Cari

15 November 2023

Our Time and Your Sleep

 


Orang-orang yang lalu lalang tidak mengusik Syella. Dirinya hanya berdiri terdiam bersandar pada salah satu tiang yang menyokong bangunan gedung mal yang sekarang ia pijak. Terlihat beberapa kali ia mengecek ponselnya dan setelahnya menghela napas panjang. Jam menunjukkan pukul 13.07 waktu setempat. Hampir setengah jam ia telah berdiri di tempat yang sama dari waktu perjanjian, namun tak ada tanda-tanda bahwa orang yang ia tunggu akan menampakkan dirinya.

Suasana ramai tempat perbelanjaan terasa hampa. Waktu yang terus berlari mengejar matahari terasa mati baginya. Sekali lagi ia melihat ponselnya. Masih tak ada jawaban dari pesan yang ia kirim beberapa menit yang lalu. Ia memasukan ponselnya ke sakunya lagi dan kembali menunggu.

Entah sudah berapa lama waktu berputar. Akhirnya ponselnya berdering. Ia mengambil ponselnya untuk memastikan bahwa orang itu yang mengiriminya pesan. Dan benar, akhirnya orang itu menunjukkan eksistensinya.

“Maaf, maaf! Aku ketiduran! Kau masih di sana? Aku ke sana sekarang,” tulis orang itu di pesan.

“Oke,” balas Syella.

Dari kejauhan tempat Syella berdiri, ia dapat melihat sosok yang terengah-engah berlari ke arahnya. Sosok yang telah ia tunggu sedari tengah hari tadi. Dengan tubuh yang tegap, bahu yang bidang, dan tinggi yang memadai. Sosok itu tentu memiliki ciri-ciri yang cukup untuk menjadi lelaki ideal. Namun, bukan itu yang menjadi perhatian Syella sekarang.

“Maafkan aku, Syella. Sepertinya aku terlalu lelah kemarin sehingga tertidur kembali begitu bangun. Apa kau sudah makan? Mau makan apa? Biar aku yang traktir. Eh, tapi ini sudah jam segini. Tak apa, katakan saja kalau kau ingin makan sesuatu,” ucap panjang lelaki itu.

Syella menatap lelaki itu tanpa ekspresi. Diam, tak bergerak, hanya berkedip. Suasana tetap membatu seperti itu, hingga lelaki itu merasa canggung. Akan tetapi, ia tak berani membuka mulutnya. Akhirnya, Syella menjawabnya.

“Aku tak mengerti kenapa aku masih berdiri di sini menunggumu di saat aku tau kau pasti takkan datang dalam waktu tiga pu –, tidak, 45 menit. Dan ini bukan yang pertama kali. Terakhir kali kau juga membuatku menunggu sekitar sejam dari waktu perjanjian, dengan alasan yang sama. Sebelumnya pun begitu. Bahkan dari awal kita janji temu, kecuali yang pertama. Kau bisa mengundur waktunya, atau tunda ke hari lain. Bukan membuatku menunggu seperti batu.”

Syella kembali menatapnya dalam-dalam tanpa kata. Keheningan antara mereka diselimuti keramaian bangunan dalam waktu yang hampa. Mereka berdua tak bergerak maupun mengatakan sesuatu selama beberapa lama. Mata Syella bergetar, begitu mata lelaki itu.

“Jefferson,” lanjut Syella, “Kau sebenarnya sosok yang sangat bisa diandalkan. Menjadi ‘Jack of all trades’ dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membanggakan…. Tapi jika itu mengecualikan kebiasaan ketiduranmu. Aku tak tahu kau memang sengaja atau tidak tertidur. Yang pasti, kau tidak memiliki simpatiku lagi.”

Syella memutar tubuhnya, membelakangi Jefferson, sambil berkata, “Jangan hubungi aku selama seminggu ini. Dan selama itu juga, kita pikirkan mengenai hubungan kita.”

Jefferson masih terdiam sejak perkataan Syella yang pertama. Ia ingin membuka mulutnya sedari tadi, namun tenggorokannya menelan bulat-bulat niat itu. Ia berdiri di sana selama beberapa lama tanpa memedulikan orang-orang sekitar yang memerhatikannya. Hingga kemudian, akhirnya ia melangkah pergi dari sana.

Selama seminggu, mereka yang biasanya bertukar kabar paling tidak tiga kali sehari, kini ponsel mereka hanya memuatkan pesan-pesan yang berhubungan dengan pekerjaan. Mereka menampilkan sosok mereka yang biasanya selama bekerja, namun berubah rapuh begitu tubuh menempel pada tempat tidur.

Jefferson memandangi jam di ponselnya. Beberapa jam lagi hingga batas waktu yang telah Syella berikan. Selama seminggu ini, ia merekonsilisi memori-memorinya di masa lalu. Dari saat mereka pertama kali bertemu di kampus, bekerja sama, melewati masa-masa magang, kemudian lulus dan kini bekerja di tempat masing-masing.  Dan baru ia sadari, selama ini Syella hanya diam dari kebiasaannya itu. Selalu mengatakan ‘tidak apa-apa’, berusaha mengerti bahwa bekerja itu melelahkan. Akan tetapi, dirinya tidak pernah sekalipun membuat dirinya menunggu. Hanya ia yang melakukannya.

Jefferson yang geram dengan dirinya sendiri, bersujud di lantai dan mengepal kedua tangannya erat-erat. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak pernah ia pikirkan. Mengapa selama ini ia begitu santai, mengapa ia tak pernah membuat Syella tersenyum dengan sosoknya yang lebih dulu hadir, mengapa… mengapa… dan mengapa. Ia hanya ingin memiliki waktu bersama Syella yang cukup panjang, tapi pada akhirnya ia selalu merusaknya.

Ketika Jefferson masih larut dalam benaknya, ponselnya yang berada di atas kasur bergetar. Ia segera meraihnya dan memeriksa pesan yang ia terima. Senyum yang awalnya ia kenakan, mengira bahwa itu adalah Syella, pudar begitu melihat ternyata hanya pesan iklan biasa. Ia melempar kembali ponselnya ke kasur, bersamaan dengan dirinya.

Jefferson berlari ke segala arah mencari Syella. Namun ia tak dapat menemukannya. Panggilannya juga tak dijawab. Ia tak memerhatikan sekitarnya, hanya berfokus pada pencariannya pada Syella. Semakin ia berkeliling semakin ia panik, tenggorokannya menjadi kering karena gugup dan takut.

“SYELLA!”

Fajar telah menyingsing cukup tinggi, sinarnya menerangi kamar Jefferson. Dirinya berkeringat dan terengah-engah karena mimpi itu. Beberapa kali ia mengatur napasnya untuk kembali tenang. Setelah cukup tenang, ia meraba-raba kasur mencari ponsel yang semalam ia lempar. Begitu ia menggenggam ponselnya, dengan matanya yang setengah terbuka, ia membaca sebuah pesan. Pesan dari 15 menit yang lalu. Ia segera bangkit dari kasur dan membenahi diri dengan tergesa-gesa sebelum pergi ke tujuan.

“Aku akan ke gedung X sekitar 20 menit lagi. Kita bertemu disana sekitar setengah jam dari sekarang. Kalau kau membuatku menunggu lagi, aku akan anggap bahwa kau ingin mengakhiri hubungan kita. Dan akan kuterima,” tulisan pada pesan itu.

Gedung X tidaklah jauh dari tempat Jefferson, namun jika jalanan sedang ramai atau ia melewatkan belokan yang seharusnya ia ambil, maka ia perlu menghabiskan sekitar setengah jam lagi untuk putar balik ke tempat asal.

“Dan itu adalah pesan terakhirku untuknya. Kami tak pernah bertemu lagi setelah itu.”

“Ouh… jadi itu keputusannya. Em… apa karena itu kau pindah ke kota ini?” tanya kolega dari Syella yang mendengar ceritanya sedari tadi.

“Bukan. Keputusannya adalah bertemu denganku dan tidak mengakhirinya. Akan tetapi, dia terlalu gegabah dan mengebut di jalanan.”

Syella mengadahkan kepalanya ke langit dan bergumam, “Sekarang sudah 7 tahun dia pergi.”


pic src: https://ar.inspiredpencil.com/pictures-2023/danbo-kata-kata-kangen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar