Cari

15 Juni 2023

Dia Yang Mendukungku

 


Aku merebahkan tubuhku yang sudah mencapai puncak rasa lelah ke atas sofa di ruang tamu. Hari ini benar-benar menguras seluruh tenagaku. Syukurlah besok adalah akhir pekan sehingga aku dapat beristirahat lebih lama dari biasanya.

“Naira, jangan langsung tidur. Mandi dulu!” Suara seorang pria membangunkanku yang hampir terlelap.

“Iya iya. Aku akan mandi dengan cepat agar kau bisa segera mandi juga,” jawabku. Aku berjalan ke kamar dan mengambil piyama sebelum akhirnya aku masuk ke kamar mandi.

Pria itu adalah suamiku, Ryan. Pernikahan kami akan menginjak tahun kelima tahun ini. Usia pernikahan yang masih terbilang cukup muda. Aku sangat bersyukur dapat menikah dengannya. Ia bukanlah orang yang manja seperti suami kebanyakan. Tak jarang kami membagi tugas saat membersihkan rumah. Ia pun orang yang sangat suportif. Ia selalu mendukungku setiap aku hampir menyerah pada impianku.

Saat itu, pernikahan kami baru memasuki usia dua tahun. Keadaan ekonomi kami belum begitu stabil meskipun kami masih hidup dalam kecukupan. Namun, aku tidak meninggalkan apa yang menjadi impianku selama ini. Hanya dengan modal laptop lama yang telah menemaniku sejak sekolah dan ide-ide di kepala kecilku. Aku selalu ingin menjadi seorang penulis yang dapat menerbitkan buku walaupun bukan merupakan lulusan sastra.

Sudah lama aku mencoba mengetik sebuah naskah cerita novel, namun aku kesulitan untuk menyelesaikannya. Ryan yang melihatku mulai frustasi, menghampiriku. Ia tidak menyuruhku untuk berhenti mengejar impian yang tak pasti itu dan fokus pada pekerjaanku yang sekarang. Dengan nada lembut, ia berkata, “Nai, istirahat sejenak dulu, yuk! Ini sudah sangat malam. Besok kau bisa lanjutkan lagi saat pikiranmu sudah lebih baik.”

Aku yang telah dibuatnya jatuh hati sejak awal pertemuan kami di bangku kuliah, kini kembali jatuh untuk kesekian kalinya. Aku sangat suka bagaimana ia memperlakukanku. Ia bahkan belum pernah membentakku sekalipun – hingga sekarang pun.

Aku tersenyum menatapnya. Aku mengikuti tarikan tangannya yang membawaku ke ranjang. Ia membiarkanku tidur di pelukannya yang tersembunyi di balik selimut. Malam itu adalah malam terbaik sepanjang hidupku.

“Aku sudah selesai. Sekarang giliranmu,” panggilku sembari berjalan keluar dan mendapati Ryan telah menunggu di depan kamar mandi. Aku langsung kembali ke kamar dan berbaring di atas ranjang. Tak butuh waktu lama, bahkan Ryan pun belum selesai mandi, aku sudah terlelap dalam mimpi.

Keesokan harinya, aku terbangun karena menyium aroma makanan kesukaanku. Aku pun melihat Ryan tak ada di sampingku. Segera aku berlari ke sumber aroma yang tak lain adalah dapur.

“Ryan!” panggilku semangat.

“Kau sudah bangun? Sebentar lagi sarapannya siap, sikat gi –”

Aku segera menuju kamar mandi sebelum Ryan menyelesaikan kalimatnya dan kembali ke dapur sesaat setelah Ryan selesai. Aku duduk di bangku tepat di hadapannya. Dengan mata yang berbinar-binar, aku menunggu Ryan menyuguhkan piring dengan kue kuk kepadaku.

“Energimu selalu meningkat tajam setiap aku membuat kue kuk untukmu.”

“Tentu saja!” balasku sambil melahap kue kuk yang telah berada di hadapanku. “Kue kuk buatanmu selalu yang terbaik di lidahku. Aku tak mengerti mengapa, bahkan buatanku sendiri masih jauh di bawahmu.”

“Hahaha, itu hanya perasaanmu saja. Aku hanya mengikuti resep yang kau tulis.”

“Bohong! Pasti kau ada menambahkan sesuatu yang aku tidak tahu, kan?”

“Sudah, sudah. Makan saja kuemu. Lain kali aku akan memasaknya di depanmu, kau yang menilai apakah aku berbohong atau tidak,” katanya sambil mengusap-usap rambutku dengan lembut.

“Eh, iya! Bagaimana dengan naskah yang terakhir kau kirimkan itu?” tanya Ryan padaku.

“Ah, itu! Sudah lewat dari sebulan, belum ada kabar dari penerbitnya. Sepertinya akan ditolak.”

“Jangan pesimis dulu, dong. Belum ada kabar bukan berarti akan berakhir buruk,” ucap Ryan menyemangatiku. “Hari ini kau akan mulai mengetik naskah lagi?”

Aku menggelengkan kepala. “Tidak, aku menunggu kabar yang satu itu dulu. Baru mulai mengetik lagi.”

“Baiklah. Karena kelihatannya kau tak ada rencana hari ini, bagaimana kalau kita pergi rekreasi? Tak ada salahnya sedikit menghibur diri di perkotaan yang ramai ini.”

“Ke mana?”

“Kau akan tahu nanti. Makan dan bersiap-siaplah.”

Aku menatapnya tak mengerti. Ryan tak pernah mengajakku pergi secara tiba-tiba tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Tapi kali ini aku akan menurutinya. Kami berangkat dengan mobil kami yang telah biasa digunakan sehari-hari.

Aku terus bertanya padanya, namun tak sekalipun ia memberitahuku bahkan hanya sekedar petunjuk. Hingga aku akhirnya menyerah dan hanya memandangi pemandangan sekitar. Aku berusaha mencari tahu sendiri ke mana dia akan membawaku.

Aku tersentak saat sadar bahwa aku telah tertidur. Aku melihat ke arah Ryan yang juga telah tertidur di kursi pengemudi. Berapa lama perjalanannya? Apa dia terus mengemudi tanpa istirahat selama perjalanan ke sini?

“Oh! Kapan kau bangun? Aku melihatmu begitu manis saat tidur pulas, jadi tak kubangunkan begitu kita sampai. Ternyata aku juga ketiduran.”

“Belum lama. Kau juga pasti lelah menyetir, jadinya kubiarkan juga. Ini tempat apa?” tanyaku padanya dan tersenyum.

“Ayo! Mari kutunjukkan padamu.”

Aku mengikutinya dari belakang. Ia menuntunku masuk melalui jalan setapak di antara pepohonan yang tumbuh tinggi dan berdaun lebat. Hingga sampai di ujung jalan, beberapa pohon yang tidak begitu besar dan tinggi tampak begitu berbeda dari pohon lainnya. Dedaunannya berwarna merah muda mengilap akibat diterpa sinar matahari.

“Ini…? Pohon Tabebuya?” tanyaku tak percaya. Ryan menganggukkan kepalanya. Ia menarik tanganku untuk melihat pohon-pohon itu lebih dekat. Semakin dekat semakin jelas dedaunan Pohon Tabebuya yang satu per satu gugur.

“Kau tunggu di sini sebentar. Aku akan segera kembali.”

Ryan berlari ke arah kami masuk dan menghilang di balik pepohonan, sedangkan aku kembali mengagumi keindahan pepohonan yang ada di sini. Tak berapa lama, Ryan kembali membawa keranjang piknik di salah satu tangannya.

“Kau bahkan menyiapkan ini? Memangnya kau bangun jam berapa?” tanyaku sambil menunjuk ke keranjang. Ia hanya tersenyum kemudian berjalan ke arah salah satu pohon dan menggerai sebuah tikar di bawahnya. Ryan memang pria mandiri yang sangat mengagumkan. Kali ini untuk kesekian kalinya, aku jatuh hati padanya lagi.

Hari sudah beranjak petang. Sudah waktunya kami pulang. Meski kami hanya menghabiskan waktu di bawah pohon, hari itu tetap menjadi hari yang menyenangkan. Ryan meletakkan keranjang piknik ke bagasi mobil dan di saat bersamaan aku mendapat sebuah surel. Aku langsung berlari dan memeluk Ryan begitu selesai membaca isinya.

“Naskahku diterima! Mereka akan menerbitkannya dalam waktu dekat. Dan mereka sedang menyiapkan kontrak untuk naskahku yang selanjutnya,” ucapku girang. Ryan ikut bahagia mendengar kabar ini. Ia membalas pelukanku.

“Aku bangga padamu, Nai!”

Sudah hampir setahun sejak kejadian itu berlalu. Kabar gembira bukan hanya datang dari naskahku yang akhirnya diterbitkan, tapi juga posisiku di kantor yang dipromosikan untuk naik jabatan. Kutak dapat menggambarkan bagaimana rasa bahagia kami kala itu. Akan tetapi, pekerjaanku pun ikut meningkat yang mana aku mulai lebih sering lembur daripada sebelumnya. Dan aku kesulitan untuk membagi waktuku antara pekerjaan kantor dan naskah novelku.

“Aaahh…!” teriakku sambil mengacak-acak rambutku sendiri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan aku belum dapat menambahkan satu paragraf pun ke dalam naskah dari berjam-jam yang lalu. Kejadian ini sudah berlangsung berkali-kali. Dan berkali-kali juga, aku dilanda frustasi. Namun kali ini, frustasi menghantamku jauh lebih keras daripada sebelumnya. Belum lagi besok aku ada meeting dengan tiga perwakilan perusahaan di tiga tempat berbeda. Pasti aku akan pulang lebih malam dibanding hari ini.

“Nai,” panggil Ryan sambil menepuk pundakku. “Istirahatlah jika sudah tak sanggup melanjutkan. Kau sudah duduk menatap layar laptop itu selama hampir empat jam. Di kantor pun pasti kau duduk menatap komputer juga, bukan? Kasihan dengan badanmu. Ayo, istirahatlah! Besok kau harus bangun pagi.”

“Tidak! Aku tidak bisa. Jika aku berhenti sekarang, maka naskahku takkan ada perkembangan. Tenggat waktunya sudah tinggal beberapa bulan lagi. Belum lagi pekerjaan kantor yang juga sebentar lagi menyentuh deadline. Jika begini terus aku bisa gila!”

Ryan mengelus punggungku dengan lembut. “Baiklah, begini saja. Kau pilihlah salah satu dari pekerjaanmu. Lanjutkan yang kiranya akan membuatmu bahagia.”

“Salah satu? Tapi bagaimana dengan keuangan kita? Cicilan rumah? Kau tahu sendiri, kan, pendapatan penulis itu tak seberapa. Dan cairnya pun lama.”

“Iya, iya, aku tahu. Aku yang akan cari cara untuk itu. Aku tak bisa membiarkanmu begini setiap hari. Selama kau bahagia, aku akan bahagia.”

Itulah yang dikatakan Ryan malam itu. Kata-katanya membuatku berpikir sepanjang malam. Aku benar-benar ingin menjadi penulis, namun memiliki pekerjaan di perkantoran juga merupakan keinginanku. Aku tak bisa sembarangan melepaskan salah satu dari mereka. Bahkan hingga berlalu beberapa minggu, aku belum juga menemukan jawabanku. Pekerjaan kantor semakin bertambah dan deadline naskah juga semakin dekat.

Aku meletakkan kepalaku di atas meja ruang tengah tepat di depan laptop sedikit lebih keras. Kepalaku rasanya sudah tak memiliki isi sama sekali. Tak ada satu pun ide yang terbesit. Hari-hari bahkan berjalan lebih berat daripada seharusnya.

“Nai, ini kubuatkan teh hangat. Hari ini juga jangan terlalu memaksakan diri. Sudah berminggu-minggu kau kurang istirahat. Nanti bisa sakit,” kata Ryan menyodorkan secangkir teh padaku. Aku hanya mengangguk pelan dan mengambil teh darinya.

“Jika belum bisa menentukan pilihan, kau bisa coba ambil cuti dulu. Lalu pikirkan baik-baik. Tetap perhatikan keadaanmu. Aku akan ada di kamar kalau butuh sesuatu.”

“Iya, terima kasih.”

Hari ini, aku bangun lebih awal daripada Ryan. Aku bergegas menyiapkan sarapan dan bekal untuk dia bawa ke kantor. Sedangkan aku? Aku sudah mengikuti saran Ryan untuk mengambil cuti beberapa hari.

“Aku pergi kerja dulu, Nai. Baik-baik di rumah. Jangan sampai rumahnya kabur, cicilannya belum selesai.”

“Iya, iya. Akan kuberi makan juga.”

“Hahaha, sampai jumpa nanti sore,” ucap Ryan. Ia mengecup keningku sebelum akhirnya masuk ke mobil dan berangkat ke kantor.

Hari ini selain merapikan rumah, kuhabiskan sebagian besar waktuku merangkai ide-ide di layar laptop. Dengan keadaan tenang seperti ini, banyak ide yang mengalir dalam pikiranku. Namun, ini baru hari pertama. Akan kupertimbangkan lagi di hari cuti terakhirku.

Beberapa hari sudah berlalu. Hari ini adalah hari cuti terakhirku. Kurasa aku sudah menemukan jawabanku. Namun aku masih belum begitu yakin. Jadi malam itu, aku membicarakannya lagi dengan Ryan.

“Rai? Kau sibuk?” tanyaku padanya dari ambang pintu di ruang kerjanya.

“Ah, Nai! Masuklah. Ada apa?”

“Ini mengenai saranmu untuk melepas salah satu pekerjaanku.”

“Jadi? Bagaimana pilihanmu?”

“Itu…,” jawabku sedikit menjeda. “Sebenarnya aku ingin melanjutkan karir menulisku. Tapi aku masih tak yakin untuk melepaskan pekerjaan kantorku.”

Ryan membuka laci kerjanya begitu aku selesai berbicara. Ia mengambil sebuah amplop putih dan memberikannya padaku. Aku sedikit kebingungan namun tetap kuambil amplop itu.

“Apa ini?” tanyaku.

“Buka saja dan bacalah sendiri.”

Aku membuka amplop itu dan membaca surat yang terdapat di dalamnya. Setiap kata yang membentuk kalimat dan setiap kalimat yang membentuk paragraf mebuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku menatap Ryan tak percaya. Ia hanya tersenyum kecil padaku dan mengangguk pelan. Aku memeluknya erat dan berusaha menahan tetes air mata yang ingin menerobos kelopak mataku.

“Jika yang kau kuatirkan adalah masalah keuangan kita, maka dengan ini kau tak perlu kuatir lagi. Semua pembiayaan di rumah biar aku yang tanggung. Kau bisa terus lanjutkan impian terbesarmu itu. Kau selalu menceritakan cita-citamu itu bahkan jauh sebelum kita menikah. Sekarang inilah kesempatanmu.”

Aku memeluknya semakin erat mengikuti ucapan yang ia keluarkan dari bibirnya. Dan begitu ia selesai dengan kalimatnya, aku tak kuasa menahan air mataku lagi.

“Terima kasih…,” ucapku disertai dengan isak tangis haru dan bahagia.

Empat tahun sudah berlalu sejak saat itu. Aku sudah menerbitkan dua buku lagi dari penerbit yang sama. Sesuai dengan yang diperkirakan, keuangan kami masih tetap stabil meski kini hanya Ryan yang bekerja di luar. Akan tetapi, segala sesuatu pasti memiliki konsekuensinya masing-masing.

Sejak Ryan naik pangkat, pekerjaannya semakin banyak dan banyak. Dia jauh lebih sering lembur daripada aku dulu. Bahkan hanya untuk makan malam bersama saja, terasa sulit. Keadaan ini membuat Ryan bukan lagi Ryan yang kukenal selama ini, Ryan yang dapat berkali-kali membuatku jatuh cinta dengan cara-cara sederhananya.

Namun dua bulan ini, rasanya frekuensi lembur Ryan sudah tidak wajar. Dalam seminggu ia bisa bekerja tanpa henti dari senin sampai minggu, dari pagi hingga malam. Tak jarang aku curiga bahwa ia diperbudak di tempatnya bekerja, namun ia selalu membantahnya.

Hari ini hari sabtu. Seharusnya jam pulang kantor yang wajar adalah pukul dua siang. Namun jam dinding sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Aku tak dapat konsentrasi pada naskahku yang baru. Aku menggapai telepon genggamku dan kembali menghubungi Ryan untuk kesekian kalinya hari ini. Namun hasilnya sama saja. Tak ada jawaban darinya. Aku sudah cukup geram dengan keadaan ini. Ditambah Ryan yang tak memberitahuku apa yang terjadi.

Aku beranjak dari tempatku menuju dapur untuk meneguk segelas air putih. Aku berusaha menenangkan pikiranku dan emosiku. Setelah beberapa lama, aku kembali menghubungi Ryan. Dan lagi-lagi ia tak mengangkatnya. Baiklah, untuk terakhir kalinya, aku menghubungi kantornya. Nada sambung terdengar selama beberapa saat sebelum akhirnya seseorang mengangkatnya.

“Halo? Dengan penjaga PT. Sinar MARS di sini,”  ucap pria di ujung telepon.

“Ah, halo, pak! Maaf mengganggu malam Anda. Saya isterinya Pak Ryan Headverson. Saya ingin bertanya, apa suami saya masih lembur di kantor?”

“Lembur? Tapi hari ini kantor secara khusus libur, Bu. Tak ada pegawai yang datang kecuali saya.”

“Begitu, ya. Mungkin saya tak memperhatikan alasan ia pamit hari ini. Baiklah, terima kasih banyak, pak.”

Seperti petir menusuk jantungku. Aku tak pernah mengharapkan jawaban semacam ini. Kumatikan teleponku dan kulempar ke arah depan dengan amarah. Aku menangis sejadi-jadinya dengan posisi terduduk di atas lantai. Dipernikahan kami yang akan menyentuh usia sepuluh tahun, ini pertama kalinya Ryan berbohong padaku. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa selain menangis.

Tak berapa lama kemudian, suara mobil Ryan terdengar dari luar. Aku menyambutnya seperti biasa, namun kali ini tanpa senyum di bibirku.

“Aku pulang,” teriaknya dari luar.

Aku membukaan pintu utama untuknya dan membawa tas kerjanya ke dalam tanpa berkata apapun.

“Ada apa, Nai? Hari ini wajahmu terlihat muram. Apa terjadi sesuatu?”

Aku tak menjawab pertanyaannya. Kupungut telepon genggamku yang tergeletak di lantai dan masuk ke kamar, berbaring di atas kasur. Ryan menghampiriku dan mengelus kepalaku.

“Ada apa, Nai? Terjadi sesuatu dengan naskahmu? Writters block?”

Aku tetap diam. Kutarik selimut dan menyembunyikan wajahku yang mulai ingin menangis lagi. Untuk beberapa saat, Ryan tetap berada di sisiku. Hingga akhirnya ia bangun, membuka lemari, dan mengambil piyamanya. Di saat kurasa ia telah meninggalkan kamar, air mataku kembali jatuh. Bantalku pun menjadi pelampiasan dari kesedihanku.

Esoknya, aku masih belum sanggup untuk berbicara dengan Ryan. Aku sudah tak peduli lagi jika akhirnya ia pergi dengan alasan pekerjaannya itu lagi. Meskipun jauh di lubuk hati, aku mengkhawatirkannya. Sebenarnya kau ke mana selama ini?

“Nai,” panggilnya di saat kami sedang menyantap makan siang. “Ada apa denganmu? Dari kemarin malam kau diam saja. Tidak seperti dirimu yang biasa. Kau ada masalah?”

Aku melahap makananku dalam diam. Bahkan sedari pagi, aku belum menatap matanya sama sekali. Rasa sakit hati ini sudah jauh dari yang bisa kutanggung.

“Baiklah, kalau kau tak mau membicarakannya. Kemarin malam aku sempat lihat ponselmu. Layarnya retak. Apa ponselmu jatuh kemarin?”

“….”

“Nai…, kalau kau ada masalah, tolong katakanlah. Masalahnya takkan dapat diselesaikan jika kau terus berdiam diri. Jika kau cerita mungkin aku dapat membantumu. Mungkin aku tak pandai dalam sastra, tapi aku bisa memberi saran dari pandangan orang awam. Jika itu yang – ”

“Urus pekerjaanmu saja. Tak usah urusi aku.”

Ryan terlihat terkejut saat kubalas perkataannya dengan nada tak bersahabat. Ya, ini pertama kalinya aku berbicara padanya seperti itu.

“Nai? Kau – ”

“Aku sudah selesai makan. Lanjutkan makanmu,” potongku sambil beranjak dari kursi. Aku meninggalkannya sendiri di ruang makan dan kembali melanjutkan naskahku yang kutinggalkan di ruang tengah. Beberapa lama setelahnya, Ryan kembali menghampiriku.

“Nai, apa kau marah padaku?”

Setelah semalaman, kau baru menyadarinya sekarang? Segitu pentingnya kegiatan luarmu hingga isterimu di rumah tak kau hiraukan lagi, gerutuku dalam hati.

“Tolong beri tahu padaku, Nai, apa kesalahanku sampai-sampai kau tak ingin bicara padaku.”

Kesunyian menyerang ruang tengah secara ganas. Hanya suara jari-jariku mengetik yang terdengar jelas. Suasana hening tak berubah hingga akhirnya Ryan kembali bersuara. Dan kali ini, bukan suara lembutnya yang berbicara.

“Cukup, Nai! Aku juga punya kesabaran. Kalau kau terus diam begini, bagaimana aku tahu apa salahku!” teriaknya disertai gebrakkan meja.

“Oh! Sekarang kau sudah berani membentakku? Setelah selama ini kau pulang malam seperti hilang di perjalanan, bagaimana aku bisa bereaksi seperti tak ada apa-apa! Kau bahkan bekerja di hari minggu. Di kepalamu hanya ada pekerjaan saja! Apa kau ingat kau pernah berjanji padaku untuk bersama-sama pergi lagi ke taman di mana Pohon Tabebuya itu tumbuh untuk membantuku mengembangkan ideku?”

Ryan melebarkan matanya padaku. Aku mengatur nafasku setelah berbicara panjang lebar dengan nada tinggi. “Heh…, tentu saja kau tidak ingat. Itu sudah lewat lebih dari sebulan yang lalu. Sekarang yang kau hanya hidup untuk pekerjaanmu. Bukan untukku. Bahkan sekarang kau sudah bisa berbohong padaku.”

“Berbohong? Apa – ”

Aku mengusap air mataku yang perlahan jatuh, berbalik, dan pergi menuju kamar. Di dalam kamar aku menutup pintu dan kembali menangis di balik pintu. Ryan pun mengikutiku, tapi ia hanya berdiri di sisi lain pintu. Tanpa bersuara. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya aku berhenti menangis. Dan di saat aku telah berhenti menangis, Ryan mulai bersuara.

“Nai? Saat kau merasa sudah lebih tenang, keluarlah dan mari bicarakan ini dengan kepala dingin. Aku akan menunggumu di ruang tengah.”

Sebenarnya aku tak ingin mendengar apapun darinya, tapi dia benar. Ini harus dibicarakan dengan kepala dingin. Atau hubungan pernikahan kami yang menjadi imbasnya. Aku beberapa kali mengatur napasku dan emosiku sebelum keluar dari kamar dan menuju ke ruang tengah, duduk di hadapannya.

“Baiklah, apa penjelasanmu?” tanyaku mengawali percakapan.

“Pertama, biarkan aku bertanya dulu. Atas dasar apa kau bilang aku berbohong?”

Aku berusaha agar emosiku tak meluap lagi. Kutarik napas panjang dan kuhembuskan. “Kau bilang kalau kau selalu lembur. Tapi belakangan ini aku meragukannya. Jadi kemarin aku menelepon kantormu sebelum kau pulang. Penjaga yang mengangkatnya. Dia bilang bahwa kantor libur, tak ada pegawai yang datang selain dia.”

Ryan tak langsung menanggapiku. Dia menundukkan kepala dan terlihat sedikit mengangguk. Aku menatapnya, masih dengan emosi yang meluap-luap tapi kutahan dalam hati. “Sudah kujawab. Sekarang giliranmu.”

“Iya, kau benar. Aku berbohong,” angguknya. “Maaf soal itu. Tapi aku punya alasannya…, dan kuharap kau masih ingin mendengarnya.”

Aku mengubah posisi dudukku dan bersender pada sofa dengan tangan serta kaki yang bersilang. Aku tidak ingin memikirkan hal lain, tapi saat ini aku pun juga merasa takut akan hal yang paling dibenci oleh isteri manapun – perselingkuhan. “Iya, silahkan. Kita lihat seberapa jauh kau telah membohongiku.”

“Semua yang kau katakan benar. Selama ini aku seperti hidup untuk pekerjaan. Aku mungkin bohong soal lembur, tapi aku tak bohong soal pekerjaan. Selain pekerjaan kantor, aku mencari paruh waktu lain di sekitar sini. Aku tahu kau takkan setuju jika aku mengambil pekerjaan lagi, jadi tak kuberi tahu. Maafkan aku. Maafkan aku yang sudah bertindak seperti melupakanmu. Seperti sudah tak menganggapmu lagi. Jujur tak ada maksud begitu. Maafkan aku.”

“Pekerjaan paruh waktu?” tanyaku heran. “Kenapa kau kerja paruh waktu lagi? Keuangan kita masih stabil. Cicilan mobil sudah selesai empat bulan lalu, cicilan rumah juga berjalan baik. Kau kumpulkan uang itu untuk apa?”

Ryan mengambil suatu bungkusan dari belakang sofa dan memberikannya padaku. Aku mengambil dari genggamannya dengan tatapan kebingungan. Ryan mengisyaratkan agar aku membukanya sendiri. Di saat aku membukanya, ia pun menjelaskan lagi.

“Aku mengumpulkan uang untuk itu. Kulihat kau hampir tak meninggalkan laptopmu sejak kau meneruskan pekerjaanmu sebagai penulis. Aku tahu laptopmu sangat berharga karena telah menemanimu sejak dari sekolah. Ada banyak kenangan di dalamnya. Tapi kupikir aku ingin membelikanmu satu yang baru, berhubung ulang tahunmu juga semakin dekat.”

Benar, sebuah kotak berisi laptop keluaran terbaru kini ada di pangkuanku. Mungkin bukan laptop terbaik seperti laptop gaming, tapi peformanya juga tak kalah. Aku pernah berpikir untuk mengganti yang baru, tapi kuurungkan niatku karena lebih mementingkan keadaan rumah. Ditambah kami yang belum memiliki momongan, tentu harus siap sedia kapan saja.

Air mataku kembali menetes sesaat setelah Ryan selesai berbicara. Kali ini bukan air mata amarah yang mengalir, namun air mata haru dan syukur yang berperan. Kuletakkan laptop itu di meja, beranjak dari tempatku, dan berjalan menuju kepadanya. Aku berlutut di kakinya, menggenggam tangannya dan meminta maaf padanya dengan isak tangis. Ryan yang terkejut dengan tindakanku, ikut berlutut di depanku dan memelukku.

Hari itu menjadi hari paling bersejarah dalam perjalanan pernikahan kami. Setelahnya kami berkomitmen untuk tetap saling terbuka. Mungkin tak semua hal, tapi setidaknya tak ada lagi kebohongan yang dapat merusak hubungan kami. Dan kini kami merayakan pernikahan kami yang ke-25.


pic src: https://courses.opened.uoguelph.ca/search/publicCourseSearchDetails.do?method=load&courseId=10106605

Tidak ada komentar:

Posting Komentar