Cari

15 Februari 2024

Cheese Trap

 


Hidungku tak pernah bisa menolak harum dari sebuah keju. Mereka seakan-akan adalah emas di mata para gold digger. Ya, sebuah keju. Aku selalu menyetok paling tidak sekotak keju, apapun mereknya. Suamiku pasti selalu bertanya setiap bulannya, “Kejunya baru lagi? Yang kemarin sudah habis?”

Aku akan menatapnya sambil tersenyum lebar dan menjawab iya. Setelahnya ia akan menggelengkan kepalanya pelan, yang mana membuatku tertawa kecil. Reaksinya selalu membuatku ingin memeluknya. Itu rutinitas kecil kami sejak menikah beberapa tahun lalu.

Kini di hadapanku terpampang sebuah keju swiss yang belum pernah kucoba. Instingku tentunya ingin untuk segera mengambil dan mengolahnya di dapur. Namun, yang membuatku ragu adalah… orang yang memberikan keju ini padaku.

“Ada apa, Aliza?”

Pertanyaannya membuatku sedikit tersentak. Aku berusaha untuk mencari alasan yang bisa kupakai untuk menolak pemberiannya secara halus, tapi sepertinya kutak bisa memikirkan satu hal pun.

“Terima kasih, Pak Edric. Tapi Bapak selalu membelikan saya keju setiap pulang dari luar negeri, rasanya tak pantas saya terus menerimanya. Saya juga tidak tahu bagaimana membalas pemberian Bapak. Dan rumor yang beredar –”

“Tak apa-apa. Terima saja. kamu suka dengan keju. Itu saja sudah cukup buatku sebagai seseorang yang bekerja di perusahaan industri keju. Awalnya aku ingin memberikannya kemarin, tapi kamu tidak masuk karena sakit. Tentang rumor, ya, aku mengetahuinya. Tapi saya tak peduli apa kata orang. Dan kau boleh berhenti bersikap formal padaku,” senyumnya tanpa henti. Aku mencengkram tanganku kuat-kuat, berharap sebuah keajaiban datang dan menghilangkan ia dari hadapanku.

Tepat saat aku berharap seperti itu, mobil suamiku datang dari arah belakangku. Kedatangannya juga disadari Edric. Di saat suamiku keluar dari mobil, Edric dengan segera menarik tanganku, memaksaku untuk menerima keju swiss yang sedari tadi ia sodorkan.

“Semoga kamu menyukainya,” ucapnya yang kemudian berlalu dengan cepat menghilang diantara keramaian pekerja kantor lainnya, bahkan sebelum aku dapat menanggapinya.

“Dia siapa?” tanya suamiku, yang telah berdiri di sebelahku, dengan nada tak senang. Aku tersenyum canggung sambil menatap keju yang telah berada di tanganku dan menjelaskan apa yang terjadi. Tentu saja ceritaku takkan membuatnya tersenyum.

Ini tak terjadi secara tiba-tiba, semua berawal sejak tahun lalu. Kala itu, Edric adalah seorang perwakilan dari perusahaan. Ia datang ke sini, kantor tempat aku bekerja, untuk menghadiri rapat proposal kerja sama antara kantornya dan kantorku. Awalnya tak ada yang aneh dari dirinya. Kami hanya berkomunikasi sebatas urusan pekerjaan. Namun, beberapa minggu setelah kerja sama kami berjalan, ia mulai sering membagi-bagikan potongan keju dengan alasan perayaan atas keberhasilan tahan demi tahap.

Aku tak menganggap itu aneh, karena selain kantornya adalah pemilik pabrik keju, ia juga membagikannya ke semua orang di kantorku. Beberapa minggu setelahnya, ia mulai memberikan potongan keju padaku di saat aku sendirian.

“Ini oleh-oleh dariku untuk kalian. Aku sudah membagikannya ke yang lain, namun aku tak melihat kamu di sana. Jadi aku mencarimu,” ucapnya saat itu. Tak ada kecurigaan yang muncul dalam benakku. Aku mempercayai kata-katanya begitu saja. Hingga hal itu telah berulang beberapa kali, aku baru mendengar apa yang sebenarnya dari teman semejaku, Claire.

“Kau masih dikasih keju sama Pak Edric?”

“Iya, kenapa?”

“Kau tak merasa aneh? Kau, kan, sudah menikah.”

“Hm? Apa maksudmu? Apa hubungannya dengan statusku?”

“Kau tak pernah dengar rumor yang beredar di divisi kita?”

“Rumor apa? Aku tak pernah memperhatikannya.”

“Ya, Tuhan, Liza. Kau harus lebih peka dan peduli terhadap sekitarmu. Ada rumor yang mengatakan bahwa kau sekarang sedang menjalani hubungan diam-diam dengan Pak Edric.”

“Ha? Aku tidak…!”

“Iya, iya. Aku percaya padamu. Aku sudah mendengar hampir setiap hari pujianmu terhadap suamimu, jadi kutak percaya rumor itu. Tapi ‘bukti’ yang dibawa rumor itu lah yang membuat orang-orang bisa percaya.”

“Bukti? Bukti apa?”

“Keju itu. Yang kutanyakan tadi. Kau masih menerimanya.”

Aku masih memandangi Claire dengan tanda tanya, namun aku mulai mengetahui arah pembicaraan kami.

“Memang kau tidak? Tapi dia bilang, dia sudah membagikannya ke semua orang, tinggal aku sendiri.”

“Tidak. tidak ada satu pun dari kami yang menerimanya. Terakhir kali ia memberikan pada kami adalah saat dua bulan lalu, yang kedua kalinya. Setelahnya tak pernah. Lagipula, apa kau tak berpikir, sekaya apapun dia atau setulus apapun pabrik kantornya, rasanya tidak mungkin ia terus-terusan membagikan keju mereka secara gratis? Dan mengapa hanya keju? Meski pekerjaannya berhubungan dengan keju, namun tidak semua orang menyukai keju dan terlalu monoton.”

Penjelasan Claire sangat masuk akal. Aku tak pernah memikirkan hal itu sama sekali, aku terlalu fokus memikirkan masakan apa yang dapat kubuat dengan keju yang kuterima. Setelah Claire memberitahuku, aku mulai menyadari pandangan orang-orang yang kurang senang padaku.

“Kenapa kau begitu acuh, Liz!” gertakku pada diri sendiri. “Sudah berlalu lebih dari setengah tahun sejak pertama ia membaginya, dan keju yang ia beri juga semakin mahal. Seharusnya aku menyadari keanehan ini. Tsk, sial! Aku hanya bisa menghindari Pak Edric, salah-salah aku bisa dipecat.”

Sejak hari itu sebisa mungkin aku menyibukkan diri atau terus bersama dengan Claire agar tak terlihat seorang diri. Dan sejak hari itu, aku baru menyadari bahwa Edric selalu memperhatikan gerak-gerikku setiap dia ada di kantorku. Mengingatnya membuatku merinding.

“Ada apa, Liz? Tidak biasanya kau termenung begitu,” tanya suamiku, Ethan, dengan matanya yang tetap fokus ke jalan raya.

“Ha? Oh, tidak. Tidak apa-apa. Mungkin aku hanya lebih lelah dari biasanya saja.”

“Kenapa? Kerjaan bertambah?”

“Yaa…, mungkin bisa dibilang begitu.”

“Kenapa mungkin? Ada apa, sayang? Gapapa cerita saja.”

Aku mengerutkan kening dan menopang wajahku dengan tangan kiri, menghadap keluar jendela mobil. Aku hanya menghindar agar tak didatangi olah Edric, namun rasanya seperti bertarung dengannya. Sangat melelahkan.

“Aku ingin istirahat sebentar. Bangunkan aku begitu kita sudah sampai.”

“Baiklah,” jawab Ethan sedikit khawatir.

Sesampainya di rumah, aku segera mandi dan sedikit membersihkan rumah sebelum akhirnya memasak untuk makan malam. Aku berdiri di depan kompor dengan tatapan sedikit lesu kala itu. Bagaimana aku menceritakannya pada Ethan? Dia pasti akan sangat marah….

Malam itu, kucoba untuk menyingkirkan semua hal yang menggangguku. Kufokuskan diri untuk membuat makan malam dan menatanya di meja makan seperti biasanya. Sebisa mungkin, aku tak menunjukkan diri yang terganggu sesuatu di sekitar Ethan. Namun, saat hendak mulai makan, Ethan menyadari sesuatu lagi. Sesuatu yang aku berusaha lupakan.

“Liz? Kau sudah mengeluarkan semua masakannya?”

“Iya, kenapa?”

“Umm…, tidak seperti biasanya. Paling tidak, kau akan membuat satu makanan khusus untukmu sendiri dengan campuran keju. Tapi aku tak melihat satu pun di sini.”

Aku melihat semua masakan di atas meja, dan Ethan benar. Aku tak menggunakan keju sama sekali kali ini, yang mana tidak normal di matanya. Aku… seakan-akan muak dengan keju.

“Sebenarnya ada apa, Liz? Aku sudah merasa aneh dari beberapa hari kemarin. Kau sudah mulai mengurangi penggunaan keju. Kupikir karena stoknya sudah mau habis, tapi begitu aku membuka kulkas, masih ada banyak di sana. Bahkan masih ada yang belum dibuka. Kau tak ingin cerita apa ada? Apa sekarang kau tak lagi menyukai keju?”

“Tidak, aku masih suka, masih sangat suka.”

“Lalu?”

“Hanya saja…,” kata-kata terhenti sejenak. Aku tak tahu bagaimana menceritakannya kepada Ethan. Aku harus menggunakan kalimat yang bagaimana? Istrimu terus menerima keju dari lelaki lain tanpa tahu bahwa itu adalah perlakuan spesial dan telah berlangsung selama berbulan-bulan? Atau ada rumor tentang diriku dengan rekan kerja yang dikarenakan keju? Mau penjelasan yang mana pun, semuanya akan berakhir pada aku menerima perlakukan istimewa lelaki lain di saat aku sendiri sudah menikah.

Tanpa sadar, air mataku menetes dan membuat Ethan terkejut. Ia segera bangkit dari bangkunya dan memeluk diriku. Dalam dekapannya, aku menangis tersedu-sedu selama beberapa lama. Aku tak tahu sudah berapa lama waktu berlalu. Yang aku ingat terakhir kali sebelum tertidur adalah Ethan yang menggendongku. Sudah berapa lama aku menangis? Mataku berat…. Apa Ethan sudah makan?

Keesokan paginya, aku terbangun dari balik selimut dengan Ethan yang memelukku dari belakang. Sepertinya Ethan menggendongku ke kamar semalam. Mataku masih terasa sembab, tapi aku masih dapat melihat wajahnya yang tak berdaya. Apa semalam ia juga langsung tidur denganku? Bagaimana dengan masakannya? Masakan… Ah, iya! Masakannya!

Aku segera bergegas keluar kamar dan memeriksa ruang makan serta dapur. Kudapati masakan yang kubuat semalam berada dalam kulkas dengan keadaan masih utuh. Masih utuh…, berarti Ethan juga belum makan.

“Aliza?” panggil Ethan dari luar dapur.

“Aku di dapur.”

Ethan menghampiriku dan memelukku seperti pada pagi biasanya, namun kali ini dekapannya sedikit lebih kuat.

“Kau semalam tidak makan?” tanyaku dengan suara sedikit menghilang.

“Bagaimana aku bisa makan setelah melihatmu seperti itu.”

Aku hanya tersenyum kecil mendengar tanggapannya.

“Kau masih belum mau cerita apa yang terjadi?”

Aku memandangi keju-keju yang berjejer menghiasi kulkas. Di seumur hidupku, ini pertama kalinya aku merasa mual melihat keju. Tidak, lebih tepat aku mual mengingat Edric dan keju mengingatkanku padanya.

“Jebakan keju,” gumamku pelan.

“Apa?”

Aku menggelengkan kepala pelan.

“Kalau kau tidak keberatan, apa boleh hari ini kita cuti?”

Ethan melihat jam dinding yang terletak tak jauh dari posisi kami. Ia tersenyum, “Baiklah jika itu maumu. Lagipula kita tetap akan terlambat meski berangkat sekarang. Aku akan telepon ke kantor. Apa kau mau aku yang teleponkan juga ke kantormu?”

“Terima kasih.”

Aku tersenyum dengan tawaran Ethan. Ada sedikit perasaan lega menyadari bahwa aku memiliki lelaki yang selalu bisa kuandalkan. Setelah cuti hari ini…, kuharap tak pernah melihat Edric lagi. Kuharap….

Itu yang kudoakan kemarin. Ya, kemarin. Dan hari ini, dia menghampiriku di depan kantor, memberiku bingkisan secara terang-terangan. Tentu saja mata semua orang kantor akan tertuju pada kami. Ugh… kepalaku sakit.

“Ayo kita ke mobil.”

Ethan menarik tanganku dengan erat. Ia selama ini tak pernah mengeluarkan tenaga sebesar ini, ini pertama kalinya. Pergelangan tanganku sakit, tapi aku mengerti mengapa ia seperti ini. Perjalanan pulang kami hanya dihiasi keheningan, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut kami. Ethan bahkan langsung masuk ke dalam rumah begitu turun dari mobil dan aku mengikutinya dari belakang. Meski aku tak melihat wajahnya, aku masih dapat merasakan amarah yang ia coba tahan sedari tadi.

“Liz,” panggilnya dengan nada tegas begitu kami telah di dalam rumah. Di saat yang sama, ia berbalik dan mengangkat tangannya. Gerakannya yang tiba-tiba itu membuatku terkejut dan refleks memejamkan kedua mata. Kupikir ia akan menamparku atau memukulku karena apa yang telah terjadi, namun ia hanya meletakkan tangannya di atas kepalaku.

“Aku marah? Iya. Kecewa? Iya. Padamu? Iya. Tapi aku takkan pernah main tangan denganmu, Liz,” katanya dengan nada yang masih tegas namun sedikit lebih lembut. Setelah beberapa lama saling bertatapan, ia memelukku.

“Kenapa kau tidak cerita kemarin? Harusnya kau cerita. Mau bagaimanapun, aku suamimu dan aku akan terus percaya padamu.”

“Aku… aku takut. Aku takut kau akan sangat marah dan takkan memaafkanku,” jawabku sedikit bergetar menahan tangis dalam pelukannya. Aku terus mengucapkan kata maaf, namun dalam hatiku aku terus berterima kasih.

“Kau yakin tak ingin aku membantumu membawa ini semua?” tanya Ethan.

“Tidak perlu. Ini masalahku dengan dia. Aku akan berikan sendiri padanya.”

“Baiklah, sampai jumpa nanti sore.”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Ethan menggenggam tanganku dan mencium keningku sebelum akhirnya ia masuk ke mobil dan berangkat ke kantornya. Pagi hari ini tidak berbeda dengan hari lainnya, hanya dukungan Ethan yang semakin membuatku bersemangat.

Aku melangkahkan kaki dengan tegas ke dalam kantor dengan sebuah kantong belanja ukuran sedang di salah satu tanganku. Sambil berjalan menuju lantai di mana aku bertugas, kulihat sekeliling mencari keberadaannya. Firasatku mengatakan bahwa ia takkan jauh-jauh dari jalur yang sedang kuambil ini. Dan benar saja, sosoknya terlihat tepat di lorong depan meja kerjaku. Dengan menahan rasa mual, aku menghampirinya.

“Pak Edric!”

“Ah, Aliza! Kebetulan sekali. Aku mencarimu sedari tadi.”

Bersamaan dengan kalimatnya itu, ia mengeluarkan sekotak bungkusan. Dan dari dalam sana aku dapat mencium sebuah bau keju yang khas, jenis blue cheese. Keju yang sebagian besar orang akan membuangnya karena baunya yang menyengat. Tak jarang baunya disamakan dengan sampah. Dia benar-benar gila! Di depan semua teman-temanku? Seakan-akan rumor itu dia juga yang memulainya.

“Terima kasih, Pak. Harus saya akui, saya sangat berterima kasih atas pemberian Bapak. Selama ini saya tak menyadarinya. Tapi kali ini, saya harus tegaskan pada Bapak. Saya menolak pemberian Bapak. Saya sudah memiliki pasangan. Dan ini saya kembalikan semua keju-keju yang telah Bapak berikan pada saya. Utuh dalam kemasan tersegel. Saya permisi,” ucapku tegas dan menarik tangannya, memaksanya menerima kantong yang sedari tadi kutenteng, seperti yang kemarin ia lakukan padaku.

Aku baru saja melewati sosoknya dan hendak menuju mejaku, namun ia menjatuhkan semua keju yang ada di tangannya dan malah menarik tanganku. Aku tersentak kaget, segera kutarik tanganku lepas dari genggamannya. Raut wajahnya seperti seseorang yang ketahuan telah berbuat kejahatan.

“Tidak, tidak! Bukan itu maksudku. Kamu salah paham. Aku –”

“Saya tidak peduli apa lagi tujuan Bapak sebenarnya. Mau salah paham atau tidak, intinya Bapak telah membuat saya dan juga suasana kantor tidak nyaman. Sebagai pegawai dengan jabatan tinggi, sudah sepantasnya Bapak mengetahui etika ini. Terlebih lagi, Bapak sudah berusia lebih dari 50 tahun. Bapak seharusnya juga sadar diri.”

Kali ini, wajahnya menunjukkan ekspresi marah yang tak pernah kulihat. Tatapan matanya sangat tajam seperti akan menusukku kapan saja dan ia menggertak giginya seperti orang yang menahan dendam.

“K-Kau…!”

“Ada apa ini?”

CEO menghampiri kami yang telah berbuat keributan di pagi hari. Kami para staff tentu saja membungkukkan badan untuk menghormati kedatangannya, baik yang ada di dalam ruangan maupun yang di luar ruangan, kecuali Edric. Ia bukan staff tapi rekan kerja, yang tak punya kewajiban menberi hormat pada CEO. CEO melihat lantai yang berantakan dengan keju dan menunjukkan ekspresi tak senang. Tentu saja, siapa yang senang melihat kantornya berantakan di pagi hari.

“Maafkan atas kekacauan di pagi hari, Pak. Saya bisa menjelaskannya,” ungkapku untuk memecahkan keheningan yang ada. CEO memicingkan matanya padaku, aura dingin darinya dapat aku rasakan meski kami berjarak sekitar satu meter. Edric yang berada tak jauh dariku menatapku dengan senyuman yang mengerikan. Sepertinya ia senang aku mendapat masalah. Tak apa-apa, aku sudah mempersiapkan diri. Kau takkan bisa menggangguku lagi Edric.

“Tapi saya yakin, bukan hanya saya yang bertanggung jawab atas kejadian ini,” ucapku tanpa ragu sambil melirik kepada Edric. Ia tersentak.

“Baiklah, kita bicarakan di ruangan saya.”

“Baik, Pak,” jawabku tenang.

Edric tak mengeluarkan kata-kata apapun, ia hanya mengikuti CEO dari belakang sambil sesekali menampilkan ekspresi dendam padaku yang ada di sebelahnya. Aku menoleh ke arah Claire yang tak jauh dari sana dan melambaikan tanganku pelan sambil tersenyum.

Kuputar lagu-lagu yang kusimpan dalam memori teleponku sejak lama. Sambil memasak makan malam, sesekali aku menari-nari kecil, ke sana ke mari. Mulai hari ini, aku hanya akan menggunakan keju di kala perlu saja, tidak menjadi sebuah keharusan. Lagipula, aku masih bisa makan tanpa keju.

“Liz?”

Ethan memanggilku begitu masuk ke dalam rumah dan langsung menuju dapur. Mungkin karena suara musik dan wangi masakan dari dapur, jadi ia langsung tahu keberadaanku. Ia langsung memelukku begitu melihatku.

“Kau sudah masak berapa banyak?  Wangi sekali. Aku terkejut saat kau telepon hari ini kau pulang lebih awal. Bagaimana hari ini?”

Aku menoleh menatapnya dan tersenyum lebar, “Aku mengundurkan diri.”

 

pic src: https://pin.it/1Q57hgHPa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar