Hidungku tak pernah bisa menolak harum dari sebuah keju. Mereka seakan-akan adalah emas di mata para gold digger. Ya, sebuah keju. Aku selalu menyetok paling tidak sekotak keju, apapun mereknya. Suamiku pasti selalu bertanya setiap bulannya, “Kejunya baru lagi? Yang kemarin sudah habis?”
Aku akan
menatapnya sambil tersenyum lebar dan menjawab iya. Setelahnya ia akan
menggelengkan kepalanya pelan, yang mana membuatku tertawa kecil. Reaksinya
selalu membuatku ingin memeluknya. Itu rutinitas kecil kami sejak menikah
beberapa tahun lalu.
Kini di hadapanku
terpampang sebuah keju swiss yang belum pernah kucoba. Instingku tentunya ingin
untuk segera mengambil dan mengolahnya di dapur. Namun, yang membuatku ragu
adalah… orang yang memberikan keju ini padaku.
“Ada apa, Aliza?”
Pertanyaannya
membuatku sedikit tersentak. Aku berusaha untuk mencari alasan yang bisa
kupakai untuk menolak pemberiannya secara halus, tapi sepertinya kutak bisa
memikirkan satu hal pun.
“Terima
kasih, Pak Edric. Tapi Bapak selalu membelikan saya keju setiap pulang dari
luar negeri, rasanya tak pantas saya terus menerimanya. Saya juga tidak tahu
bagaimana membalas pemberian Bapak. Dan rumor yang beredar –”
“Tak
apa-apa. Terima saja. kamu suka dengan keju. Itu saja sudah cukup buatku
sebagai seseorang yang bekerja di perusahaan industri keju. Awalnya aku ingin
memberikannya kemarin, tapi kamu tidak masuk karena sakit. Tentang rumor, ya,
aku mengetahuinya. Tapi saya tak peduli apa kata orang. Dan kau boleh berhenti
bersikap formal padaku,” senyumnya tanpa henti. Aku mencengkram tanganku
kuat-kuat, berharap sebuah keajaiban datang dan menghilangkan ia dari
hadapanku.
Tepat saat
aku berharap seperti itu, mobil suamiku datang dari arah belakangku.
Kedatangannya juga disadari Edric. Di saat suamiku keluar dari mobil, Edric
dengan segera menarik tanganku, memaksaku untuk menerima keju swiss yang sedari
tadi ia sodorkan.
“Semoga kamu
menyukainya,” ucapnya yang kemudian berlalu dengan cepat menghilang diantara
keramaian pekerja kantor lainnya, bahkan sebelum aku dapat menanggapinya.
“Dia siapa?”
tanya suamiku, yang telah berdiri di sebelahku, dengan nada tak senang. Aku
tersenyum canggung sambil menatap keju yang telah berada di tanganku dan
menjelaskan apa yang terjadi. Tentu saja ceritaku takkan membuatnya tersenyum.
Ini tak
terjadi secara tiba-tiba, semua berawal sejak tahun lalu. Kala itu, Edric
adalah seorang perwakilan dari perusahaan. Ia datang ke sini, kantor tempat aku
bekerja, untuk menghadiri rapat proposal kerja sama antara kantornya dan
kantorku. Awalnya tak ada yang aneh dari dirinya. Kami hanya berkomunikasi
sebatas urusan pekerjaan. Namun, beberapa minggu setelah kerja sama kami
berjalan, ia mulai sering membagi-bagikan potongan keju dengan alasan perayaan
atas keberhasilan tahan demi tahap.
Aku tak
menganggap itu aneh, karena selain kantornya adalah pemilik pabrik keju, ia
juga membagikannya ke semua orang di kantorku. Beberapa minggu setelahnya, ia
mulai memberikan potongan keju padaku di saat aku sendirian.
“Ini
oleh-oleh dariku untuk kalian. Aku sudah membagikannya ke yang lain, namun aku
tak melihat kamu di sana. Jadi aku mencarimu,” ucapnya saat itu. Tak ada
kecurigaan yang muncul dalam benakku. Aku mempercayai kata-katanya begitu saja.
Hingga hal itu telah berulang beberapa kali, aku baru mendengar apa yang
sebenarnya dari teman semejaku, Claire.
“Kau masih
dikasih keju sama Pak Edric?”
“Iya,
kenapa?”
“Kau tak
merasa aneh? Kau, kan, sudah menikah.”
“Hm? Apa
maksudmu? Apa hubungannya dengan statusku?”
“Kau tak
pernah dengar rumor yang beredar di divisi kita?”
“Rumor apa?
Aku tak pernah memperhatikannya.”
“Ya, Tuhan,
Liza. Kau harus lebih peka dan peduli terhadap sekitarmu. Ada rumor yang
mengatakan bahwa kau sekarang sedang menjalani hubungan diam-diam dengan Pak
Edric.”
“Ha? Aku
tidak…!”
“Iya, iya.
Aku percaya padamu. Aku sudah mendengar hampir setiap hari pujianmu terhadap
suamimu, jadi kutak percaya rumor itu. Tapi ‘bukti’ yang dibawa rumor itu lah
yang membuat orang-orang bisa percaya.”
“Bukti?
Bukti apa?”
“Keju itu.
Yang kutanyakan tadi. Kau masih menerimanya.”
Aku masih
memandangi Claire dengan tanda tanya, namun aku mulai mengetahui arah
pembicaraan kami.
“Memang kau
tidak? Tapi dia bilang, dia sudah membagikannya ke semua orang, tinggal aku
sendiri.”
“Tidak.
tidak ada satu pun dari kami yang menerimanya. Terakhir kali ia memberikan pada
kami adalah saat dua bulan lalu, yang kedua kalinya. Setelahnya tak pernah.
Lagipula, apa kau tak berpikir, sekaya apapun dia atau setulus apapun pabrik
kantornya, rasanya tidak mungkin ia terus-terusan membagikan keju mereka secara
gratis? Dan mengapa hanya keju? Meski pekerjaannya berhubungan dengan keju,
namun tidak semua orang menyukai keju dan terlalu monoton.”
Penjelasan
Claire sangat masuk akal. Aku tak pernah memikirkan hal itu sama sekali, aku
terlalu fokus memikirkan masakan apa yang dapat kubuat dengan keju yang
kuterima. Setelah Claire memberitahuku, aku mulai menyadari pandangan
orang-orang yang kurang senang padaku.
“Kenapa kau
begitu acuh, Liz!” gertakku pada diri sendiri. “Sudah berlalu lebih dari
setengah tahun sejak pertama ia membaginya, dan keju yang ia beri juga semakin
mahal. Seharusnya aku menyadari keanehan ini. Tsk, sial! Aku hanya bisa menghindari
Pak Edric, salah-salah aku bisa dipecat.”
Sejak hari
itu sebisa mungkin aku menyibukkan diri atau terus bersama dengan Claire agar
tak terlihat seorang diri. Dan sejak hari itu, aku baru menyadari bahwa Edric
selalu memperhatikan gerak-gerikku setiap dia ada di kantorku. Mengingatnya
membuatku merinding.
“Ada apa,
Liz? Tidak biasanya kau termenung begitu,” tanya suamiku, Ethan, dengan matanya
yang tetap fokus ke jalan raya.
“Ha? Oh,
tidak. Tidak apa-apa. Mungkin aku hanya lebih lelah dari biasanya saja.”
“Kenapa?
Kerjaan bertambah?”
“Yaa…,
mungkin bisa dibilang begitu.”
“Kenapa
mungkin? Ada apa, sayang? Gapapa cerita saja.”
Aku mengerutkan
kening dan menopang wajahku dengan tangan kiri, menghadap keluar jendela mobil.
Aku hanya menghindar agar tak didatangi olah Edric, namun rasanya seperti
bertarung dengannya. Sangat melelahkan.
“Aku ingin
istirahat sebentar. Bangunkan aku begitu kita sudah sampai.”
“Baiklah,”
jawab Ethan sedikit khawatir.
Sesampainya
di rumah, aku segera mandi dan sedikit membersihkan rumah sebelum akhirnya
memasak untuk makan malam. Aku berdiri di depan kompor dengan tatapan sedikit
lesu kala itu. Bagaimana aku menceritakannya pada Ethan? Dia pasti akan
sangat marah….
Malam itu,
kucoba untuk menyingkirkan semua hal yang menggangguku. Kufokuskan diri untuk
membuat makan malam dan menatanya di meja makan seperti biasanya. Sebisa
mungkin, aku tak menunjukkan diri yang terganggu sesuatu di sekitar Ethan.
Namun, saat hendak mulai makan, Ethan menyadari sesuatu lagi. Sesuatu yang aku
berusaha lupakan.
“Liz? Kau
sudah mengeluarkan semua masakannya?”
“Iya,
kenapa?”
“Umm…,
tidak seperti biasanya. Paling tidak, kau akan membuat satu makanan khusus
untukmu sendiri dengan campuran keju. Tapi aku tak melihat satu pun di sini.”
Aku melihat
semua masakan di atas meja, dan Ethan benar. Aku tak menggunakan keju sama
sekali kali ini, yang mana tidak normal di matanya. Aku… seakan-akan muak
dengan keju.
“Sebenarnya
ada apa, Liz? Aku sudah merasa aneh dari beberapa hari kemarin. Kau sudah mulai
mengurangi penggunaan keju. Kupikir karena stoknya sudah mau habis, tapi begitu
aku membuka kulkas, masih ada banyak di sana. Bahkan masih ada yang belum
dibuka. Kau tak ingin cerita apa ada? Apa sekarang kau tak lagi menyukai keju?”
“Tidak, aku
masih suka, masih sangat suka.”
“Lalu?”
“Hanya
saja…,” kata-kata terhenti sejenak. Aku tak tahu bagaimana menceritakannya
kepada Ethan. Aku harus menggunakan kalimat yang bagaimana? Istrimu terus
menerima keju dari lelaki lain tanpa tahu bahwa itu adalah perlakuan spesial
dan telah berlangsung selama berbulan-bulan? Atau ada rumor tentang diriku
dengan rekan kerja yang dikarenakan keju? Mau penjelasan yang mana pun,
semuanya akan berakhir pada aku menerima perlakukan istimewa lelaki lain di
saat aku sendiri sudah menikah.
Tanpa
sadar, air mataku menetes dan membuat Ethan terkejut. Ia segera bangkit dari
bangkunya dan memeluk diriku. Dalam dekapannya, aku menangis tersedu-sedu
selama beberapa lama. Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Yang aku
ingat terakhir kali sebelum tertidur adalah Ethan yang menggendongku. Sudah
berapa lama aku menangis? Mataku berat…. Apa Ethan sudah makan?
Keesokan
paginya, aku terbangun dari balik selimut dengan Ethan yang memelukku dari
belakang. Sepertinya Ethan menggendongku ke kamar semalam. Mataku masih terasa
sembab, tapi aku masih dapat melihat wajahnya yang tak berdaya. Apa semalam
ia juga langsung tidur denganku? Bagaimana dengan masakannya? Masakan… Ah, iya!
Masakannya!
Aku segera
bergegas keluar kamar dan memeriksa ruang makan serta dapur. Kudapati masakan
yang kubuat semalam berada dalam kulkas dengan keadaan masih utuh. Masih
utuh…, berarti Ethan juga belum makan.
“Aliza?”
panggil Ethan dari luar dapur.
“Aku di
dapur.”
Ethan menghampiriku
dan memelukku seperti pada pagi biasanya, namun kali ini dekapannya sedikit
lebih kuat.
“Kau
semalam tidak makan?” tanyaku dengan suara sedikit menghilang.
“Bagaimana
aku bisa makan setelah melihatmu seperti itu.”
Aku hanya
tersenyum kecil mendengar tanggapannya.
“Kau masih
belum mau cerita apa yang terjadi?”
Aku
memandangi keju-keju yang berjejer menghiasi kulkas. Di seumur hidupku, ini
pertama kalinya aku merasa mual melihat keju. Tidak, lebih tepat aku mual
mengingat Edric dan keju mengingatkanku padanya.
“Jebakan
keju,” gumamku pelan.
“Apa?”
Aku
menggelengkan kepala pelan.
“Kalau kau
tidak keberatan, apa boleh hari ini kita cuti?”
Ethan
melihat jam dinding yang terletak tak jauh dari posisi kami. Ia tersenyum,
“Baiklah jika itu maumu. Lagipula kita tetap akan terlambat meski berangkat
sekarang. Aku akan telepon ke kantor. Apa kau mau aku yang teleponkan juga ke
kantormu?”
“Terima
kasih.”
Aku
tersenyum dengan tawaran Ethan. Ada sedikit perasaan lega menyadari bahwa aku
memiliki lelaki yang selalu bisa kuandalkan. Setelah cuti hari ini…, kuharap
tak pernah melihat Edric lagi. Kuharap….
Itu yang
kudoakan kemarin. Ya, kemarin. Dan hari ini, dia menghampiriku di depan kantor,
memberiku bingkisan secara terang-terangan. Tentu saja mata semua orang kantor
akan tertuju pada kami. Ugh… kepalaku sakit.
“Ayo kita
ke mobil.”
Ethan
menarik tanganku dengan erat. Ia selama ini tak pernah mengeluarkan tenaga
sebesar ini, ini pertama kalinya. Pergelangan tanganku sakit, tapi aku mengerti
mengapa ia seperti ini. Perjalanan pulang kami hanya dihiasi keheningan, tak
ada satu pun kata yang keluar dari mulut kami. Ethan bahkan langsung masuk ke
dalam rumah begitu turun dari mobil dan aku mengikutinya dari belakang. Meski
aku tak melihat wajahnya, aku masih dapat merasakan amarah yang ia coba tahan
sedari tadi.
“Liz,”
panggilnya dengan nada tegas begitu kami telah di dalam rumah. Di saat yang
sama, ia berbalik dan mengangkat tangannya. Gerakannya yang tiba-tiba itu
membuatku terkejut dan refleks memejamkan kedua mata. Kupikir ia akan
menamparku atau memukulku karena apa yang telah terjadi, namun ia hanya
meletakkan tangannya di atas kepalaku.
“Aku marah?
Iya. Kecewa? Iya. Padamu? Iya. Tapi aku takkan pernah main tangan denganmu,
Liz,” katanya dengan nada yang masih tegas namun sedikit lebih lembut. Setelah
beberapa lama saling bertatapan, ia memelukku.
“Kenapa kau
tidak cerita kemarin? Harusnya kau cerita. Mau bagaimanapun, aku suamimu dan
aku akan terus percaya padamu.”
“Aku… aku
takut. Aku takut kau akan sangat marah dan takkan memaafkanku,” jawabku sedikit
bergetar menahan tangis dalam pelukannya. Aku terus mengucapkan kata maaf,
namun dalam hatiku aku terus berterima kasih.
“Kau yakin
tak ingin aku membantumu membawa ini semua?” tanya Ethan.
“Tidak
perlu. Ini masalahku dengan dia. Aku akan berikan sendiri padanya.”
“Baiklah,
sampai jumpa nanti sore.”
Aku
mengangguk sambil tersenyum. Ethan menggenggam tanganku dan mencium keningku
sebelum akhirnya ia masuk ke mobil dan berangkat ke kantornya. Pagi hari ini
tidak berbeda dengan hari lainnya, hanya dukungan Ethan yang semakin membuatku
bersemangat.
Aku
melangkahkan kaki dengan tegas ke dalam kantor dengan sebuah kantong belanja
ukuran sedang di salah satu tanganku. Sambil berjalan menuju lantai di mana aku
bertugas, kulihat sekeliling mencari keberadaannya. Firasatku mengatakan bahwa
ia takkan jauh-jauh dari jalur yang sedang kuambil ini. Dan benar saja,
sosoknya terlihat tepat di lorong depan meja kerjaku. Dengan menahan rasa mual,
aku menghampirinya.
“Pak
Edric!”
“Ah, Aliza!
Kebetulan sekali. Aku mencarimu sedari tadi.”
Bersamaan
dengan kalimatnya itu, ia mengeluarkan sekotak bungkusan. Dan dari dalam sana
aku dapat mencium sebuah bau keju yang khas, jenis blue cheese. Keju
yang sebagian besar orang akan membuangnya karena baunya yang menyengat. Tak
jarang baunya disamakan dengan sampah. Dia benar-benar gila! Di depan semua
teman-temanku? Seakan-akan rumor itu dia juga yang memulainya.
“Terima
kasih, Pak. Harus saya akui, saya sangat berterima kasih atas pemberian Bapak. Selama
ini saya tak menyadarinya. Tapi kali ini, saya harus tegaskan pada Bapak. Saya
menolak pemberian Bapak. Saya sudah memiliki pasangan. Dan ini saya kembalikan
semua keju-keju yang telah Bapak berikan pada saya. Utuh dalam kemasan tersegel.
Saya permisi,” ucapku tegas dan menarik tangannya, memaksanya menerima kantong
yang sedari tadi kutenteng, seperti yang kemarin ia lakukan padaku.
Aku baru
saja melewati sosoknya dan hendak menuju mejaku, namun ia menjatuhkan semua
keju yang ada di tangannya dan malah menarik tanganku. Aku tersentak kaget,
segera kutarik tanganku lepas dari genggamannya. Raut wajahnya seperti
seseorang yang ketahuan telah berbuat kejahatan.
“Tidak,
tidak! Bukan itu maksudku. Kamu salah paham. Aku –”
“Saya tidak
peduli apa lagi tujuan Bapak sebenarnya. Mau salah paham atau tidak, intinya Bapak
telah membuat saya dan juga suasana kantor tidak nyaman. Sebagai pegawai dengan
jabatan tinggi, sudah sepantasnya Bapak mengetahui etika ini. Terlebih lagi, Bapak
sudah berusia lebih dari 50 tahun. Bapak seharusnya juga sadar diri.”
Kali ini,
wajahnya menunjukkan ekspresi marah yang tak pernah kulihat. Tatapan matanya
sangat tajam seperti akan menusukku kapan saja dan ia menggertak giginya
seperti orang yang menahan dendam.
“K-Kau…!”
“Ada apa
ini?”
CEO
menghampiri kami yang telah berbuat keributan di pagi hari. Kami para staff
tentu saja membungkukkan badan untuk menghormati kedatangannya, baik yang ada
di dalam ruangan maupun yang di luar ruangan, kecuali Edric. Ia bukan staff
tapi rekan kerja, yang tak punya kewajiban menberi hormat pada CEO. CEO melihat
lantai yang berantakan dengan keju dan menunjukkan ekspresi tak senang. Tentu
saja, siapa yang senang melihat kantornya berantakan di pagi hari.
“Maafkan
atas kekacauan di pagi hari, Pak. Saya bisa menjelaskannya,” ungkapku untuk
memecahkan keheningan yang ada. CEO memicingkan matanya padaku, aura dingin
darinya dapat aku rasakan meski kami berjarak sekitar satu meter. Edric yang
berada tak jauh dariku menatapku dengan senyuman yang mengerikan. Sepertinya ia
senang aku mendapat masalah. Tak apa-apa, aku sudah mempersiapkan diri. Kau
takkan bisa menggangguku lagi Edric.
“Tapi saya
yakin, bukan hanya saya yang bertanggung jawab atas kejadian ini,” ucapku tanpa
ragu sambil melirik kepada Edric. Ia tersentak.
“Baiklah, kita
bicarakan di ruangan saya.”
“Baik, Pak,”
jawabku tenang.
Edric tak mengeluarkan
kata-kata apapun, ia hanya mengikuti CEO dari belakang sambil sesekali
menampilkan ekspresi dendam padaku yang ada di sebelahnya. Aku menoleh ke arah
Claire yang tak jauh dari sana dan melambaikan tanganku pelan sambil tersenyum.
Kuputar lagu-lagu
yang kusimpan dalam memori teleponku sejak lama. Sambil memasak makan malam,
sesekali aku menari-nari kecil, ke sana ke mari. Mulai hari ini, aku hanya akan
menggunakan keju di kala perlu saja, tidak menjadi sebuah keharusan. Lagipula,
aku masih bisa makan tanpa keju.
“Liz?”
Ethan
memanggilku begitu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. Mungkin
karena suara musik dan wangi masakan dari dapur, jadi ia langsung tahu
keberadaanku. Ia langsung memelukku begitu melihatku.
“Kau sudah
masak berapa banyak? Wangi sekali. Aku
terkejut saat kau telepon hari ini kau pulang lebih awal. Bagaimana hari ini?”
Aku menoleh
menatapnya dan tersenyum lebar, “Aku mengundurkan diri.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar