Orang-orang yang lalu lalang tidak mengusik Syella. Dirinya hanya berdiri terdiam bersandar pada salah satu tiang yang menyokong bangunan gedung mal yang sekarang ia pijak. Terlihat beberapa kali ia mengecek ponselnya dan setelahnya menghela napas panjang. Jam menunjukkan pukul 13.07 waktu setempat. Hampir setengah jam ia telah berdiri di tempat yang sama dari waktu perjanjian, namun tak ada tanda-tanda bahwa orang yang ia tunggu akan menampakkan dirinya.
Suasana
ramai tempat perbelanjaan terasa hampa. Waktu yang terus berlari mengejar
matahari terasa mati baginya. Sekali lagi ia melihat ponselnya. Masih tak ada
jawaban dari pesan yang ia kirim beberapa menit yang lalu. Ia memasukan
ponselnya ke sakunya lagi dan kembali menunggu.
Entah sudah
berapa lama waktu berputar. Akhirnya ponselnya berdering. Ia mengambil
ponselnya untuk memastikan bahwa orang itu yang mengiriminya pesan. Dan benar,
akhirnya orang itu menunjukkan eksistensinya.
“Maaf,
maaf! Aku ketiduran! Kau masih di sana? Aku ke sana sekarang,” tulis orang itu
di pesan.
“Oke,”
balas Syella.
Dari
kejauhan tempat Syella berdiri, ia dapat melihat sosok yang terengah-engah
berlari ke arahnya. Sosok yang telah ia tunggu sedari tengah hari tadi. Dengan
tubuh yang tegap, bahu yang bidang, dan tinggi yang memadai. Sosok itu tentu
memiliki ciri-ciri yang cukup untuk menjadi lelaki ideal. Namun, bukan itu yang
menjadi perhatian Syella sekarang.
“Maafkan
aku, Syella. Sepertinya aku terlalu lelah kemarin sehingga tertidur kembali
begitu bangun. Apa kau sudah makan? Mau makan apa? Biar aku yang traktir. Eh,
tapi ini sudah jam segini. Tak apa, katakan saja kalau kau ingin makan sesuatu,”
ucap panjang lelaki itu.
Syella
menatap lelaki itu tanpa ekspresi. Diam, tak bergerak, hanya berkedip. Suasana
tetap membatu seperti itu, hingga lelaki itu merasa canggung. Akan tetapi, ia
tak berani membuka mulutnya. Akhirnya, Syella menjawabnya.
“Aku tak
mengerti kenapa aku masih berdiri di sini menunggumu di saat aku tau kau pasti
takkan datang dalam waktu tiga pu –, tidak, 45 menit. Dan ini bukan yang
pertama kali. Terakhir kali kau juga membuatku menunggu sekitar sejam dari
waktu perjanjian, dengan alasan yang sama. Sebelumnya pun begitu. Bahkan dari awal
kita janji temu, kecuali yang pertama. Kau bisa mengundur waktunya, atau tunda
ke hari lain. Bukan membuatku menunggu seperti batu.”
Syella
kembali menatapnya dalam-dalam tanpa kata. Keheningan antara mereka diselimuti keramaian
bangunan dalam waktu yang hampa. Mereka berdua tak bergerak maupun mengatakan
sesuatu selama beberapa lama. Mata Syella bergetar, begitu mata lelaki itu.
“Jefferson,”
lanjut Syella, “Kau sebenarnya sosok yang sangat bisa diandalkan. Menjadi ‘Jack
of all trades’ dapat dikatakan sebagai sesuatu yang membanggakan…. Tapi jika
itu mengecualikan kebiasaan ketiduranmu. Aku tak tahu kau memang sengaja atau
tidak tertidur. Yang pasti, kau tidak memiliki simpatiku lagi.”
Syella
memutar tubuhnya, membelakangi Jefferson, sambil berkata, “Jangan hubungi aku
selama seminggu ini. Dan selama itu juga, kita pikirkan mengenai hubungan
kita.”
Jefferson
masih terdiam sejak perkataan Syella yang pertama. Ia ingin membuka mulutnya
sedari tadi, namun tenggorokannya menelan bulat-bulat niat itu. Ia berdiri di
sana selama beberapa lama tanpa memedulikan orang-orang sekitar yang
memerhatikannya. Hingga kemudian, akhirnya ia melangkah pergi dari sana.
Selama
seminggu, mereka yang biasanya bertukar kabar paling tidak tiga kali sehari,
kini ponsel mereka hanya memuatkan pesan-pesan yang berhubungan dengan
pekerjaan. Mereka menampilkan sosok mereka yang biasanya selama bekerja, namun
berubah rapuh begitu tubuh menempel pada tempat tidur.
Jefferson
memandangi jam di ponselnya. Beberapa jam lagi hingga batas waktu yang telah
Syella berikan. Selama seminggu ini, ia merekonsilisi memori-memorinya di masa
lalu. Dari saat mereka pertama kali bertemu di kampus, bekerja sama, melewati
masa-masa magang, kemudian lulus dan kini bekerja di tempat masing-masing. Dan baru ia sadari, selama ini Syella hanya
diam dari kebiasaannya itu. Selalu mengatakan ‘tidak apa-apa’, berusaha
mengerti bahwa bekerja itu melelahkan. Akan tetapi, dirinya tidak pernah sekalipun
membuat dirinya menunggu. Hanya ia yang melakukannya.
Jefferson
yang geram dengan dirinya sendiri, bersujud di lantai dan mengepal kedua
tangannya erat-erat. Menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini tak
pernah ia pikirkan. Mengapa selama ini ia begitu santai, mengapa ia tak pernah
membuat Syella tersenyum dengan sosoknya yang lebih dulu hadir, mengapa…
mengapa… dan mengapa. Ia hanya ingin memiliki waktu bersama Syella yang cukup
panjang, tapi pada akhirnya ia selalu merusaknya.
Ketika
Jefferson masih larut dalam benaknya, ponselnya yang berada di atas kasur
bergetar. Ia segera meraihnya dan memeriksa pesan yang ia terima. Senyum yang
awalnya ia kenakan, mengira bahwa itu adalah Syella, pudar begitu melihat
ternyata hanya pesan iklan biasa. Ia melempar kembali ponselnya ke kasur, bersamaan
dengan dirinya.
Jefferson
berlari ke segala arah mencari Syella. Namun ia tak dapat menemukannya.
Panggilannya juga tak dijawab. Ia tak memerhatikan sekitarnya, hanya berfokus
pada pencariannya pada Syella. Semakin ia berkeliling semakin ia panik, tenggorokannya
menjadi kering karena gugup dan takut.
“SYELLA!”
Fajar telah
menyingsing cukup tinggi, sinarnya menerangi kamar Jefferson. Dirinya
berkeringat dan terengah-engah karena mimpi itu. Beberapa kali ia mengatur
napasnya untuk kembali tenang. Setelah cukup tenang, ia meraba-raba kasur
mencari ponsel yang semalam ia lempar. Begitu ia menggenggam ponselnya, dengan
matanya yang setengah terbuka, ia membaca sebuah pesan. Pesan dari 15 menit
yang lalu. Ia segera bangkit dari kasur dan membenahi diri dengan tergesa-gesa
sebelum pergi ke tujuan.
“Aku akan
ke gedung X sekitar 20 menit lagi. Kita bertemu disana sekitar setengah jam
dari sekarang. Kalau kau membuatku menunggu lagi, aku akan anggap bahwa kau
ingin mengakhiri hubungan kita. Dan akan kuterima,” tulisan pada pesan itu.
Gedung X
tidaklah jauh dari tempat Jefferson, namun jika jalanan sedang ramai atau ia
melewatkan belokan yang seharusnya ia ambil, maka ia perlu menghabiskan sekitar
setengah jam lagi untuk putar balik ke tempat asal.
“Dan itu
adalah pesan terakhirku untuknya. Kami tak pernah bertemu lagi setelah itu.”
“Ouh… jadi
itu keputusannya. Em… apa karena itu kau pindah ke kota ini?” tanya kolega dari
Syella yang mendengar ceritanya sedari tadi.
“Bukan.
Keputusannya adalah bertemu denganku dan tidak mengakhirinya. Akan tetapi, dia
terlalu gegabah dan mengebut di jalanan.”
Syella
mengadahkan kepalanya ke langit dan bergumam, “Sekarang sudah 7 tahun dia pergi.”
pic src: https://ar.inspiredpencil.com/pictures-2023/danbo-kata-kata-kangen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar