“Tak perlu
terlalu memikirkannya. Para dokter juga berusaha yang terbaik,” ucapku sambil
menyodorkan cangkir yang kupegang. Rey mengambilnya dengan tidak semangat. Ia
menyeruputnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit.
“Tubuhku,
akulah yang paling mengetahuinya. Sudah berbulan-bulan, hampir setahun aku
berada di sini, di rumah sakit ini, di ranjang ini. Aku sudah mengetahuinya,
waktuku sudah tak banyak, dan aku telah menerimanya.”
“Jangan
katakan itu semua. Kalau pikiranmu saja negatif, bagaimana kau akan sembuh?
Lebih bersemangatlah! Belakangan ini juga kudengar dari ibumu, waktu tidurmu
tidak beraturan. Kau butuh refreshing. Ayo! Kubantu dirimu.”
Kuletakkan
kursi roda yang telah berkali-kali dipakai itu di sebelah ranjangnya. Kubantu
ia turun dari ranjang dan mendudukkannya ke kursi roda. Setelahnya, kudorong ia
keluar dari kamar VIP yang telah lama ia diami menuju taman rumah sakit.
Suasana
taman selalu berubah hampir setiap bulan karena pasien yang silih berganti.
Hanya beberapa pasien yang menetap karena kondisinya yang tidak memungkinkan
untuk rawat jalan, termasuk Rey. Taman yang begitu indah, menopang berbagai
tanaman hidup, dan menjadi penghibur para pasien yang mulai hilang harapan.
Aku membawa
Rey ke tempat favoritnya yang adalah tempat terbaik untuk melihat matahari yang
akan terbenam di balik gunung nan jauh di sana. Kuposisikan kursi rodanya di
sebelah sebuah kursi taman dan kukunci rodanya agar tak bergerak secara
tiba-tiba, lalu aku duduk di kursi taman itu.
“Leya, apa
kau ingat? Saat pertama kali kita bertemu di kampus? Kau memang benar-benar
gadis yang keras kepala,” katanya sambil menahan tawa. Tak mungkin kulupakan
awal pertemuanku dengannya yang menurutku adalah hal yang memalukan dan
anugerah di saat yang bersamaan.
“Tak
mungkin lupa,” jawabku sembari sedikit menutup wajahku. Rey tersenyum sangat
lebar melihat reaksi yang kuberikan. Ia sangat senang membuatku tersipu malu,
apapun dan bagaimanapun caranya. “Lucu” itu yang dikatakannya padaku saat
kutanya mengapa ia sangat senang dengan reaksiku yang tersipu malu.
“Siapa yang
menyangka kalau kita akan dipertemukan lagi dalam grup proker BEM. Dan kau
masih memanggilku sebagai sebutan pencuri bodoh. Padahal sudah kuceritakan
berkali-kali kejadian yang sebenarnya.”
“Iya, iya.
Tak perlu kau jelaskan ulang. Aku sudah tahu.”
Rey kembali
tersenyum kecil. “Lalu pada saat akhirnya aku menyadari perasaanku dan
kuutarakan padamu, kau pun masih dengan perawakanmu yang tegas dan keras kepala
seperti biasanya. Namun anehnya, kenapa aku menjadi keras kepala juga, ya? Kau
sudah berkali-kali juga menolakku, tapi aku tetap berusaha menggapaimu.”
“Dan pada
akhir semester lima, kau berhasil melunakkanku dengan segala upaya tak
terdugamu.”
“Hahaha,
iya. Aku tak menyangkanya. Jika saja saat itu kau tetap menolak, aku memutuskan
untuk menyerah setelahnya.”
Kalau
begitu syukurlah aku akhirnya menerimamu, ucapku lega dalam hati. Akan tetapi, wajah Rey
tak menunjukkan sebuah kelegaan maupun ekspresi syukur. Aku memegang pundaknya
yang tak setegar sebelumnya dan bertanya, “Apa kau tidak senang dengan
penerimaanku?”
“Tidak, aku
senang,” kelitnya. “Hanya saja… aku tak ingin menyusahkanmu. Ini bukan yang
kubayangkan. Sejak saat itu, aku selalu memikirkan segala hal yang dapat
kulakukan agar kau tak pernah menyesal telah menerimaku. Akan kulakukan apapun
agar suatu hari kau akan mengatakan padaku bahwa kau bahagia karenaku. Banyak
hal yang telah kurencanakan. Termasuk hal-hal kecil di masa depan seperti pergi
kerja bersama, perbincangan santai setelah bekerja, membawakanmu makanan
kesukaanmu setiap bulan, atau memberimu hadiah setiap ulang tahunmu….
“Namun,
sejak penyakit ini semakin menggerogotiku, keinginanku hanya satu. Aku ingin
bisa datang kepernikahanmu dan menitipkan pesan ke siapapun suamimu nanti.
Bagaimanapun caranya, mau sebeda apapun dengan caraku, aku ingin agar ia selalu
membahagiakanmu…. Maafkan aku, Leya. Aku tak bisa menepati semua janjiku padamu
dan kau harus kehilanganku.”
“Hentikan!
Jangan katakan apapun lagi!” seruku. Aku berlutut dan meletakkan kepalaku di
pangkuannya. Air mataku sudah bosan menahan diri. Aku pun menangis dan
membasahi celananya.
“Kau pasti
akan sembuh! Pasti! Aku yakin itu!” tekanku. Namun jauh dilubuk hatiku, aku pun
tahu bahwa harapannya untuk melewati ini semua, hanya dari keajaiban. Aku terus
memohon pada Tuhan untuk memberikan keajaibannya pada Rey. Jika bukan untukku,
setidaknya untuk Rey sendiri. Ada banyak hal yang ingin ia gapai, tapi belum
dapat ia lakukan karena kondisinya saat ini.
Udara kala
sore itu sangat ringan dan sejuk. Namun hanya ada perasaan menusuk antaraku dan
Rey. Rey mengelus rambutku dengan lembut saat aku menangis. Belaian dari
tangannya yang tetap berusaha menyemangatiku, padahal dirinyalah yang paling
butuh dukungan.
“Matahari,”
tuturnya lembut. “Matahari sore ini, warnanya sangat kalem. Apa besok warnanya
akan seperti ini lagi? Apa besok kubisa melihatnya lagi? Tiada yang tahu.”
Itu kalimat
terakhirnya sebelum akhirnya ia menghentikan belaiannya padaku. Aku tersentak
kaget. Aku mendongakkan kepala dan melihat dia yang diam memejamkan mata dengan
napas yang mulai melemah. Segera kupanggil suster maupun dokter yang ada di
dekat situ. Aku menggenggam tanganya yang melayu agar tetap hangat. Hingga para
pekerja medis datang pada kami, Rey segera dibawa ke ruang ICU.
“Rey, apa
yang akan kau katakan jika aku memilih tidak menikah?”
Kau
serius? Hilang, dong, kesempatanku untuk menitip pesan pada suamimu nanti. Lalu
siapa yang akan menggantikanku untuk menjagamu?
Jawaban
sederhana itu yang terbesit dalam pikiranku. Aku meneteskan air mata yang entah
berapa kali telah mengalir hari ini. Apapun jawaban darinya, aku hanya ingin
mendengarnya secara langsung. Aku ingin mendengar suaranya lagi.
Aku duduk
diam di sebelah ranjang di mana Rey terbujur tak berdaya. Kuhangatkan tangannya
yang dingin karena pendingin ruangan. Waktu sudah berlalu selama dua bulan
sejak Rey di bawa ke ICU. Kondisinya tak membaik dari yang terakhir kali,
sekarang ia jatuh koma. Sel-sel kanker telah menggerogoti bagian kepalanya.
Dokter pun secara perlahan mulai angkat tangan.
“Tuhan,
apakah Kau benar-benar takkan memberi sebuah keajaiban pada Rey?” Meskipun
kalimat yang kuucapkan dengan penuh keputusasaan, genggaman tanganku tetap
berharap.
pic src: https://www.bola.com/ragam/read/4588569/40-kata-kata-bijak-tentang-harapan-memunculkan-optimisme
Tidak ada komentar:
Posting Komentar