Cari

30 November 2024

Ketika Sudah Berusaha



Pagi ini suasana perkotaan tetap sama. Bising suara jalan dan kantor terus mengitari sekelilingku. Tidak berbeda dengan bank. Suara orang bercakap meminta penyelesaian masalahnya atau bahkan hanya sekadar cetak buku tabungan, semua terjadi.

“Antrian nomor 10.”

Aku beranjak dari kursiku begitu nomor antrianku trerpanggil.

“Selamat pagi, Pak. Ada yang bisa dibantu?”

Kujelaskan masalah yang kuhadapi kepada petugas dan ia pun membantuku menyelesaikannya. Tidak butuh waktu terlalu lama hingga semuanya beres dengan bantuan ahlinya. Aku berterima kasih padanya dan bangun dari kursi. Ketika aku membalikkan badan, disaat yang sama, petugas memanggil nomor selanjutnya. Di kala itulah, aku melihat sosoknya. Berjalan ke arahku, dengan anggun dan lembut namun tegas.

“Permisi,” ucapnya pelan.

“Ah, iya, maaf.”

Aku menyingkir dari tempat dan berjalan pergi. Sesekali menoleh kebelakang melihat wanita itu. Ia mengenakan seragam dengan nama yang belum pernah aku lihat sebelumnya.

“McRenna,” ucapku mengingat namanya. “Coba kucari nanti setelah dikantor.”

Hanya butuh waktu 15 menit perjalanan dari bank kembali ke kantor. Begitu kembali, tumpukan berkas yang perlu kuperiksa sudah bersiap di atas mejaku. Aku menghela napas panjang dan meletakkan barang-barangku.

“Saatnya kembali bekerja.”

Sebelum jam menunjukkan waktu makan siang, tubuhkku sudah merasa ingin menyerah. Berkali-kali melihat ke layar dan kertas, membuat leherku lelah. Aku mencoba merenggangkan badanku sebanyak yang kubisa. Namun pada akhirnya, aku menyerah dan memilih beristirahat sejenak.

Tiba-tiba kuteringat dengan wanita tadi. Kuambil ponselku dan mencari nama dari seragamnya. Dari lama pencarian, muncullah sebuah kafedengan nama itu. Cafenya belum lama berdiri dan masih tahap event opening. Lokasinya tidak terlalu jauh dari kantor. Aku memutuskan untuk mencoba untuk berkunjung.

Suasana kafenya tidak terlalu ramai meski masih dalam event opening. Beberapa pembeli terlihat sedang menikmati minuman mereka di bangku masing-masing. Sambil mengantri, kulihat menu yang terpampang besar dibelakang konter. Mereka menyediakan cukup banyak pilihan yang dapat disesuaikan dengan preferensi usia. Dan ketika akhirnya giliranku, kusadari yang melayaniku adalah wanita itu. Dengan senyum kecil nan lembutnya, ia menyambutku.

“Selamat siang, boleh pesanannya kak?”

Suaranya sangat candu untuk didengar. Ingin rasanya kudengar setiap hari. Kuberusaha memilih salah satu dari berbagai pilihan yang ditawarkan, namun apa daya, seluruh pilihannya memberikan vibes yang layak untuk dicoba.

“Boleh dicoba rekomendasinya terlebih dulu, kak. Yang ini untuk suka manis, ini yang tidak terlalu ingin manis, ini untuk perpaduan gurih dan manis. Atau mungkin mencoba varian teh untuk yang ingin nuansa pahit,” jelasnya untuk menghentikan keheningan.

“Kalau begitu, yang ini saja. Dine in,” jawabku sambil menunjuk salah satu rekomendasi darinya. Kusodorkan selembar uang, dan secara sigap ia menyelesaikan transaksinya. Segala pergerakannya sangat menyenangkan untuk dilihat.

Aku menunggu di salah satu bangku hingga pesananku jadi. Salah satu rekannya yang mengantarnya, ia tidak berpindah dari konter kasir. Meski pelanggan kafe tidak terlalu ramai, namun selalu ada yang datang memesan selama beberapa menit sekali. Sembari menyeruput pesananku, kuperhatikan ia yang bekerja tanpa henti. Sesekali melambat karena bersenda gurau dengan rekannya. Aku tak bisa mendengar tawanya, namun aku dapat melihat tawanya yang anggun. Tanpa sadar waktu telah berlalu hingga waktu istirahatku selesai. Aku harus kembali bekerja.

Sore harinya, kulihat kafetersebut masih buka seperti tadi siang. Wanita itupun masih berada di balik kasir. Aku ingin kembali masuk ke kafe, tapi rasanya akan terlalu aneh jika aku datang lagi dihari yang sama.

Keesokkan paginya, ketika perjalanan ke kantor, kulewati rute depan kafe tersebut. Kulihat kafe sedang persiapan untuk buka. Wanita itu dan rekannya merapikan posisi bangku dan membersihkannya.

“Rendy!” panggil salah satu kawan kerjaku sesaat kuletakkan barang-barangku.

Aku menoleh kearahnya menampilkan ekspresi wajah bertanya.

“Kenapa, Yan?”

“Tahu kafe baru dekat sini? Mau kesana gua. Yang lain ada yang mau nitip juga, mau nyoba.”

“Ayo,” balasku tanpa pikir dua kali. Pikirku, ini akan jadi kesempatan bagus untuk bertemu lagi dengan wanita itu.

Kami berdua pergi ke kafe tersebut dan mendapati tempat sudah ramai dengan ojek online. Kami tak perlu mengantre dan langsung dilayani. Namun sayangnya, kali ini bukan wanita itu yang ada dihadapan kami. Rekan prianya yang menyambut kami. Saat Ryan sibuk memotret menu yang terpampang untuk menanyakan di grup kantor, aku sibuk mencari wanita itu.

Ryan membacakan pesanan yang diminta, dan kemudian kulihat sosok wanita itu muncul dari balik sebuah ruangan dibalik konter. Ia menenteng dua kantung plastik dan memberikan kepada dua ojol yang sudah menunggu. Mataku tetap mengikuti pergerakkannya hingga Ryan memanggil namaku.

“Ren, lu mau apa?”

“Huh? Oh, ini aja,” tunjukku pada salah satu menu tanpa melihat dengan jelas. Seperti kemarin, tak butuh waktu lama transaksi diselesaikan, seakan-akan mereka sudah melakukan hal ini puluhan tahun.

“Nadya, ini tambahan tempel dibelakang dulu,” ucap sang kasir sambil menyodorkan kembali kartu Ryan dan bersamaan memberikan list tambahan kepada wanita itu. Kala itulah, kuketahui nama dari wanita tersebut adalah Nadya. Tanpa sadar mengetahui hal tersebut membuatku tersenyum sendiri.

Minuman dibagikan kepada rekan-rekan lain yang sudah menunggu. Kuletakkan milikku diatas meja dan menatapnya. Kutak tahu apa yang kupesan, namanya saja aku tidak ingat. Namun penampilannya sangat mencolok. Campuran warna kuning dengan ungu dan sedikit jingga.

“Ren, menyala sekali minuman lu.”

Salah satu rekanku meledekku. Aku hanya tertawa kecil dan menanggapinya pelan, “Iya, coba saja.”

Kutusuk sedotan dan mencoba menyeruputnya. Rasanya sangat beragam, asam, manis, gurih, dan pahit dapat dicari dari satu minuman. Tidak bisa kubilang tidak enak, namun memang bukan preferensiku.

Malam itu, perutku terasa sangat geli hanya memikirkan namanya. Hanya sekadar nama, namun dapat membuatku tersenyum hingga sulit tidur. Untuk pertama kalinya, aku bangun dari kasur tanpa basa-basi. Tanpa alarm yang berulang kali kumatikan. Aku sampai ke kantor lebih cepat dari biasanya. Dapat kurasakan beberapa mata menatapku bertanya-tanya.

“Ren, tumben lu sudah sampai? Biasanya agak mepet,” sapa Ryan.

“Iya, mau ke kafeitu lagi. Mau ikut?”

“Huh? Engga, kemarin sudah. Jatah jajan gua sebulan sekali. Lu mau pesen yang kemarin lagi?”

“Entah, mungkin coba yang lain.”

Dan terjadilah interaksi rutin kami setiap pagi. Terkadang Nadya yang menjadi kasir, terkadang rekannya yang menjadi kasir. Ketika Nadya sedang tidak berada di kasir, aku akan menunggu sebentar hingga sosoknya terlihat sebelum kembali ke kantor.

“Selamat pagi. Boleh pesanannya, Ka Rendy?” tanya Nadya.

Aku tersenyum senang setiap Nadya menyebutkan namaku. Aku menatap ke papan menu dengan wajah riang. Sudah semua menu yang tertera kucoba tanpa tersisa. Sejujurnya tak ada satupun yang kusuka, tapi tak ada satupun juga yang kubenci. Melihatku yang akhirnya bingung memilih, Nadya mencoba memberi saran.

“Mungkin menu yang yang paling Kakak suka dari semuanya. Kakak suka minuman yang mana?” tanyanya. Aku ingin sekali mengatakan bahwa aku suka dirinya, namun itu hanya akan merusak semuanya.

“Yang kuning…,” jawabku pelan, “Ada ungu, sama jingga.”

“Oh, Flowerbed Mixtures. Dine in atau take away?”

Take away.”

Flowerbed mixtures…, apa aku menyukainya? Tidak, hanya minuman itu yang kuingat dari semua yang sudah kucoba karena warnanya yang mencolok.

Aku kembali ke kantor dengan minuman menyalaku. Rekan-rekan yang awalnya merasa aneh dengan diriku yang datang lebih awal dan selalu membeli minuman di kafeitu, kini sudah terbiasa dan tidak mempertanyakannya lagi, kecuali satu orang.

“Ren,” panggil Ryan, “Gua lihat setiap pagi pasti lu ada beli sesuatu dari kafe itu. Dan sekarang lu kembali dengan minuman menyala ini.”

“Iya, suka saja gua.”

“Naaah, Bro! Gua kenal lu, brother. Lu bukan suka kafenya. Lu pasti suka sama petugas ceweknya, kan?”

Belum sempat kujawab tuduhan (pertanyaan) dia, Ryan memotongku.

“Sudah tak apa. Gua tau lu juga cuma berani dikandang. Besok gua ikut bareng lu ke sana. Sudah ganti bulan, sudah refresh lagi jatah jajan gua,” bilangnya sambil berjalan kembali ke meja kerjanya.

Besok, sesuai janjinya, ia ikut bersamaku ke kafe. Karena kafe sudah tidak lagi masa opening, antrian ojol pun sudah berkurang. Hari ini yang berjaga di kasirnya adalah rekan Nadya. Seperti sebelumnya, Ryan yang menanggapi sang kasir sedangkan kuhanya mencari sosok Nadya. Kali ini kudapati dirinya sedang membersihkan meja-meja kosong.

“Pesan ini satu, Mas,” ucap Ryan, “Lu mau apa Ren? Yang menyala?”

“Ah, iya, yang flower,” balasku tanpa berpikir. Ryan menyelesaikan transaksinya dan aku? Hanya memperhatikan Nadya dari jauh. Setelah minuman selesai dibuat, Ryan mengeluarkan suaranya ketika pesanan disodorkan padanya.

“Mas, nanya dong. Ini kafesudah sebulanan, ya. Pekerjanya hanya berdua saja sama Mba itu?”

“Iya, Kak. Hanya berdua.”

“Dilihat-lihat kayaknya sudah terbiasa banget dari awal buka dengan segala hal dari kasir, racik minumannya, sampai beres-beres tempat. Sebelumya kerja di kafe juga?”

“Iya,” balas pekerja itu tertawa kecil, “Kami sebelumnya sudah kerja sebagai bartender di kota lain. Setelah menikah, mencoba peruntungan buka kafe sendiri.”

“Menikah?”

“Iya, Nadya istri saya.”

“Ooooh, masih muda. Saya kira berdua single. Sudah nikah ternyata. Ada rencana nambah karyawan?” tanya Ryan basa-basi.

Aku yang mendengar percakapan mereka dari dekat, tak sanggup menatap mata kasirnya. Atau suaminya Nadya. aku mencoba mengalihkan perhatianku ke benda lain selain Nadya. Namun semakin kucari, semakin mata ini ingin menangis.

“Yan, gua sakit perut. Gua balik duluan deh, ya,” ucapku.

“Eh, bareng saja. makasih, ya, Mas.”

Kami kembali ke kantor dengan Ryan membawa pesanan kami. Selama perjalanan, hanya hening dan suara bising jalan yang menemani kami. Tak ada percakapan antara kami. Hingga di ruangan, Ryan meletakkan minumanku di meja, menepuk pundakku, dan kembali ke mejanya.

Flowerbed mixtures…, nama yang cocok dengan penampilannya. Berwarna-warni layaknya kebun bunga. Jika diperhatikan, minuman ini memang memiliki warna yang cantik. Aku hanya menatap minuman tersebut tanpa menyentuhnya.

Kubereskan barang-barangku saat akan beranjak pulang. Kemudian melihat minuman tersebut yang tak kusentuh sejak pagi. Kuambil dan kuminum akhirnya.

“Rasanya campur aduk seperti hidup…,” ucapku tanpa ekspresi. Kuseruput minumanku beberapa kali selama berjalan ke tempat parkir dan membuang sisanya di tong sampah terdekat.

“Jangan menangis, Ren,” pintaku pada diri sendiri, “Itu hanya sebuah minuman. Kau harus olahraga lagi karena kebanyakan gula.”


pic src: https://pixabay.com/id/photos/pertanda-musim-semi-2149507/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar