Cari

15 April 2024

Relationship

 


Dina membanting tubuhnya ke atas ranjang tidur asramanya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat yang kecil. Hari kelulusannya akan segera tiba. Bukan, bukan kelulusannya yang ia tunggu. Seseorang bernama Erico yang mana adalah pacarnya berjanji padanya, bahwa ia akan melamar Dina di hari kelulusannya. Mengingat Erico berjanji seperti itu saja membuat jantung Dina berdetak sangat cepat.

Erico mungkin bukan laki-laki paling tampan di kampusnya, maupun paling baik. Akan tetapi sosoknya yang cukup dewasa di mata Dina, sangat menarik perhatiannya. Mereka pertama kali bertemu saat orientasi kampus atau yang biasa kita sebut OSPEK. Kemudian Tuhan menuntun mereka bertemu lagi di OSPEK Fakultas. Siapa sangka ternyata mereka satu jurusan.

“Kau juga fakultas ini juga? Memangnya Jurusan apa?” tanya Erico.

“Ilmu Pangan.”

“OH YA? Aku juga Ilmu Pangan. Kita bakal sering-sering bertemu kalau begitu.”

Dina hanya tersenyum mengangguk saat itu. Ia tak pernah mengira bahwa awal pertemuannya dengan lelaki itu adalah pintunya menuju kebahagiaan.

 

Berlembar-lembar kertas laporan berserakan di atas meja batu di salah satu gazebo fakultas. Terlihat Dina yang tidak berhenti menulis dan mengetik sedari tadi harus menunda pekerjaannya terlebih dulu untuk mengumpulkan kembali kertas laporan yang terbang terbawa angin. Kemudian beberapa orang datang membantunya.

“Terima kasih,” ucap Dina. Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan Dina setelah berhasil mengumpulkan kertas-kertasnya dan memberikannya kembali kepada Dina. Namun ada satu orang yang tak kunjung juga pergi. Dina yang akhirnya menyadarinya, menoleh ke arah orang tersebut.

“Kau? Kita pernah bertemu bukan?” tanya Dina. Erico mengangguk. “Kita bertemu dua kali, di OSPEK kampus dan fakultas.”

“Kau tidak pergi bersama teman-temanmu?” tanya Dina lagi sambil melanjutkan laporannya.

“Tidak, aku tidak suka mengikuti permainan mereka. Aku terbiasa langsung pulang begitu hari menjelang malam.”

“Lalu mengapa kau tidak pulang sekarang?”

“Ya…, aku melihatmu begitu kesulitan. Jadi kupikir, tak ada salahnya mencoba sekali pulang sedikit lebih malam untuk membantu seorang gadis yang sendirian.”

Dina tersenyum tanpa memalingkan matanya dari kertas. “Terima kasih.”

Terima kasih pada Erico, Dian dapat menyelesaikan laporannya tanpa khawatir kertasnya yang lain beterbangan. Dan ternyata, Erico sangat pandai membuat laporan. Laporan Dina yang awalnya hanya sekadarnya saja, kini sangat rapi dan mudah dimengerti.

Dina bergegas pergi begitu kelas selesai. Ia membawa setumpuk kertas yang telah ia siapkan kemarin malam ke salah satu laboratorium di gedung itu.

“Din, jadi asisten untuk praktikum lagi?” tanya Erico setengah berteriak ke arah Dina. Dina berbalik sesaat dan mengangguk sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya lagi. “Semangat, deh!” teriak Erico.

Sudah berlalu dua tahu sejak pertemuan mereka. Bantuan pertama Erico untuk Dina adalah cikal bakal hubungan mereka yang sekarang. Kedekatan mereka yang sangat tak dapat dipungkiri, terkadang membuat orang-orang di sekitar mereka iri.

“Kau sangat dekat dengannya, tak pernah berpikir untuk pacaran dengannya?” tanya salah seorang teman Erico. Erico mengangkat bahunya dan berkata, “Buat apa dipikirkan lagi jika sudah pasti.”

“Ha? Apa maksudmu?”

Erico tak menanggapi pertanyaan temannya dan langsung pergi meninggalkannya tanpa menoleh kebelakang.

Sore itu, setelah Dina selesai menjalankan tugasnya sebagai asisten dosen, ia mendapati Erico yang telah menunggunya di pintu lobi gedung. Ia segera melangkah dengan cepat mendatangi Erico sambil mengukir senyum di bibirnya.

“Kau kenapa ada di sini?”

“Kau sudah makan belum?”

“Belum. Jawab pertanyaanku, kenapa kau masih di sini?”

“Kita makan dulu, yuk! Aku sudah menahan lapar dari tadi,” ajak Erico sambil menggenggam tangan Dina.

“Hey, jawab aku dulu!”

Erico hanya menarik Dina ke motornya tanpa menjawab apapun. Dina cukup tak senang dengan reaksi Erico terhadapnya, namun ia tetap mengikuti kemanapun Erico mengajaknya.

Erico mengajaknya makan di suatu tempat makan yang tak terlalu ramai, namun cukup bersih dan nyaman. Dina sesaat merasa takjub dengan suasana tempat makan itu. Dua tahun ia kuliah di daerah itu, ia tak pernah tahu bahwa ada tempat makan yang sangat nyaman seperti ini.

“Aku tak pernah tahu ada tempat makan yang senyaman ini,” kata Dina.

“Aku tahu kau pasti takjub. Kau mau makan apa? Buku menunya ada di sampingmu.”

Dina membuka buku menu dan memperhatikannya dengan perlahan. Semakin dia membalikkan daftar demi daftar, semakin ia tak mempercayai matanya.

“Ini serius Ric? Menu di sini murah banget.”

Erico mengangguk setuju. “Awalnya aku ke sini juga tak percaya. Tapi memang benar harganya, tak ada tambahan pajak lagi.”

Mereka berbincang panjang lebar dari awal memesan hingga mereka selesai menyantap makanannya. Berbagai topik dibicarakan seakan tak ada yang tak penting bagi mereka. Hingga hari sudah semakin malam, mereka harus segera menyudahinya. Erico tak ingin Dina jatuh sakit karenanya.

“Terima kasih telah mengajakku ke tempat makan itu. Kau bahkan sampai mentraktirku,” ucap Dina.

“Bukan apa-apa. Itu tak seberapa.”

“Baiklah kalau begitu. Terima kasih untuk hari ini. Sampai jumpa.”

“Din, tunggu dulu!”

“Iya?”

Erico menggaruk-garuk kepalanya dan menggigit bibirnya. Dina kebingungan melihat tingkah Erico. Beberapa kali Erico terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan di tenggorokannya.

“Baiklah, kalau kau tak ingin mengatakannya. Aku akan masuk ke kamarku,” ketus Dina.

“Tidak, tidak, tidak, aku akan mengatakannya, aku akan mengatakannya.”

Dina melipat kedua lengannya dan menunggu. Keheningan melanda selama beberapa saat hingga akhirnya Erico membuka mulut.

“Mau jadi pacarku?”

Dina tersentak kaget mendengar pertanyaan singkat Erico. Matanya terpaku pada mata Erico yang begitu mengharapkan jawaban. Mulutnya ikut kaku mengikuti tubuh Erico yang membatu malam itu. Hanya angin sepoi yang saat itu berani bersuara kala itu.

“Tak perlu dijawab sekarang kalau belum bisa,” ucap Erico secepat kilat.

“Aku… juga tak bisa memaksamu,” lanjutnya. Dina mengedipkan matanya beberapa kali sampai akhirnya ia tertawa kecil.

“Ah, ini terlalu mendadak. Tentu saja kau menganggapnya sebuah lelucon….”

“Iya mau,” ucap Dina kecil.

Erico yang sudah tak begitu memperhatikan Dina, terbelalak tak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Kau bilang apa? Kau serius? Tak bercanda kan?”

Dina mengangkat bahunya dan berbalik. “Bergantung dari pertanyaanmu. Kau tak bercanda, maka aku juga tidak,” katanya sembari masuk ke dalam asrama.

Erico menatap sosok Dina yang semakin lama semakin jauh dan menghilang di balik pintu. Sesaat setelah Dina menghilang dari balik pintu, Erico berteriak suka ria di atas motornya.

“Kau takkan menyesali jawabanmu Din! Aku jamin itu!” teriaknya ke arah asrama Dina dan kemudian pergi dari sana. Dina yang mendengar ucapan Erico dari kamarnya, tersenyum lebar. Karena sebenarnya, Dina sendiri telah menyimpan rasa untuk Erico cukup lama. Dan pertanyaan Erico tadi serasa seperti mimpi yang menjadi nyata untuknya.

Waktu kembali berlalu. Kini mereka menjalani hari lebih dari sekadar teman. Meski awalnya orang tua Dina sempat tak setuju, kini mereka berdua sudah mendapat restu mutlak dari orang tua mereka. Namun semakin lama, mereka semakin sulit menhabiskan waktu bersama dikarenakan jadwal praktikum yang semakin padat ditambah tugas-tugas kuliah lainnya. Akan tetapi, semua itu tak menghalangi mereka untuk saling mengabari keadaan mereka walau hanya melalui tatapan mata atau pun ucapan sampai jumpa di penghujung hari.

Hingga akhir semester tujuh lalu, Erico kembali memberanikan diri. Di depan Dina dan teman-temannya, ia berkata, “Din…, tunggu aku di hari kelulusan kita. Aku akan melamarmu di depan Orang tuamu.”

Seluruh insan Tuhan yang mendengar terperangat kaget dan takjub. Dina sendiri tak bisa berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk dan meneteskan air mata. Akan kutunggu, katanya dalam hati.

Seluruh topi kelulusan dilemparkan ke langit setinggi-tingginya. Semua mahasiswa angkatan Dina dan Erico dinyatakan lulus cumlaude. Sebuah pencapaian yang luar biasa. Meskipun sempat terbawa suasana yang sangat menyenangkan sekaligus mengharukan, itu tak membuat Dina lupa akan janji yang Erico buat. Ia memperhatikan sekitarnya, mencari sosok Erico yang ia tunggu-tunggu.

Kemudian seseorang berteriak memanggilnya dari belakang. Itu adalah Erico yang ia cari-cari sedari tadi. Ia membawa se-bucket bunga mawar dan sebuah kotak kecil di tangannya yang lain. Belum juga Erico sampai di hadapan Dina, air matanya sudah mengalir menuruni pipinya hingga berujung di lesung pipinya.

Namun, suasana yang tak teratur mengakibatkan seseorang tak sengaja menyenggol Erico hingga ia terjatuh dan membuat kepala terbentur ujung panggung yang ada di dekatnya. Semua yang melihat kejadian tersebut terkejut dan panik. Dina? Ia tak bisa bergerak dari tempatnya berdiri. Badannya membatu sekeras batu tapi tanpa tenaga yang cukup untuk menopang dirinya. Sehingga ia jatuh pingsan.

Dina tersentak kaget dan membuka matanya. Napasnya terengah-engah. Ternyata hanya mimpi. Tapi rasanya nyata banget. Dina menutup matanya dengan lengan, berusaha mengatur napasnya dan menenangkan dirinya.

“Ada apa Din?”

Dina menatap suaminya yang masih setengah sadar. “Tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk,” jawabnya. “Mimpi apa memangnya?” Dina menggelengkan kepala, menyentuh pipi suaminya, dan menjawab, “Sudah tidak penting lagi, karena kau ada di sini, Erico.”

“Happy Anniversary yang ke-40,” lanjutnya.

Dina memejamkan matanya untuk kembali tidur. Ia tertidur dengan ukiran senyum yang lebar di bibirnya. Namun, matanya meneteskan air mata, dadanya terasa semakin sesak saat ia menahan air matanya. Ia tak ingin membuka matanya, tapi semakin ia menolak semakin tubuhnya memberontak.

Hingga setelah beberapa lama, ia akhirnya membuka lagi matanya yang telah memerah. Alasan mengapa ia tak ingin membuka mata adalah karena selama ini sosok Erico hanya tinggal bayangan delusinya saja.

Sudah lewat dari dua tahun sejak kepergian Erico karena kecelakaan kerja. Meski Dina masih belum bisa mengikhlaskannya, tapi ia bersyukur karena pernikahannya terbilang yang paling harmonis di mata orang-orang sekitar.

Dina kembali menangis. “I miss you, darling. I really really miss you.”


pic src: https://in.pinterest.com/pin/145241156720541539/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar