
“Rasanya campur
aduk seperti hidup…,” ucapku tanpa ekspresi. Kuseruput minumanku beberapa kali
selama berjalan ke tempat parkir dan membuang sisanya di tong sampah terdekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar