Aku merebahkan tubuhku yang sudah mencapai puncak rasa lelah ke atas sofa di ruang tamu. Hari ini benar-benar menguras seluruh tenagaku. Syukurlah besok adalah akhir pekan sehingga aku dapat beristirahat lebih lama dari biasanya.
“Naira, jangan langsung tidur. Mandi dulu!” Suara
seorang pria membangunkanku yang hampir terlelap.
“Iya iya. Aku akan mandi dengan cepat agar kau bisa
segera mandi juga,” jawabku. Aku berjalan ke kamar dan mengambil piyama sebelum
akhirnya aku masuk ke kamar mandi.
Pria itu adalah suamiku, Ryan. Pernikahan kami
akan menginjak tahun kelima tahun ini. Usia pernikahan yang masih terbilang
cukup muda. Aku sangat bersyukur dapat menikah dengannya. Ia bukanlah orang
yang manja seperti suami kebanyakan. Tak jarang kami membagi tugas saat
membersihkan rumah. Ia pun orang yang sangat suportif. Ia selalu mendukungku
setiap aku hampir menyerah pada impianku.
Saat itu, pernikahan kami baru memasuki usia
dua tahun. Keadaan ekonomi kami belum begitu stabil meskipun kami masih hidup
dalam kecukupan. Namun, aku tidak meninggalkan apa yang menjadi impianku selama
ini. Hanya dengan modal laptop lama yang telah menemaniku sejak sekolah dan
ide-ide di kepala kecilku. Aku selalu ingin menjadi seorang penulis yang dapat
menerbitkan buku walaupun bukan merupakan lulusan sastra.
Sudah lama aku mencoba mengetik sebuah naskah cerita
novel, namun aku kesulitan untuk menyelesaikannya. Ryan yang melihatku mulai
frustasi, menghampiriku. Ia tidak menyuruhku untuk berhenti mengejar impian
yang tak pasti itu dan fokus pada pekerjaanku yang sekarang. Dengan nada
lembut, ia berkata, “Nai, istirahat sejenak dulu, yuk! Ini sudah sangat malam.
Besok kau bisa lanjutkan lagi saat pikiranmu sudah lebih baik.”
Aku yang telah dibuatnya jatuh hati sejak awal
pertemuan kami di bangku kuliah, kini kembali jatuh untuk kesekian kalinya. Aku
sangat suka bagaimana ia memperlakukanku. Ia bahkan belum pernah membentakku
sekalipun – hingga sekarang pun.
Aku tersenyum menatapnya. Aku mengikuti tarikan
tangannya yang membawaku ke ranjang. Ia membiarkanku tidur di pelukannya yang
tersembunyi di balik selimut. Malam itu adalah malam terbaik sepanjang hidupku.
“Aku sudah selesai. Sekarang giliranmu,”
panggilku sembari berjalan keluar dan mendapati Ryan telah menunggu di depan
kamar mandi. Aku langsung kembali ke kamar dan berbaring di atas ranjang. Tak
butuh waktu lama, bahkan Ryan pun belum selesai mandi, aku sudah terlelap dalam
mimpi.
Keesokan harinya, aku terbangun karena menyium
aroma makanan kesukaanku. Aku pun melihat Ryan tak ada di sampingku. Segera aku
berlari ke sumber aroma yang tak lain adalah dapur.
“Ryan!” panggilku semangat.
“Kau sudah bangun? Sebentar lagi sarapannya
siap, sikat gi –”
Aku segera menuju kamar mandi sebelum Ryan
menyelesaikan kalimatnya dan kembali ke dapur sesaat setelah Ryan selesai. Aku
duduk di bangku tepat di hadapannya. Dengan mata yang berbinar-binar, aku
menunggu Ryan menyuguhkan piring dengan kue kuk kepadaku.
“Energimu selalu meningkat tajam setiap aku
membuat kue kuk untukmu.”
“Tentu saja!” balasku sambil melahap kue kuk
yang telah berada di hadapanku. “Kue kuk buatanmu selalu yang terbaik di
lidahku. Aku tak mengerti mengapa, bahkan buatanku sendiri masih jauh di
bawahmu.”
“Hahaha, itu hanya perasaanmu saja. Aku hanya
mengikuti resep yang kau tulis.”
“Bohong! Pasti kau ada menambahkan sesuatu yang
aku tidak tahu, kan?”
“Sudah, sudah. Makan saja kuemu. Lain kali aku
akan memasaknya di depanmu, kau yang menilai apakah aku berbohong atau tidak,”
katanya sambil mengusap-usap rambutku dengan lembut.
“Eh, iya! Bagaimana dengan naskah yang terakhir
kau kirimkan itu?” tanya Ryan padaku.
“Ah, itu! Sudah lewat dari sebulan, belum ada
kabar dari penerbitnya. Sepertinya akan ditolak.”
“Jangan pesimis dulu, dong. Belum ada kabar
bukan berarti akan berakhir buruk,” ucap Ryan menyemangatiku. “Hari ini kau
akan mulai mengetik naskah lagi?”
Aku menggelengkan kepala. “Tidak, aku menunggu
kabar yang satu itu dulu. Baru mulai mengetik lagi.”
“Baiklah. Karena kelihatannya kau tak ada
rencana hari ini, bagaimana kalau kita pergi rekreasi? Tak ada salahnya sedikit
menghibur diri di perkotaan yang ramai ini.”
“Ke mana?”
“Kau akan tahu nanti. Makan dan
bersiap-siaplah.”
Aku menatapnya tak mengerti. Ryan tak pernah
mengajakku pergi secara tiba-tiba tanpa memberitahuku terlebih dahulu. Tapi
kali ini aku akan menurutinya. Kami berangkat dengan mobil kami yang telah
biasa digunakan sehari-hari.
Aku terus bertanya padanya, namun tak sekalipun
ia memberitahuku bahkan hanya sekedar petunjuk. Hingga aku akhirnya menyerah
dan hanya memandangi pemandangan sekitar. Aku berusaha mencari tahu sendiri ke
mana dia akan membawaku.
Aku tersentak saat sadar bahwa aku telah tertidur.
Aku melihat ke arah Ryan yang juga telah tertidur di kursi pengemudi. Berapa
lama perjalanannya? Apa dia terus mengemudi tanpa istirahat selama perjalanan
ke sini?
“Oh! Kapan kau bangun? Aku melihatmu begitu
manis saat tidur pulas, jadi tak kubangunkan begitu kita sampai. Ternyata aku
juga ketiduran.”
“Belum lama. Kau juga pasti lelah menyetir, jadinya
kubiarkan juga. Ini tempat apa?” tanyaku padanya dan tersenyum.
“Ayo! Mari kutunjukkan padamu.”
Aku mengikutinya dari belakang. Ia menuntunku
masuk melalui jalan setapak di antara pepohonan yang tumbuh tinggi dan berdaun
lebat. Hingga sampai di ujung jalan, beberapa pohon yang tidak begitu besar dan
tinggi tampak begitu berbeda dari pohon lainnya. Dedaunannya berwarna merah
muda mengilap akibat diterpa sinar matahari.
“Ini…? Pohon Tabebuya?” tanyaku tak percaya.
Ryan menganggukkan kepalanya. Ia menarik tanganku untuk melihat pohon-pohon itu
lebih dekat. Semakin dekat semakin jelas dedaunan Pohon Tabebuya yang satu per
satu gugur.
“Kau tunggu di sini sebentar. Aku akan segera
kembali.”
Ryan berlari ke arah kami masuk dan menghilang
di balik pepohonan, sedangkan aku kembali mengagumi keindahan pepohonan yang
ada di sini. Tak berapa lama, Ryan kembali membawa keranjang piknik di salah
satu tangannya.
“Kau bahkan menyiapkan ini? Memangnya kau
bangun jam berapa?” tanyaku sambil menunjuk ke keranjang. Ia hanya tersenyum
kemudian berjalan ke arah salah satu pohon dan menggerai sebuah tikar di
bawahnya. Ryan memang pria mandiri yang sangat mengagumkan. Kali ini untuk
kesekian kalinya, aku jatuh hati padanya lagi.
Hari sudah beranjak petang. Sudah waktunya kami
pulang. Meski kami hanya menghabiskan waktu di bawah pohon, hari itu tetap
menjadi hari yang menyenangkan. Ryan meletakkan keranjang piknik ke bagasi
mobil dan di saat bersamaan aku mendapat sebuah surel. Aku langsung berlari dan
memeluk Ryan begitu selesai membaca isinya.
“Naskahku diterima! Mereka akan menerbitkannya
dalam waktu dekat. Dan mereka sedang menyiapkan kontrak untuk naskahku yang
selanjutnya,” ucapku girang. Ryan ikut bahagia mendengar kabar ini. Ia membalas
pelukanku.
“Aku bangga padamu, Nai!”
Sudah hampir setahun sejak kejadian itu
berlalu. Kabar gembira bukan hanya datang dari naskahku yang akhirnya
diterbitkan, tapi juga posisiku di kantor yang dipromosikan untuk naik jabatan.
Kutak dapat menggambarkan bagaimana rasa bahagia kami kala itu. Akan tetapi,
pekerjaanku pun ikut meningkat yang mana aku mulai lebih sering lembur daripada
sebelumnya. Dan aku kesulitan untuk membagi waktuku antara pekerjaan kantor dan
naskah novelku.
“Aaahh…!” teriakku sambil mengacak-acak
rambutku sendiri. Jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam, dan aku
belum dapat menambahkan satu paragraf pun ke dalam naskah dari berjam-jam yang
lalu. Kejadian ini sudah berlangsung berkali-kali. Dan berkali-kali juga, aku
dilanda frustasi. Namun kali ini, frustasi menghantamku jauh lebih keras
daripada sebelumnya. Belum lagi besok aku ada meeting dengan tiga
perwakilan perusahaan di tiga tempat berbeda. Pasti aku akan pulang lebih malam
dibanding hari ini.
“Nai,” panggil Ryan sambil menepuk pundakku.
“Istirahatlah jika sudah tak sanggup melanjutkan. Kau sudah duduk menatap layar
laptop itu selama hampir empat jam. Di kantor pun pasti kau duduk menatap
komputer juga, bukan? Kasihan dengan badanmu. Ayo, istirahatlah! Besok kau
harus bangun pagi.”
“Tidak! Aku tidak bisa. Jika aku berhenti
sekarang, maka naskahku takkan ada perkembangan. Tenggat waktunya sudah tinggal
beberapa bulan lagi. Belum lagi pekerjaan kantor yang juga sebentar lagi
menyentuh deadline. Jika begini terus aku bisa gila!”
Ryan mengelus punggungku dengan lembut.
“Baiklah, begini saja. Kau pilihlah salah satu dari pekerjaanmu. Lanjutkan yang
kiranya akan membuatmu bahagia.”
“Salah satu? Tapi bagaimana dengan keuangan
kita? Cicilan rumah? Kau tahu sendiri, kan, pendapatan penulis itu tak
seberapa. Dan cairnya pun lama.”
“Iya, iya, aku tahu. Aku yang akan cari cara
untuk itu. Aku tak bisa membiarkanmu begini setiap hari. Selama kau bahagia,
aku akan bahagia.”
Itulah yang dikatakan Ryan malam itu.
Kata-katanya membuatku berpikir sepanjang malam. Aku benar-benar ingin menjadi
penulis, namun memiliki pekerjaan di perkantoran juga merupakan keinginanku.
Aku tak bisa sembarangan melepaskan salah satu dari mereka. Bahkan hingga
berlalu beberapa minggu, aku belum juga menemukan jawabanku. Pekerjaan kantor
semakin bertambah dan deadline naskah juga semakin dekat.
Aku meletakkan kepalaku di atas meja ruang
tengah tepat di depan laptop sedikit lebih keras. Kepalaku rasanya sudah tak memiliki
isi sama sekali. Tak ada satu pun ide yang terbesit. Hari-hari bahkan berjalan
lebih berat daripada seharusnya.
“Nai, ini kubuatkan teh hangat. Hari ini juga
jangan terlalu memaksakan diri. Sudah berminggu-minggu kau kurang istirahat.
Nanti bisa sakit,” kata Ryan menyodorkan secangkir teh padaku. Aku hanya
mengangguk pelan dan mengambil teh darinya.
“Jika belum bisa menentukan pilihan, kau bisa
coba ambil cuti dulu. Lalu pikirkan baik-baik. Tetap perhatikan keadaanmu. Aku
akan ada di kamar kalau butuh sesuatu.”
“Iya, terima kasih.”
Hari ini, aku bangun lebih awal daripada Ryan.
Aku bergegas menyiapkan sarapan dan bekal untuk dia bawa ke kantor. Sedangkan
aku? Aku sudah mengikuti saran Ryan untuk mengambil cuti beberapa hari.
“Aku pergi kerja dulu, Nai. Baik-baik di rumah.
Jangan sampai rumahnya kabur, cicilannya belum selesai.”
“Iya, iya. Akan kuberi makan juga.”
“Hahaha, sampai jumpa nanti sore,” ucap Ryan.
Ia mengecup keningku sebelum akhirnya masuk ke mobil dan berangkat ke kantor.
Hari ini selain merapikan rumah, kuhabiskan
sebagian besar waktuku merangkai ide-ide di layar laptop. Dengan keadaan tenang
seperti ini, banyak ide yang mengalir dalam pikiranku. Namun, ini baru hari
pertama. Akan kupertimbangkan lagi di hari cuti terakhirku.
Beberapa hari sudah berlalu. Hari ini adalah
hari cuti terakhirku. Kurasa aku sudah menemukan jawabanku. Namun aku masih
belum begitu yakin. Jadi malam itu, aku membicarakannya lagi dengan Ryan.
“Rai? Kau sibuk?” tanyaku padanya dari ambang
pintu di ruang kerjanya.
“Ah, Nai! Masuklah. Ada apa?”
“Ini mengenai saranmu untuk melepas salah satu
pekerjaanku.”
“Jadi? Bagaimana pilihanmu?”
“Itu…,” jawabku sedikit menjeda. “Sebenarnya
aku ingin melanjutkan karir menulisku. Tapi aku masih tak yakin untuk
melepaskan pekerjaan kantorku.”
Ryan membuka laci kerjanya begitu aku selesai
berbicara. Ia mengambil sebuah amplop putih dan memberikannya padaku. Aku
sedikit kebingungan namun tetap kuambil amplop itu.
“Apa ini?” tanyaku.
“Buka saja dan bacalah sendiri.”
Aku membuka amplop itu dan membaca surat yang
terdapat di dalamnya. Setiap kata yang membentuk kalimat dan setiap kalimat
yang membentuk paragraf mebuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku menatap Ryan tak
percaya. Ia hanya tersenyum kecil padaku dan mengangguk pelan. Aku memeluknya
erat dan berusaha menahan tetes air mata yang ingin menerobos kelopak mataku.
“Jika yang kau kuatirkan adalah masalah
keuangan kita, maka dengan ini kau tak perlu kuatir lagi. Semua pembiayaan di
rumah biar aku yang tanggung. Kau bisa terus lanjutkan impian terbesarmu itu.
Kau selalu menceritakan cita-citamu itu bahkan jauh sebelum kita menikah.
Sekarang inilah kesempatanmu.”
Aku memeluknya semakin erat mengikuti ucapan
yang ia keluarkan dari bibirnya. Dan begitu ia selesai dengan kalimatnya, aku
tak kuasa menahan air mataku lagi.
“Terima kasih…,” ucapku disertai dengan isak
tangis haru dan bahagia.
Empat tahun sudah berlalu sejak saat itu. Aku
sudah menerbitkan dua buku lagi dari penerbit yang sama. Sesuai dengan yang
diperkirakan, keuangan kami masih tetap stabil meski kini hanya Ryan yang
bekerja di luar. Akan tetapi, segala sesuatu pasti memiliki konsekuensinya masing-masing.
Sejak Ryan naik pangkat, pekerjaannya semakin
banyak dan banyak. Dia jauh lebih sering lembur daripada aku dulu. Bahkan hanya
untuk makan malam bersama saja, terasa sulit. Keadaan ini membuat Ryan bukan
lagi Ryan yang kukenal selama ini, Ryan yang dapat berkali-kali membuatku jatuh
cinta dengan cara-cara sederhananya.
Namun dua bulan ini, rasanya frekuensi lembur
Ryan sudah tidak wajar. Dalam seminggu ia bisa bekerja tanpa henti dari senin
sampai minggu, dari pagi hingga malam. Tak jarang aku curiga bahwa ia
diperbudak di tempatnya bekerja, namun ia selalu membantahnya.
Hari ini hari sabtu. Seharusnya jam pulang
kantor yang wajar adalah pukul dua siang. Namun jam dinding sudah menunjukkan
pukul tujuh malam. Aku tak dapat konsentrasi pada naskahku yang baru. Aku
menggapai telepon genggamku dan kembali menghubungi Ryan untuk kesekian kalinya
hari ini. Namun hasilnya sama saja. Tak ada jawaban darinya. Aku sudah cukup
geram dengan keadaan ini. Ditambah Ryan yang tak memberitahuku apa yang
terjadi.
Aku beranjak dari tempatku menuju dapur untuk
meneguk segelas air putih. Aku berusaha menenangkan pikiranku dan emosiku.
Setelah beberapa lama, aku kembali menghubungi Ryan. Dan lagi-lagi ia tak
mengangkatnya. Baiklah, untuk terakhir kalinya, aku menghubungi kantornya. Nada
sambung terdengar selama beberapa saat sebelum akhirnya seseorang
mengangkatnya.
“Halo? Dengan penjaga PT. Sinar MARS di
sini,” ucap pria di ujung telepon.
“Ah, halo, pak! Maaf mengganggu malam Anda.
Saya isterinya Pak Ryan Headverson. Saya ingin bertanya, apa suami saya masih
lembur di kantor?”
“Lembur? Tapi hari ini kantor secara khusus
libur, Bu. Tak ada pegawai yang datang kecuali saya.”
“Begitu, ya. Mungkin saya tak memperhatikan
alasan ia pamit hari ini. Baiklah, terima kasih banyak, pak.”
Seperti petir menusuk jantungku. Aku tak pernah
mengharapkan jawaban semacam ini. Kumatikan teleponku dan kulempar ke arah
depan dengan amarah. Aku menangis sejadi-jadinya dengan posisi terduduk di atas
lantai. Dipernikahan kami yang akan menyentuh usia sepuluh tahun, ini pertama
kalinya Ryan berbohong padaku. Aku tak tahu harus bereaksi seperti apa selain
menangis.
Tak berapa lama kemudian, suara mobil Ryan
terdengar dari luar. Aku menyambutnya seperti biasa, namun kali ini tanpa
senyum di bibirku.
“Aku pulang,” teriaknya dari luar.
Aku membukaan pintu utama untuknya dan membawa
tas kerjanya ke dalam tanpa berkata apapun.
“Ada apa, Nai? Hari ini wajahmu terlihat muram.
Apa terjadi sesuatu?”
Aku tak menjawab pertanyaannya. Kupungut
telepon genggamku yang tergeletak di lantai dan masuk ke kamar, berbaring di
atas kasur. Ryan menghampiriku dan mengelus kepalaku.
“Ada apa, Nai? Terjadi sesuatu dengan naskahmu?
Writters block?”
Aku tetap diam. Kutarik selimut dan
menyembunyikan wajahku yang mulai ingin menangis lagi. Untuk beberapa saat,
Ryan tetap berada di sisiku. Hingga akhirnya ia bangun, membuka lemari, dan
mengambil piyamanya. Di saat kurasa ia telah meninggalkan kamar, air mataku
kembali jatuh. Bantalku pun menjadi pelampiasan dari kesedihanku.
Esoknya, aku masih belum sanggup untuk
berbicara dengan Ryan. Aku sudah tak peduli lagi jika akhirnya ia pergi dengan
alasan pekerjaannya itu lagi. Meskipun jauh di lubuk hati, aku
mengkhawatirkannya. Sebenarnya kau ke mana selama ini?
“Nai,” panggilnya di saat kami sedang menyantap
makan siang. “Ada apa denganmu? Dari kemarin malam kau diam saja. Tidak seperti
dirimu yang biasa. Kau ada masalah?”
Aku melahap makananku dalam diam. Bahkan sedari
pagi, aku belum menatap matanya sama sekali. Rasa sakit hati ini sudah jauh
dari yang bisa kutanggung.
“Baiklah, kalau kau tak mau membicarakannya.
Kemarin malam aku sempat lihat ponselmu. Layarnya retak. Apa ponselmu jatuh
kemarin?”
“….”
“Nai…, kalau kau ada masalah, tolong
katakanlah. Masalahnya takkan dapat diselesaikan jika kau terus berdiam diri.
Jika kau cerita mungkin aku dapat membantumu. Mungkin aku tak pandai dalam
sastra, tapi aku bisa memberi saran dari pandangan orang awam. Jika itu yang –
”
“Urus pekerjaanmu saja. Tak usah urusi aku.”
Ryan terlihat terkejut saat kubalas
perkataannya dengan nada tak bersahabat. Ya, ini pertama kalinya aku berbicara
padanya seperti itu.
“Nai? Kau – ”
“Aku sudah selesai makan. Lanjutkan makanmu,”
potongku sambil beranjak dari kursi. Aku meninggalkannya sendiri di ruang makan
dan kembali melanjutkan naskahku yang kutinggalkan di ruang tengah. Beberapa
lama setelahnya, Ryan kembali menghampiriku.
“Nai, apa kau marah padaku?”
Setelah semalaman, kau baru menyadarinya
sekarang? Segitu pentingnya kegiatan luarmu hingga isterimu di rumah tak kau hiraukan
lagi, gerutuku
dalam hati.
“Tolong beri tahu padaku, Nai, apa kesalahanku
sampai-sampai kau tak ingin bicara padaku.”
Kesunyian menyerang ruang tengah secara ganas.
Hanya suara jari-jariku mengetik yang terdengar jelas. Suasana hening tak
berubah hingga akhirnya Ryan kembali bersuara. Dan kali ini, bukan suara
lembutnya yang berbicara.
“Cukup, Nai! Aku juga punya kesabaran. Kalau
kau terus diam begini, bagaimana aku tahu apa salahku!” teriaknya disertai
gebrakkan meja.
“Oh! Sekarang kau sudah berani membentakku?
Setelah selama ini kau pulang malam seperti hilang di perjalanan, bagaimana aku
bisa bereaksi seperti tak ada apa-apa! Kau bahkan bekerja di hari minggu. Di
kepalamu hanya ada pekerjaan saja! Apa kau ingat kau pernah berjanji padaku
untuk bersama-sama pergi lagi ke taman di mana Pohon Tabebuya itu tumbuh untuk
membantuku mengembangkan ideku?”
Ryan melebarkan matanya padaku. Aku mengatur
nafasku setelah berbicara panjang lebar dengan nada tinggi. “Heh…, tentu saja
kau tidak ingat. Itu sudah lewat lebih dari sebulan yang lalu. Sekarang yang
kau hanya hidup untuk pekerjaanmu. Bukan untukku. Bahkan sekarang kau sudah
bisa berbohong padaku.”
“Berbohong? Apa – ”
Aku mengusap air mataku yang perlahan jatuh,
berbalik, dan pergi menuju kamar. Di dalam kamar aku menutup pintu dan kembali
menangis di balik pintu. Ryan pun mengikutiku, tapi ia hanya berdiri di sisi
lain pintu. Tanpa bersuara. Butuh waktu cukup lama hingga akhirnya aku berhenti
menangis. Dan di saat aku telah berhenti menangis, Ryan mulai bersuara.
“Nai? Saat kau merasa sudah lebih tenang,
keluarlah dan mari bicarakan ini dengan kepala dingin. Aku akan menunggumu di
ruang tengah.”
Sebenarnya aku tak ingin mendengar apapun
darinya, tapi dia benar. Ini harus dibicarakan dengan kepala dingin. Atau
hubungan pernikahan kami yang menjadi imbasnya. Aku beberapa kali mengatur
napasku dan emosiku sebelum keluar dari kamar dan menuju ke ruang tengah, duduk
di hadapannya.
“Baiklah, apa penjelasanmu?” tanyaku mengawali
percakapan.
“Pertama, biarkan aku bertanya dulu. Atas dasar
apa kau bilang aku berbohong?”
Aku berusaha agar emosiku tak meluap lagi.
Kutarik napas panjang dan kuhembuskan. “Kau bilang kalau kau selalu lembur.
Tapi belakangan ini aku meragukannya. Jadi kemarin aku menelepon kantormu
sebelum kau pulang. Penjaga yang mengangkatnya. Dia bilang bahwa kantor libur,
tak ada pegawai yang datang selain dia.”
Ryan tak langsung menanggapiku. Dia menundukkan
kepala dan terlihat sedikit mengangguk. Aku menatapnya, masih dengan emosi yang
meluap-luap tapi kutahan dalam hati. “Sudah kujawab. Sekarang giliranmu.”
“Iya, kau benar. Aku berbohong,” angguknya.
“Maaf soal itu. Tapi aku punya alasannya…, dan kuharap kau masih ingin
mendengarnya.”
Aku mengubah posisi dudukku dan bersender pada
sofa dengan tangan serta kaki yang bersilang. Aku tidak ingin memikirkan hal
lain, tapi saat ini aku pun juga merasa takut akan hal yang paling dibenci oleh
isteri manapun – perselingkuhan. “Iya, silahkan. Kita lihat seberapa jauh kau
telah membohongiku.”
“Semua yang kau katakan benar. Selama ini aku
seperti hidup untuk pekerjaan. Aku mungkin bohong soal lembur, tapi aku tak
bohong soal pekerjaan. Selain pekerjaan kantor, aku mencari paruh waktu lain di
sekitar sini. Aku tahu kau takkan setuju jika aku mengambil pekerjaan lagi,
jadi tak kuberi tahu. Maafkan aku. Maafkan aku yang sudah bertindak seperti
melupakanmu. Seperti sudah tak menganggapmu lagi. Jujur tak ada maksud begitu.
Maafkan aku.”
“Pekerjaan paruh waktu?” tanyaku heran. “Kenapa
kau kerja paruh waktu lagi? Keuangan kita masih stabil. Cicilan mobil sudah
selesai empat bulan lalu, cicilan rumah juga berjalan baik. Kau kumpulkan uang
itu untuk apa?”
Ryan mengambil suatu bungkusan dari belakang
sofa dan memberikannya padaku. Aku mengambil dari genggamannya dengan tatapan
kebingungan. Ryan mengisyaratkan agar aku membukanya sendiri. Di saat aku
membukanya, ia pun menjelaskan lagi.
“Aku mengumpulkan uang untuk itu. Kulihat kau
hampir tak meninggalkan laptopmu sejak kau meneruskan pekerjaanmu sebagai
penulis. Aku tahu laptopmu sangat berharga karena telah menemanimu sejak dari
sekolah. Ada banyak kenangan di dalamnya. Tapi kupikir aku ingin membelikanmu
satu yang baru, berhubung ulang tahunmu juga semakin dekat.”
Benar, sebuah kotak berisi laptop keluaran
terbaru kini ada di pangkuanku. Mungkin bukan laptop terbaik seperti laptop gaming,
tapi peformanya juga tak kalah. Aku pernah berpikir untuk mengganti yang baru,
tapi kuurungkan niatku karena lebih mementingkan keadaan rumah. Ditambah kami
yang belum memiliki momongan, tentu harus siap sedia kapan saja.
Air mataku kembali menetes sesaat setelah Ryan
selesai berbicara. Kali ini bukan air mata amarah yang mengalir, namun air mata
haru dan syukur yang berperan. Kuletakkan laptop itu di meja, beranjak dari
tempatku, dan berjalan menuju kepadanya. Aku berlutut di kakinya, menggenggam
tangannya dan meminta maaf padanya dengan isak tangis. Ryan yang terkejut
dengan tindakanku, ikut berlutut di depanku dan memelukku.
Hari itu menjadi hari paling bersejarah dalam
perjalanan pernikahan kami. Setelahnya kami berkomitmen untuk tetap saling
terbuka. Mungkin tak semua hal, tapi setidaknya tak ada lagi kebohongan yang
dapat merusak hubungan kami. Dan kini kami merayakan pernikahan kami yang
ke-25.
pic src: https://courses.opened.uoguelph.ca/search/publicCourseSearchDetails.do?method=load&courseId=10106605
Tidak ada komentar:
Posting Komentar