Dina membanting tubuhnya ke atas ranjang tidur asramanya. Ia memejamkan matanya rapat-rapat yang kecil. Hari kelulusannya akan segera tiba. Bukan, bukan kelulusannya yang ia tunggu. Seseorang bernama Erico yang mana adalah pacarnya berjanji padanya, bahwa ia akan melamar Dina di hari kelulusannya. Mengingat Erico berjanji seperti itu saja membuat jantung Dina berdetak sangat cepat.
Erico mungkin bukan laki-laki
paling tampan di kampusnya, maupun paling baik. Akan tetapi sosoknya yang cukup
dewasa di mata Dina, sangat menarik perhatiannya. Mereka pertama kali bertemu
saat orientasi kampus atau yang biasa kita sebut OSPEK. Kemudian Tuhan menuntun
mereka bertemu lagi di OSPEK Fakultas. Siapa sangka ternyata mereka satu
jurusan.
“Kau juga fakultas ini juga?
Memangnya Jurusan apa?” tanya Erico.
“Ilmu Pangan.”
“OH YA? Aku juga Ilmu Pangan.
Kita bakal sering-sering bertemu kalau begitu.”
Dina hanya tersenyum
mengangguk saat itu. Ia tak pernah mengira bahwa awal pertemuannya dengan
lelaki itu adalah pintunya menuju kebahagiaan.
Berlembar-lembar kertas
laporan berserakan di atas meja batu di salah satu gazebo fakultas. Terlihat
Dina yang tidak berhenti menulis dan mengetik sedari tadi harus menunda
pekerjaannya terlebih dulu untuk mengumpulkan kembali kertas laporan yang
terbang terbawa angin. Kemudian beberapa orang datang membantunya.
“Terima kasih,” ucap Dina.
Satu per satu dari mereka pergi meninggalkan Dina setelah berhasil mengumpulkan
kertas-kertasnya dan memberikannya kembali kepada Dina. Namun ada satu orang
yang tak kunjung juga pergi. Dina yang akhirnya menyadarinya, menoleh ke arah
orang tersebut.
“Kau? Kita pernah bertemu
bukan?” tanya Dina. Erico mengangguk. “Kita bertemu dua kali, di OSPEK kampus
dan fakultas.”
“Kau tidak pergi bersama
teman-temanmu?” tanya Dina lagi sambil melanjutkan laporannya.
“Tidak, aku tidak suka
mengikuti permainan mereka. Aku terbiasa langsung pulang begitu hari menjelang
malam.”
“Lalu mengapa kau tidak pulang
sekarang?”
“Ya…, aku melihatmu begitu
kesulitan. Jadi kupikir, tak ada salahnya mencoba sekali pulang sedikit lebih
malam untuk membantu seorang gadis yang sendirian.”
Dina tersenyum tanpa
memalingkan matanya dari kertas. “Terima kasih.”
Terima kasih pada Erico, Dian
dapat menyelesaikan laporannya tanpa khawatir kertasnya yang lain beterbangan.
Dan ternyata, Erico sangat pandai membuat laporan. Laporan Dina yang awalnya
hanya sekadarnya saja, kini sangat rapi dan mudah dimengerti.
Dina bergegas pergi begitu
kelas selesai. Ia membawa setumpuk kertas yang telah ia siapkan kemarin malam
ke salah satu laboratorium di gedung itu.
“Din, jadi asisten untuk
praktikum lagi?” tanya Erico setengah berteriak ke arah Dina. Dina berbalik
sesaat dan mengangguk sebelum akhirnya melanjutkan langkahnya lagi. “Semangat,
deh!” teriak Erico.
Sudah berlalu dua tahu sejak
pertemuan mereka. Bantuan pertama Erico untuk Dina adalah cikal bakal hubungan
mereka yang sekarang. Kedekatan mereka yang sangat tak dapat dipungkiri,
terkadang membuat orang-orang di sekitar mereka iri.
“Kau sangat dekat dengannya,
tak pernah berpikir untuk pacaran dengannya?” tanya salah seorang teman Erico.
Erico mengangkat bahunya dan berkata, “Buat apa dipikirkan lagi jika sudah
pasti.”
“Ha? Apa maksudmu?”
Erico tak menanggapi
pertanyaan temannya dan langsung pergi meninggalkannya tanpa menoleh
kebelakang.
Sore itu, setelah Dina selesai
menjalankan tugasnya sebagai asisten dosen, ia mendapati Erico yang telah
menunggunya di pintu lobi gedung. Ia segera melangkah dengan cepat mendatangi
Erico sambil mengukir senyum di bibirnya.
“Kau kenapa ada di sini?”
“Kau sudah makan belum?”
“Belum. Jawab pertanyaanku,
kenapa kau masih di sini?”
“Kita makan dulu, yuk! Aku
sudah menahan lapar dari tadi,” ajak Erico sambil menggenggam tangan Dina.
“Hey, jawab aku dulu!”
Erico hanya menarik Dina ke
motornya tanpa menjawab apapun. Dina cukup tak senang dengan reaksi Erico
terhadapnya, namun ia tetap mengikuti kemanapun Erico mengajaknya.
Erico mengajaknya makan di
suatu tempat makan yang tak terlalu ramai, namun cukup bersih dan nyaman. Dina
sesaat merasa takjub dengan suasana tempat makan itu. Dua tahun ia kuliah di
daerah itu, ia tak pernah tahu bahwa ada tempat makan yang sangat nyaman
seperti ini.
“Aku tak pernah tahu ada
tempat makan yang senyaman ini,” kata Dina.
“Aku tahu kau pasti takjub.
Kau mau makan apa? Buku menunya ada di sampingmu.”
Dina membuka buku menu dan
memperhatikannya dengan perlahan. Semakin dia membalikkan daftar demi daftar,
semakin ia tak mempercayai matanya.
“Ini serius Ric? Menu di sini
murah banget.”
Erico mengangguk setuju.
“Awalnya aku ke sini juga tak percaya. Tapi memang benar harganya, tak ada
tambahan pajak lagi.”
Mereka berbincang panjang
lebar dari awal memesan hingga mereka selesai menyantap makanannya. Berbagai
topik dibicarakan seakan tak ada yang tak penting bagi mereka. Hingga hari
sudah semakin malam, mereka harus segera menyudahinya. Erico tak ingin Dina
jatuh sakit karenanya.
“Terima kasih telah mengajakku
ke tempat makan itu. Kau bahkan sampai mentraktirku,” ucap Dina.
“Bukan apa-apa. Itu tak
seberapa.”
“Baiklah kalau begitu. Terima
kasih untuk hari ini. Sampai jumpa.”
“Din, tunggu dulu!”
“Iya?”
Erico menggaruk-garuk
kepalanya dan menggigit bibirnya. Dina kebingungan melihat tingkah Erico.
Beberapa kali Erico terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun tertahan di
tenggorokannya.
“Baiklah, kalau kau tak ingin
mengatakannya. Aku akan masuk ke kamarku,” ketus Dina.
“Tidak, tidak, tidak, aku akan
mengatakannya, aku akan mengatakannya.”
Dina melipat kedua lengannya
dan menunggu. Keheningan melanda selama beberapa saat hingga akhirnya Erico
membuka mulut.
“Mau jadi pacarku?”
Dina tersentak kaget mendengar
pertanyaan singkat Erico. Matanya terpaku pada mata Erico yang begitu
mengharapkan jawaban. Mulutnya ikut kaku mengikuti tubuh Erico yang membatu
malam itu. Hanya angin sepoi yang saat itu berani bersuara kala itu.
“Tak perlu dijawab sekarang
kalau belum bisa,” ucap Erico secepat kilat.
“Aku… juga tak bisa
memaksamu,” lanjutnya. Dina mengedipkan matanya beberapa kali sampai akhirnya
ia tertawa kecil.
“Ah, ini terlalu mendadak.
Tentu saja kau menganggapnya sebuah lelucon….”
“Iya mau,” ucap Dina kecil.
Erico yang sudah tak begitu
memperhatikan Dina, terbelalak tak percaya dengan apa yang dia dengar.
“Kau bilang apa? Kau serius?
Tak bercanda kan?”
Dina mengangkat bahunya dan
berbalik. “Bergantung dari pertanyaanmu. Kau tak bercanda, maka aku juga
tidak,” katanya sembari masuk ke dalam asrama.
Erico menatap sosok Dina yang
semakin lama semakin jauh dan menghilang di balik pintu. Sesaat setelah Dina
menghilang dari balik pintu, Erico berteriak suka ria di atas motornya.
“Kau takkan menyesali
jawabanmu Din! Aku jamin itu!” teriaknya ke arah asrama Dina dan kemudian pergi
dari sana. Dina yang mendengar ucapan Erico dari kamarnya, tersenyum lebar.
Karena sebenarnya, Dina sendiri telah menyimpan rasa untuk Erico cukup lama.
Dan pertanyaan Erico tadi serasa seperti mimpi yang menjadi nyata untuknya.
Waktu kembali berlalu. Kini
mereka menjalani hari lebih dari sekadar teman. Meski awalnya orang tua Dina
sempat tak setuju, kini mereka berdua sudah mendapat restu mutlak dari orang
tua mereka. Namun semakin lama, mereka semakin sulit menhabiskan waktu bersama
dikarenakan jadwal praktikum yang semakin padat ditambah tugas-tugas kuliah
lainnya. Akan tetapi, semua itu tak menghalangi mereka untuk saling mengabari
keadaan mereka walau hanya melalui tatapan mata atau pun ucapan sampai jumpa di
penghujung hari.
Hingga akhir semester tujuh
lalu, Erico kembali memberanikan diri. Di depan Dina dan teman-temannya, ia
berkata, “Din…, tunggu aku di hari kelulusan kita. Aku akan melamarmu di depan
Orang tuamu.”
Seluruh insan Tuhan yang
mendengar terperangat kaget dan takjub. Dina sendiri tak bisa berkata apa-apa.
Ia hanya mengangguk dan meneteskan air mata. Akan kutunggu, katanya
dalam hati.
Seluruh topi kelulusan
dilemparkan ke langit setinggi-tingginya. Semua mahasiswa angkatan Dina dan
Erico dinyatakan lulus cumlaude. Sebuah pencapaian yang luar biasa.
Meskipun sempat terbawa suasana yang sangat menyenangkan sekaligus mengharukan,
itu tak membuat Dina lupa akan janji yang Erico buat. Ia memperhatikan
sekitarnya, mencari sosok Erico yang ia tunggu-tunggu.
Kemudian seseorang berteriak
memanggilnya dari belakang. Itu adalah Erico yang ia cari-cari sedari tadi. Ia
membawa se-bucket bunga mawar dan sebuah kotak kecil di tangannya yang
lain. Belum juga Erico sampai di hadapan Dina, air matanya sudah mengalir
menuruni pipinya hingga berujung di lesung pipinya.
Namun, suasana yang tak
teratur mengakibatkan seseorang tak sengaja menyenggol Erico hingga ia terjatuh
dan membuat kepala terbentur ujung panggung yang ada di dekatnya. Semua yang
melihat kejadian tersebut terkejut dan panik. Dina? Ia tak bisa bergerak dari
tempatnya berdiri. Badannya membatu sekeras batu tapi tanpa tenaga yang cukup
untuk menopang dirinya. Sehingga ia jatuh pingsan.
Dina tersentak kaget dan
membuka matanya. Napasnya terengah-engah. Ternyata hanya mimpi. Tapi rasanya
nyata banget. Dina menutup matanya dengan lengan, berusaha mengatur
napasnya dan menenangkan dirinya.
“Ada apa Din?”
Dina menatap suaminya yang
masih setengah sadar. “Tidak apa-apa. Hanya mimpi buruk,” jawabnya. “Mimpi apa
memangnya?” Dina menggelengkan kepala, menyentuh pipi suaminya, dan menjawab,
“Sudah tidak penting lagi, karena kau ada di sini, Erico.”
“Happy Anniversary yang
ke-40,” lanjutnya.
Dina memejamkan matanya untuk
kembali tidur. Ia tertidur dengan ukiran senyum yang lebar di bibirnya. Namun,
matanya meneteskan air mata, dadanya terasa semakin sesak saat ia menahan air
matanya. Ia tak ingin membuka matanya, tapi semakin ia menolak semakin tubuhnya
memberontak.
Hingga setelah beberapa lama,
ia akhirnya membuka lagi matanya yang telah memerah. Alasan mengapa ia tak
ingin membuka mata adalah karena selama ini sosok Erico hanya tinggal bayangan
delusinya saja.
Sudah lewat dari dua tahun
sejak kepergian Erico karena kecelakaan kerja. Meski Dina masih belum bisa
mengikhlaskannya, tapi ia bersyukur karena pernikahannya terbilang yang paling
harmonis di mata orang-orang sekitar.
Dina kembali menangis. “I miss
you, darling. I really really miss you.”
pic src: https://in.pinterest.com/pin/145241156720541539/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar