Cari

15 Oktober 2022

Restarting

 


Dengan sabitnya sudah usang dan tenaganya yang tak tersisa banyak, sosok gelap yang menyebut dirinya sebagai Livlös (dibaca Liv-les) itu kembali mengayunkan sabitnya sekali lagi. Di tengah-tengah lapangan, sawah, hutan, sungai, danau, laut, atau bahkan puluhan bangunan, ratusan reruntuhan, ribuan puing-puing. Entah sudah keberapa kalinya ia melakukan gerakan yang sama berulang kali tanpa berhenti. Tak ada yang berbelas kasihan padanya untuk rehat sejenak meski itu hanya untuk duduk di tempat ia berdiri. Begitu ia ingin mengistirahatkan kakinya, teriakan lain kembali terdengar memaksanya untuk kembali bekerja. Dan siklus ini terus berulang.

Tepat saat Livlös baru selesai mencabut bibitnya yang tergeletak, seseorang menghampirinya dari belakang. Berbeda dengan Livlös yang gelap, sosok yang menghampirinya sangat terang dan berkilau. Namun, langkahnya tidak leluasa. Atau dapat dikatakan seperti terikat.

“Sejak kapan terakhir kali aku melihat dirimu menginjakkan kaki ke sini lagi?” tanya Livlös tanpa berbalik.

“Entahlah. Aku pun sudah tak ingat.”

“Yang pasti bukan karena melihat pemandangan mengerikan ini kau berjalan kemari.”

Livlös beberapa kali mengatur napasnya. Menghembuskan dan menghirup udara yang sepertinya mulai terasa asing seiring semakin jarangnya ia beristirahat.

“Suasananya memang sangat jauh berbeda sejak terakhir aku melihatnya,” komentar sedih sosok terang itu.

“Benarkah? Aku bahkan sudah tidak ingat lagi bagaimana rupa muka bumi ini dahulu,” senyum kecut Livlös, “Apa kau keberatan menceritakan ingatanmu padaku, saudaraku, Livlighet?”

Livlighet (dibaca Liv-li-jet) tersenyum kecil dan memejamkan mata. Livlös membalikkan tubuhnya ketika menunggu jawaban saudaranya itu. Keheningan melanda mereka cukup lama sebelum akhirnya Livlighet membuka mulutnya.

“Di hari pertama kita bekerja, atau mungkin bisa kita bilang hari kelahiran kita, tanah ini dahulu memang sebuah tanah sebenarnya. Kehidupan yang berjalan sangat minim dan rapuh, hingga rasanya aku harus terus memupuknya. Saat itu adalah saat di mana akulah yang sangat sibuk, hampir tak beristirahat. Namun kau, hampir tak bergerak dari tempatmu bernaung, hanya sesekali kemari mengambil satu atau dua bibit tua.

“Kehidupan yang masih sangat dominan dengan kestabilan alam. Aku berusaha untuk membuat tempat ini seimbang, tanpa ada yang saling mendominasi. Apa kau ingat, kau awalnya juga ikut membantuku karena tak ada yang bisa kau lakukan lagi? Hahaha, sayang sekali tanganmu tidak diperuntukkan membentuk dan merawat. Perlahan-lahan, usahaku membuahkan hasil. Bibit yang kutanam mulai berkembang dengan baik. Bahkan tanpa bantuanku lagi. Perkembangan mereka pun diluar ekspektasiku.”

Livlighet berhenti sesaat, memperhatikan sekelilingnya sekali lagi seperti baru pertama kali datang. Ia menggigit bibirnya kuat hingga disadari oleh Livlös.

“Meskipun kau takkan berdarah atau terluka, tapi sebaiknya kau berhenti melakukannya,” ucap Livlös. Livlighet menuruti ucapan saudaranya dan berhenti menggigit bibirnya. Ia kembali tersenyum kecil sambil menatap Livlös.

“Perkembangan mereka begitu unik dan praktis,” lanjut Livlighet, “Aku tak pernah menyangka bahwa mereka akan memiliki berbagai macam inovasi di setiap generasi. Awalnya, aku sangat gembira melihat pertumbuhan mereka yang sangat baik. Pijakan ini tak lagi seperti menyembunyikan mangsa dari predator. Akan tetapi, aku pun tak pernah mengira kalau pertumbuhan mereka akan tak terkendali dan melewati batas wajar yang mengakibatkan alam menjadi korban.”

“Aku ingin bilang bahwa ini bukan salahmu, tapi aku juga tidak yakin apa ini sebuah kesalahan. Kau hanya melakukan tugasmu, bagian yang kau ketahui, jati dirimu. Dan kurasa, sebenernya kau tak pernah menyesal telah berusaha sejauh itu,” tanggap Livlös.

Livlighet tak memudarkan senyumnya dan ia mengangguk mendengar tanggapan saudaranya yang cukup masuk akal. Mereka saling bertukar pandang dan senyuman selama beberapa lama. Hingga kemudian, Livlös kembali bertanya.

“Bagaimana dengan keadaanmu?”

Livlighet menggelengkan kepalanya, lalu menunjukkan kedua pergelangan tangannya yang secara samar-samar diikat oleh sesuatu. Fokus mata Livlös segera berpindah menuju pergelangan kaki Livlighet. Dan sesuai perkiraannya, pengikat yang sama juga terpasang di sana.

“Berarti waktu kerjaku masih sangat jauh dari kata selesai. Yah, setelah mungkin sekitar ribuan tahun aku menganggur, akhirnya aku diberi pekerjaan bertubi-tubi. Dan kau yang sebelumnya terus bereksperimen, sekarang waktunya istirahat. Cukup adil.”

“Tenang saja,” hibur Livlighet pelan, “Sepertinya takkan lama lagi bencana ini selesai. Walaupun diriku masih terikat, aku sudah bisa membawa keluar satu hingga lima bibit hidup dari tempatku. Dan kau bisa kembali bersantai.”

“Ternyata kau tetap sibuk dalam naunganmu, ya, meski dalam keadaan seperti itu.”

“Aku hanya dilarang menumbuhkan kehidupan baru di tanah ini, bukan dilarang membuat.”

Begitu Livlighet selesai bicara, tiba-tiba goncangan kembali terasa dan teriakan kembali terdengar. Alarm untuk Livlös kembali pada tugasnya.

“Apa itu gempa lagi? Kau tak berhenti sama sekali setelah pertemuan terakhir kita?” tanya Livlighet sedikit terkejut.

“Kali ini karena gunung berapi, sepertinya akan banyak panen. Dan ya…, sejak pertemuan terakhir kita, kondisi menurun dengan sangat drastis. Dari satu tempat, aku bisa memanen lebih dari 500 bibit yang mati. Tapi melihat dari kita yang dapat berbincang sebentar ini, kurasa aku telah diberi waktu untuk istirahat sejenak,” senyum Livlös, “Sampai jumpa, Livlighet!”

Livlighet melambaikan tangannya kepada Livlös yang telah melompat pergi dari hadapannya, menghilang antara debu dan awan yang berkumpul mengelilingi tempat bencana yang mereka pijak. Ia membuka tangannya dan melihat bibit hidup yang telah digenggamnya sejak tadi, kemudian melangkah menuju tempat yang tepat untuk meletakkannya sambil bergumam, “Kami berbeda, namun bersaudara. Kami tak tahu bagaimana kami terbentuk, bagaimana kami tahu akan tugas kami, atau bagaimana kami dapat berkomunikasi. Tapi satu hal yang kami tahu, alam semesta saat ini ingin memulai kembali semuanya dari awal.”

Apa akhirnya takkan ada satu pun bibit kehidupan yang tersisa?

pic src: https://id.depositphotos.com/stock-photos/malaikat-maut.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar