Dengan sabitnya sudah usang dan tenaganya yang tak tersisa banyak, sosok gelap yang menyebut dirinya sebagai Livlös (dibaca Liv-les) itu kembali mengayunkan sabitnya sekali lagi. Di tengah-tengah lapangan, sawah, hutan, sungai, danau, laut, atau bahkan puluhan bangunan, ratusan reruntuhan, ribuan puing-puing. Entah sudah keberapa kalinya ia melakukan gerakan yang sama berulang kali tanpa berhenti. Tak ada yang berbelas kasihan padanya untuk rehat sejenak meski itu hanya untuk duduk di tempat ia berdiri. Begitu ia ingin mengistirahatkan kakinya, teriakan lain kembali terdengar memaksanya untuk kembali bekerja. Dan siklus ini terus berulang.
Tepat saat Livlös baru selesai mencabut bibitnya
yang tergeletak, seseorang menghampirinya dari belakang. Berbeda dengan Livlös
yang gelap, sosok yang menghampirinya sangat terang dan berkilau. Namun,
langkahnya tidak leluasa. Atau dapat dikatakan seperti terikat.
“Sejak kapan terakhir kali aku melihat dirimu
menginjakkan kaki ke sini lagi?” tanya Livlös tanpa berbalik.
“Entahlah. Aku pun sudah tak ingat.”
“Yang pasti bukan karena melihat pemandangan
mengerikan ini kau berjalan kemari.”
Livlös beberapa kali mengatur napasnya.
Menghembuskan dan menghirup udara yang sepertinya mulai terasa asing seiring
semakin jarangnya ia beristirahat.
“Suasananya memang sangat jauh berbeda sejak
terakhir aku melihatnya,” komentar sedih sosok terang itu.
“Benarkah? Aku bahkan sudah tidak ingat lagi
bagaimana rupa muka bumi ini dahulu,” senyum kecut Livlös, “Apa kau keberatan
menceritakan ingatanmu padaku, saudaraku, Livlighet?”
Livlighet (dibaca Liv-li-jet) tersenyum kecil
dan memejamkan mata. Livlös membalikkan tubuhnya ketika menunggu jawaban
saudaranya itu. Keheningan melanda mereka cukup lama sebelum akhirnya Livlighet
membuka mulutnya.
“Di hari pertama kita bekerja, atau mungkin
bisa kita bilang hari kelahiran kita, tanah ini dahulu memang sebuah tanah
sebenarnya. Kehidupan yang berjalan sangat minim dan rapuh, hingga rasanya aku
harus terus memupuknya. Saat itu adalah saat di mana akulah yang sangat sibuk,
hampir tak beristirahat. Namun kau, hampir tak bergerak dari tempatmu bernaung,
hanya sesekali kemari mengambil satu atau dua bibit tua.
“Kehidupan yang masih sangat dominan dengan
kestabilan alam. Aku berusaha untuk membuat tempat ini seimbang, tanpa ada yang
saling mendominasi. Apa kau ingat, kau awalnya juga ikut membantuku karena tak
ada yang bisa kau lakukan lagi? Hahaha, sayang sekali tanganmu tidak
diperuntukkan membentuk dan merawat. Perlahan-lahan, usahaku membuahkan hasil.
Bibit yang kutanam mulai berkembang dengan baik. Bahkan tanpa bantuanku lagi. Perkembangan
mereka pun diluar ekspektasiku.”
Livlighet berhenti sesaat, memperhatikan
sekelilingnya sekali lagi seperti baru pertama kali datang. Ia menggigit
bibirnya kuat hingga disadari oleh Livlös.
“Meskipun kau takkan berdarah atau terluka,
tapi sebaiknya kau berhenti melakukannya,” ucap Livlös. Livlighet menuruti
ucapan saudaranya dan berhenti menggigit bibirnya. Ia kembali tersenyum kecil
sambil menatap Livlös.
“Perkembangan mereka begitu unik dan praktis,”
lanjut Livlighet, “Aku tak pernah menyangka bahwa mereka akan memiliki berbagai
macam inovasi di setiap generasi. Awalnya, aku sangat gembira melihat
pertumbuhan mereka yang sangat baik. Pijakan ini tak lagi seperti
menyembunyikan mangsa dari predator. Akan tetapi, aku pun tak pernah mengira
kalau pertumbuhan mereka akan tak terkendali dan melewati batas wajar yang
mengakibatkan alam menjadi korban.”
“Aku ingin bilang bahwa ini bukan salahmu, tapi
aku juga tidak yakin apa ini sebuah kesalahan. Kau hanya melakukan tugasmu,
bagian yang kau ketahui, jati dirimu. Dan kurasa, sebenernya kau tak pernah
menyesal telah berusaha sejauh itu,” tanggap Livlös.
Livlighet tak memudarkan senyumnya dan ia
mengangguk mendengar tanggapan saudaranya yang cukup masuk akal. Mereka saling
bertukar pandang dan senyuman selama beberapa lama. Hingga kemudian, Livlös
kembali bertanya.
“Bagaimana dengan keadaanmu?”
Livlighet menggelengkan kepalanya, lalu
menunjukkan kedua pergelangan tangannya yang secara samar-samar diikat oleh
sesuatu. Fokus mata Livlös segera berpindah menuju pergelangan kaki Livlighet.
Dan sesuai perkiraannya, pengikat yang sama juga terpasang di sana.
“Berarti waktu kerjaku masih sangat jauh dari
kata selesai. Yah, setelah mungkin sekitar ribuan tahun aku menganggur,
akhirnya aku diberi pekerjaan bertubi-tubi. Dan kau yang sebelumnya terus
bereksperimen, sekarang waktunya istirahat. Cukup adil.”
“Tenang saja,” hibur Livlighet pelan,
“Sepertinya takkan lama lagi bencana ini selesai. Walaupun diriku masih
terikat, aku sudah bisa membawa keluar satu hingga lima bibit hidup dari
tempatku. Dan kau bisa kembali bersantai.”
“Ternyata kau tetap sibuk dalam naunganmu, ya,
meski dalam keadaan seperti itu.”
“Aku hanya dilarang menumbuhkan kehidupan baru
di tanah ini, bukan dilarang membuat.”
Begitu Livlighet selesai bicara, tiba-tiba
goncangan kembali terasa dan teriakan kembali terdengar. Alarm untuk Livlös kembali
pada tugasnya.
“Apa itu gempa lagi? Kau tak berhenti sama
sekali setelah pertemuan terakhir kita?” tanya Livlighet sedikit terkejut.
“Kali ini karena gunung berapi, sepertinya akan
banyak panen. Dan ya…, sejak pertemuan terakhir kita, kondisi menurun dengan
sangat drastis. Dari satu tempat, aku bisa memanen lebih dari 500 bibit yang
mati. Tapi melihat dari kita yang dapat berbincang sebentar ini, kurasa aku
telah diberi waktu untuk istirahat sejenak,” senyum Livlös, “Sampai jumpa,
Livlighet!”
Livlighet melambaikan tangannya kepada Livlös
yang telah melompat pergi dari hadapannya, menghilang antara debu dan awan yang
berkumpul mengelilingi tempat bencana yang mereka pijak. Ia membuka tangannya
dan melihat bibit hidup yang telah digenggamnya sejak tadi, kemudian melangkah
menuju tempat yang tepat untuk meletakkannya sambil bergumam, “Kami berbeda,
namun bersaudara. Kami tak tahu bagaimana kami terbentuk, bagaimana kami tahu
akan tugas kami, atau bagaimana kami dapat berkomunikasi. Tapi satu hal yang
kami tahu, alam semesta saat ini ingin memulai kembali semuanya dari awal.”
Apa akhirnya takkan ada satu pun bibit kehidupan yang tersisa?
pic src: https://id.depositphotos.com/stock-photos/malaikat-maut.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar