Cari

15 Februari 2023

Setelah Sekian Lama

WARNING 18+!!

Postingan ini mengandung unsur seksual dan beberapa tindakan tidak senonoh lainnya yang tidak pantas untuk ditiru. Maka dari itu saya meminta pembaca untuk membaca dengan bijak.




John adalah lelaki pertama yang benar-benar kukagumi. Ia tegas, pemberani, dan terstruktur. Dan di saat tertentu, ia akan menjadi lembut. Kupikir aku hanya akan dapat melihatnya dari jauh untuk seumur hidupku. Akan tetapi siapa yang menyangka, kecerobohanku di awal semester 5 membawaku ke jalan ini.

Empat tahun telah berlalu sejak awal pertemuanku dengannya di perpustakaan kala itu. Aku menyadari diriku tidak cukup tinggi, namun dengan gigih tetap saja berusaha meraih sebuah buku di rak paling atas yang mengakibatkan barisan buku-buku di rak yang sama berjatuhan di atasku. John yang entah muncul dari mana, memeluk melindungiku dari buku-buku yang berjatuhan.

Sosok yang awalnya sangat jauh, seakan-akan kami berasal dari dunia yang berbeda, dia memelukku saat itu meski hanya beberapa saat. Aku bisa mendengar suara detak jantungnya dengan telingaku sendiri. Dekapannya kuat tapi tidak kasar hingga dapat melukaiku. Bahunya yang bidang, tempat yang sangat nyaman bersandar. Kami berkenalan setelahnya walaupun suasana canggung sempat menerpa.

Selama empat tahun ini juga, kami menjalin hubungan yang cukup dekat. Bohong jika aku tak berharap untuk dapat menjadi pasangannya. Namun, aku tidak tahu bagaimana dengan dirinya. Dia setahun lebih senior daripadaku. Aku datang pada acara wisudanya dan begitu pun sebaliknya. Banyak di antara teman-teman kami yang suka mengira bahwa kami telah menjalin hubungan serius. Pada kenyataannya…, aku tak bisa menjawabnya.

Hari ini, kami berjanjian bertemu di depan stasiun kereta api pukul tujuh pagi. Kami sudah merencanakan perjalanan ini jauh-jauh hari. Liburan yang sekaligus merayakan aku yang diangkat menjadi karyawan tetap dan ia yang naik pangkat di perusahaan tempat kami masing-masing bekerja. Liburan kami memakan waktu selama 4 hari 3 malam.

Perjalanan dari Jakarta menuju Jogjakarta cukup panjang namun terasa lebih menyenangkan dari pada perjalananku dari rumah ke kantor. Ya tentu saja, ini liburan bukan untuk kerjaan, senyumku kecil.

Selama perjalan kami saling bertukar cerita tentang keseharian kami dan ide-ide untuk liburan nanti. Ia punya tahu tempat-tempat yang menarik, tempat-tempat yang aku bahkan tidak pernah dengar namanya namun jika dicari menampilkan rating yang cukup tinggi dengan komentar-komentar dari pengunjung yang positif.

“Syella, ada yang ingin kutanyakan padamu,” ungkap John.

“Apa itu?”

“Apa kau sudah punya pasangan?”

Rasanya seakan-akan aku akan tersedak dengan ludahku sendiri. Aku tak pernah menyangka bahwa ia akan bertanya padaku hal ini.

“Tidak, belum. Kenapa?” tanyaku balik.

“Tidak apa-apa hanya penasaran. Kau ini gadis yang cantik, perawakan baik, dan tidak terlihat memiliki kekurangan apapun. Jadi kupikir pasti banyak laki-laki yang berusaha memilikimu dan salah satunya memikatmu.”

“Hahaha, tidak, tidak seperti itu. Kau terlalu melebih-lebihkan diriku.”

Apa dia bertanya karena…. Ah, rasanya tidak mungkin, sepertinya bukan karena itu. Meski kubilang tidak mungkin, tapi jauh di lubuk hatiku kuharap aku salah.

Pukul empat sore, kami sampai ke hotel tempat kami menginap. Untuk menghemat biaya penginapan, kami menyewa satu kamar dengan dua tempat tidur single. Begitu sampai, kami diantar menuju kamar oleh salah seorang pelayan hotel. Meski kami tidak menyewa di hotel berbintang, suasana dan tatanan kamar di sini tidaklah buruk. Semuanya masih terasa nyaman.

“Kau mandilah duluan, aku ingin membereskan beberapa barang terlebih dulu. Dan kau adanya bosan jika menungguku mandi,” celotehku.

John tertawa kecil, tapi mengangguk pelan tanda setuju. Ia meletakkan kopernya di dekat lemari pakaian, sedangkan aku menyeret milikku ke dekat jendela. Kukeluarkan seluruh peralatan mandiku yang telah kupisahkan ke dalam dua buah pounch, handuk, satu dress, dan sepasang baju tidur untukku pakai nanti. Kulihat dirinya yang juga bersiap untuk mandi, namun hanya mengeluarkan baju ganti.

“Kau tak bawa handuk, sabun, dan lain-lain?” tanyaku menghentikannya.

“Tidak, ada hotel yang sediakan.”

“Ah, iya benar. Laki-laki tak perlu peralatan sebanyak perempuan.”

Kemudian ia masuk ke kamar mandi dengan wajah mengukir senyum lebar. Sepertinya ia menahan tawa, pikirku. Namun aku tak masalah jika benar, aku senang melihat senyum dan tawanya.

Perjalanan di kereta memang menyenangkan, tapi juga melelahkan. Kami memutuskan untuk memulai rekreasi kami besok. Untuk sore ini, kami habiskan waktu di hotel. Makan malam dengan memesan dari layanan kamar dan istirahat lebih cepat agar memiliki tenaga yang cukup esoknya.

Keesokan paginya, aku terbangun dengan melihat John tidak ada di tempat tidurnya. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Begitu aku beranjak dari tempat tidur, pintu kamar terbuka. John yang masuk.

“Kau sudah bangun? Sejak kapan?” tanya John.

“Baru saja. Aku terkejut melihatmu tak ada di tempat tidur. Habis dari mana? Bangun jam berapa?”

“Jam 06.30. Aku terbiasa olahraga pagi sebelum melaksanakan aktivitas, jadi aku berkeliling hotel.”

Wow, padahal tak ada alasan untukku untuk berhenti mengaguminya. Namun, ia selalu memberiku alasan untuk menambah rasa kagumku padanya.

“Kau mandilah duluan, aku akan mengeringkan tubuhku dulu. Setelahnya kita sarapan sebelum pergi.”

“Siap, kapten!”

John tertawa mendengar balasanku dan mengacak-ngacak rambutku yang sudah berantakan sejak bangun. Jantungku…, berdegup kencang untuk sesaat. Setelah sekian lama kami bersama, ini pertama kalinya ia menyentuhku lagi sejak insiden perpustakaan waktu itu.

100 langkah… 200 langkah… 500 langkah… 1000 langkah… dan masih terus berlanjut. Aku tak tahu sudah seberapa jauh kami melangkah sejak dari pintu masuk. Tempat ini benar-benar di luar ekspektasiku. Aku tak pernah menyangka bahwa tempat ini akan jauh lebih indah saat dilihat langsung oleh mata.

“Bagaimana kau bisa tahu tempat ini? Ini sangat indah,” pujiku.

“Seseorang rekan kerjaku pindahan dari Jogja dan ia berasal tak jauh dari sini. Memang dia bilang tak banyak orang yang tahu tempat ini karena agak jauh dari stasiun.”

Ini baru tempat pertama, aku tak sabar melihat tempat lainnya yang John sarankan.

Waktu terus berputar tak mau berhenti. Kakiku terasa sakit, sepertinya sudah mencapai limit kekuatannya. Untungnya ini adalah tempat terakhir yang kami datangi hari ini. Langit pagi yang terang dengan warna biru cerahnya, tanpa sadar telah berubah menjadi langit sore dengan warna jingga yang menenangkan.

“Ada apa? Sepertinya dari tadi kau kesulitan berjalan.”

“Hehe, iya. Bisa kit acari tempat untuk duduk sejenak? Kakiku sudah sakit,” pintaku.

“Kenapa tidak bilang dari tadi?” tanyanya tegas sambil melihat ke sekeliling. Kemudian ia menyadari sebuah bangku taman yang menganggur di tepi jalan sepi. “Nah, di sebelah situ!”

Aku bersusah payah berjalan mendekati bangku tersebut, namun tak kusangka ternyata rasa sakit yang kutahan sedari tadi menimbulkan perih yang luar biasa. Dan aku hampir terjatuh saat melangkah meskipun sudah pelan, sepelan mungkin.

“Hati-hati!” teriaknya. “Sepertinya sangat menyakitkan. Sudah jangan jalan lagi, biar kugendong saja ke bangku.”

Belum sempat kutolak perkataannya karena kaget, ia dengan cepat telah mengangkatku menggunakan kedua tangannya yang besar. Ia mengangkatku seakan-akan hanya mengangkat sebuah sapu. Untuk kedua kalinya, aku dapat mendengar detak jantungnya dengan telingaku sendiri. Aku tak tahu bagaimana dengannya, apa dia bisa mendengar detak jantungku yang seakan ingin berbalapan?

Setelah meletakkanku ke bangku, ia berlutut di hadapanku, melepaskan sepatuku yang terus melukai epidermis kakiku. Ia mengeluarkan tisu, membasahinya dengan air minumnya, dan dengan lembut menutup bagian kakiku yang terlihat hampir melepuh. Di saat yang sama, ia juga melepaskan sepatuku yang lain.

“Apa masih sakit?” tanyanya.

“T-Tidak, sudah jauh lebih baik. Terima kasih.”

“Kau tunggulah di sini sebentar. Aku akan segera kembali.”

“Kau mau ke mana?”

Ia tak menjawab pertanyaanku. Ia hanya terus berjalan menjauh, perlahan menghilang di antara kerumunan orang-orang yang masih lalu lalang. Langit pun pelan-pelan mulai menyembunyikan mentarinya. Warnanya yang jingga secara perlahan larut menjadi hitam. Lampu-lampu jalan yang tadi menganggur memulai pekerjaannya menerangi jalanan. Jarum jam tanganku terus bergerak konsisten, namun belum juga kulihat John kembali setelah menunggu beberapa lama. Ini membuatku tak tenang. Hingga tiba-tiba dua orang lelaki tak kukenal datang menghampiriku.

“Hey, gadis! Sendirian aja, nih? Kakinya kenapa, kok nyeker?”

Kujawab pertanyaan mereka hanya dengan sebuah senyuman. Dengan harapan, John segera kembali dan mengusir mereka. Kau di mana John? Aku takut!

Sewaktu salah satu dari mereka duduk di sebelahku, John muncul entah dari mana. Ia meletakkan sepasang sendal jepit dan memasukkan sepatuku ke dalam bungkusan sendal jepit tadi.

“Untuk sementara kau pakai ini dulu, jangan pakai sepatu. Atau kakimu tambah luka. Maaf lama, ternyata disini sulit menemukan sendal jepit yang seukuran dengan kakimu. Kakimu ternyata cukup kecil ya,” ucapnya panjang seakan tak menyadari kehadiran kedua lelaki yang menghampiriku barusan.

“Yuk, cabut bro! Udah punya anjing penjaga ternyata,” ucap salah satu dari mereka sebelum menghilang di balik kerumunan.

“Kau tidak apa-apa?” tanya John saat mataku belum berpindah dari kepergian kedua orang tadi.

“Ah, iya, aku tak apa.”

“Maaf, aku terlalu lama.”

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala, “Terima kasih masih mau kembali lagi,”

Ia melebarkan matanya sebelum akhirnya ia tersenyum dan meletakkan tangannya di atas kepalaku. “Tentu saja, mana mungkin kutinggalkan seorang gadis rapuh sendirian.”

Setelahnya kami kembali ke hotel untuk beristirahat. John juga membantuku mengoles saleb yang ia beli tadi yang katanya dapat membantu meringankan luka melepuh akibat gesekan sepatu.

Esoknya, aku bangun lebih awal darinya. Kuturun dari ranjang dan melangkah menuju kamar mandi. Kurasakan bagian kakiku yang terluka sudah jauh membaik, tak ada lagi rasa sakit. Sepertinya hari ini tak perlu ada perubahan, senyumku.

Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi. ia baru bangun dari tidurnya. Aku memerhatikannya dari bangku sudut kamar dekat jendela. Tak kusangka sosoknya sehabis bangun, sangat… menarik. Lagi-lagi aku terpanah olehnya.

“Kau sudah bangun? Mau olahraga pagi dulu atau langsung sarapan?”

“Oh, kau bangun lebih dulu daripadaku? Bagaimana kakimu?”

“Sudah tak apa, sudah tak sakit.”

Baguslah, tapi hari ini tetap gunakan sendal saja supaya tidak memperparahnya. Aku akan mandi saja, setelah langsung sarapan. Sayang sekali, kulewatkan kesempatan melihatmu yang masih tidur di pagi hari,” ucapnya kemudian berlalu ke arah kamar mandi.

Ha?! Apa, apa maksudnya tadi? Kesempatan melihatku? Sejak kapan ia suka melihat kutidur?

Berbagai pertanyaan menyerbu kepalaku. Entah apapun pertanyaannya, semua membawaku tertuju pada satu jawaban. Jawaban yang kusebut tidak mungkin, namun kuharap kusalah. Kutepis segala pertanyaan itu untuk sesaat dan beranjak ke koper untuk mengambil baju ganti.

Hari ini adalah giliran dari ide perjalananku. Memang bukan tempat wisata yang sangat mengagumkan seperti kemarin, tapi kami tetap menikmatinya meski hanya seperti jalan-jalan kecil. Berjalan berdua menyusuri jalanan yang panjang namun juga terasa pendek di saat bersamaan. Hari yang melelahkan, namun juga menyenangkan. Takkan pernah kusesali perjalanan ini.

“Syel,” panggilnya begitu aku selesai mandi dan keluar dari kamar mandi.

“Iya?”

“Menurutmu besok pagi kita ke mana lagi? Besok hari terakhir kita di sini. Tapi kereta kita masih di siang hari.”

Aku membalasnya dengan senyuman yang cukup lebar. Dan tampaknya ia kebingungan melihatku.

“Aku sudah sediakan sesuatu. Kupikir karena ini hari terakhir kita jalan keluar, jadi kusiapkan ini untuk malam ini,” ucapku. Aku berjalan menuju lemari dan mengambil sekantung plastik berisi beberapa kaleng bir. Dan john terkejut melihatnya.

“Aku tidak tahu kau suka minum bir.”

“Tidak juga, tapi tak masalah bagiku. Terkadang kita harus melayani keinginan minum atasan jika tidak ingin disusahkan. Benar, kan, aku?”

John menganguk pelan setelah jeda waktu beberapa detik. Sepertinya ia tidak terlalu suka melayani atasan dengan cara seperti itu, tapi dia harus mengakuinya. Memang aku tidak terlalu menyukainya juga, tapi terima kasih pada atasanku, aku jadi tahu batasan alkoholku.

“Hahahaha,” tawa John terbahak-bahak. 

Aku tak pernah melihat dirinya tertawa hingga sebahagia itu. Dirinya yang selalu terlihat sempurna di mataku, kali ini… terlihat jauh lebih sempurna dari biasanya. Aku… ingin menyentuhnya.

Tanpa sadar, tanganku sudah mendarat di dadanya yang bidang itu. Tempat di mana suara detak jantung kesukaanku berasal.

“Syel?”

“Ah! Maaf, maaf. Sepertinya aku sudah terlalu mabuk. Kita akhiri saja hari ini.”

Kami dua berdiri hendak membereskan kaleng-kaleng yang berserakan. Aku berusaha menjaga keseimbanganku namun gagal. John yang melihatku akan jatuh, menggapaiku dan berusaha menopangku, namun upayanya juga gagal. Kami berdua akhirnya jatuh ke salah satu ranjang secara bersamaan.

Ia berusaha bangkit secara perlahan dari atasku. Dan aku yang melihatnya dari bawah, membuat diriku semakin egois ingin memiliki dirinya, seluruhnya. Bau alkohol dari napasku bercampur dengan alkohol dari dirinya, membuat keadaanku semakin mabuk. Sepertinya aku salah mengingat batasan alkoholku.

“John…,”

Ia menggenggam tanganku setelah kupanggil namanya kemudian menyiumku dengan agresif namun juga lembut di saat yang bersamaan. Beberapa saat setelahnya, bibirnya berpindah menuju leherku dan bagian-bagian tubuhku yang lain.

Aku tak ingat bagaimana setelahnya pakaian-pakaian kami jadi berserakan di lantai berdampingan dengan kaleng-kaleng bir tadi. Yang kuingat hanya kulit kami yang bersentuhan secara langsung di setiap sentuhan yang ia berikan padaku, memberikanku sensasi yang menggelitik dan aneh, namun di saat yang bersamaan aku seakan memohon lebih. Bibirnya menelusuri seluruh tubuhku, tak ia lewatkan satu inci pun. Bahkan di bagian yang tersembunyi sekalipun. Semakin ia menjelajah, semakin aku menyukainya. Dan ciumannya pada bibirku di sela-sela aktivitasnya, membuatku semakin mengingini lebih.

Hingga sampai di titik aku dapat merasakan dirinya di dalamku, ia menutup mulutku agar suara eranganku tak keluar sehingga dapat di dengar orang-orang di luar kamar. Sakit…, tapi aku semakin menginginkan dirinya berada jauh di dalam diriku.

Aku tak ingat kapan aku tertidur. Saat aku terbangun, waktu telah menunjukkan pukul sembilan pagi dan diriku masih dalam keadaan yang sama dengan tadi malam. Kaleng-kaleng bir juma masih dalam posisi yang sama. Bukan mimpi.

Aku tersenyum mengingatnya, ada perasaan senang yang menggelitik di hatiku. Namun perasaan itu menghilang begitu kulihat John beserta kopernya tak ada di kamar. Aku hanya menemukan sebuah surat yang tergeletak di atas ranjang lainnya. Air mataku mengalir saat kubaca surat yang ia tulis. Lagi-lagi hal yang tak pernah kusangka darinya.

“Maaf, aku pergi tanpa bilang-bilang. Pergilah ke alamat XXXX, kita bertemu di sana sebelum kembali ke Jakarta. Aku akan melamarmu di sana. Aku akan menunggu hingga beberapa lama sebelum kereta kita berangkat. Kuharap kau akan datang, walau aku tak memaksamu. NB: maaf…, aku menyentuhmu tanpa izin,” tulisnya.

pic src: https://ms.pngtree.com/freepng/vector-male-and-female-head-silhouette-illustration_5458351.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar