Cari

15 September 2023

Secercah Harapan Yang Diinginkan



Dari sebuah teko, kutuang air hangat ke dalam sebuah cangkir sambil menahan air mata yang berusaha menerobos kelopak mata. Leya, kuatkan dirimu! Ada Rey yang juga butuh dukunganmu, tegasku pada diriku sendiri. Kukuatkan tanganku yang perlahan mulai bergetar. Kemudian, kuberikan air minum ini pada Reyndhra.

“Tak perlu terlalu memikirkannya. Para dokter juga berusaha yang terbaik,” ucapku sambil menyodorkan cangkir yang kupegang. Rey mengambilnya dengan tidak semangat. Ia menyeruputnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit.

“Tubuhku, akulah yang paling mengetahuinya. Sudah berbulan-bulan, hampir setahun aku berada di sini, di rumah sakit ini, di ranjang ini. Aku sudah mengetahuinya, waktuku sudah tak banyak, dan aku telah menerimanya.”

“Jangan katakan itu semua. Kalau pikiranmu saja negatif, bagaimana kau akan sembuh? Lebih bersemangatlah! Belakangan ini juga kudengar dari ibumu, waktu tidurmu tidak beraturan. Kau butuh refreshing. Ayo! Kubantu dirimu.”

Kuletakkan kursi roda yang telah berkali-kali dipakai itu di sebelah ranjangnya. Kubantu ia turun dari ranjang dan mendudukkannya ke kursi roda. Setelahnya, kudorong ia keluar dari kamar VIP yang telah lama ia diami menuju taman rumah sakit.

Suasana taman selalu berubah hampir setiap bulan karena pasien yang silih berganti. Hanya beberapa pasien yang menetap karena kondisinya yang tidak memungkinkan untuk rawat jalan, termasuk Rey. Taman yang begitu indah, menopang berbagai tanaman hidup, dan menjadi penghibur para pasien yang mulai hilang harapan.

Aku membawa Rey ke tempat favoritnya yang adalah tempat terbaik untuk melihat matahari yang akan terbenam di balik gunung nan jauh di sana. Kuposisikan kursi rodanya di sebelah sebuah kursi taman dan kukunci rodanya agar tak bergerak secara tiba-tiba, lalu aku duduk di kursi taman itu.

“Leya, apa kau ingat? Saat pertama kali kita bertemu di kampus? Kau memang benar-benar gadis yang keras kepala,” katanya sambil menahan tawa. Tak mungkin kulupakan awal pertemuanku dengannya yang menurutku adalah hal yang memalukan dan anugerah di saat yang bersamaan.

“Tak mungkin lupa,” jawabku sembari sedikit menutup wajahku. Rey tersenyum sangat lebar melihat reaksi yang kuberikan. Ia sangat senang membuatku tersipu malu, apapun dan bagaimanapun caranya. “Lucu” itu yang dikatakannya padaku saat kutanya mengapa ia sangat senang dengan reaksiku yang tersipu malu.

“Siapa yang menyangka kalau kita akan dipertemukan lagi dalam grup proker BEM. Dan kau masih memanggilku sebagai sebutan pencuri bodoh. Padahal sudah kuceritakan berkali-kali kejadian yang sebenarnya.”

“Iya, iya. Tak perlu kau jelaskan ulang. Aku sudah tahu.”

Rey kembali tersenyum kecil. “Lalu pada saat akhirnya aku menyadari perasaanku dan kuutarakan padamu, kau pun masih dengan perawakanmu yang tegas dan keras kepala seperti biasanya. Namun anehnya, kenapa aku menjadi keras kepala juga, ya? Kau sudah berkali-kali juga menolakku, tapi aku tetap berusaha menggapaimu.”

“Dan pada akhir semester lima, kau berhasil melunakkanku dengan segala upaya tak terdugamu.”

“Hahaha, iya. Aku tak menyangkanya. Jika saja saat itu kau tetap menolak, aku memutuskan untuk menyerah setelahnya.”

Kalau begitu syukurlah aku akhirnya menerimamu, ucapku lega dalam hati. Akan tetapi, wajah Rey tak menunjukkan sebuah kelegaan maupun ekspresi syukur. Aku memegang pundaknya yang tak setegar sebelumnya dan bertanya, “Apa kau tidak senang dengan penerimaanku?”

“Tidak, aku senang,” kelitnya. “Hanya saja… aku tak ingin menyusahkanmu. Ini bukan yang kubayangkan. Sejak saat itu, aku selalu memikirkan segala hal yang dapat kulakukan agar kau tak pernah menyesal telah menerimaku. Akan kulakukan apapun agar suatu hari kau akan mengatakan padaku bahwa kau bahagia karenaku. Banyak hal yang telah kurencanakan. Termasuk hal-hal kecil di masa depan seperti pergi kerja bersama, perbincangan santai setelah bekerja, membawakanmu makanan kesukaanmu setiap bulan, atau memberimu hadiah setiap ulang tahunmu….

“Namun, sejak penyakit ini semakin menggerogotiku, keinginanku hanya satu. Aku ingin bisa datang kepernikahanmu dan menitipkan pesan ke siapapun suamimu nanti. Bagaimanapun caranya, mau sebeda apapun dengan caraku, aku ingin agar ia selalu membahagiakanmu…. Maafkan aku, Leya. Aku tak bisa menepati semua janjiku padamu dan kau harus kehilanganku.”

“Hentikan! Jangan katakan apapun lagi!” seruku. Aku berlutut dan meletakkan kepalaku di pangkuannya. Air mataku sudah bosan menahan diri. Aku pun menangis dan membasahi celananya.

“Kau pasti akan sembuh! Pasti! Aku yakin itu!” tekanku. Namun jauh dilubuk hatiku, aku pun tahu bahwa harapannya untuk melewati ini semua, hanya dari keajaiban. Aku terus memohon pada Tuhan untuk memberikan keajaibannya pada Rey. Jika bukan untukku, setidaknya untuk Rey sendiri. Ada banyak hal yang ingin ia gapai, tapi belum dapat ia lakukan karena kondisinya saat ini.

Udara kala sore itu sangat ringan dan sejuk. Namun hanya ada perasaan menusuk antaraku dan Rey. Rey mengelus rambutku dengan lembut saat aku menangis. Belaian dari tangannya yang tetap berusaha menyemangatiku, padahal dirinyalah yang paling butuh dukungan.

“Matahari,” tuturnya lembut. “Matahari sore ini, warnanya sangat kalem. Apa besok warnanya akan seperti ini lagi? Apa besok kubisa melihatnya lagi? Tiada yang tahu.”

Itu kalimat terakhirnya sebelum akhirnya ia menghentikan belaiannya padaku. Aku tersentak kaget. Aku mendongakkan kepala dan melihat dia yang diam memejamkan mata dengan napas yang mulai melemah. Segera kupanggil suster maupun dokter yang ada di dekat situ. Aku menggenggam tanganya yang melayu agar tetap hangat. Hingga para pekerja medis datang pada kami, Rey segera dibawa ke ruang ICU.

“Rey, apa yang akan kau katakan jika aku memilih tidak menikah?”

Kau serius? Hilang, dong, kesempatanku untuk menitip pesan pada suamimu nanti. Lalu siapa yang akan menggantikanku untuk menjagamu?

Jawaban sederhana itu yang terbesit dalam pikiranku. Aku meneteskan air mata yang entah berapa kali telah mengalir hari ini. Apapun jawaban darinya, aku hanya ingin mendengarnya secara langsung. Aku ingin mendengar suaranya lagi.

Aku duduk diam di sebelah ranjang di mana Rey terbujur tak berdaya. Kuhangatkan tangannya yang dingin karena pendingin ruangan. Waktu sudah berlalu selama dua bulan sejak Rey di bawa ke ICU. Kondisinya tak membaik dari yang terakhir kali, sekarang ia jatuh koma. Sel-sel kanker telah menggerogoti bagian kepalanya. Dokter pun secara perlahan mulai angkat tangan.

“Tuhan, apakah Kau benar-benar takkan memberi sebuah keajaiban pada Rey?” Meskipun kalimat yang kuucapkan dengan penuh keputusasaan, genggaman tanganku tetap berharap.


pic src: https://www.bola.com/ragam/read/4588569/40-kata-kata-bijak-tentang-harapan-memunculkan-optimisme

Tidak ada komentar:

Posting Komentar