Merlia mencengkram erat kedua tangannya, menahan amarah yang siap meledak kapan saja. Dia telah menahan dirinya sejak dua jam yang lalu, hingga akhirnya, ….
“Kau dengar, bukan?! Segera selesaikan hubunganmu dengan
laki-laki bodoh itu!”
“TIDAK!” teriak Lia dengan sekuat tenaga. Suaranya yang menggema, membuat seisi ruangan tak
bergeming. “Aku sudah muak mendengar alasan kalian yang selalu sama. Darah
bangsawan, darah bangsawan, darah bangsawan, DARAH BANGSAWAN! MEMANGNYA APA
YANG SALAH DARI BUKAN KETURUNAN BANGSAWAN?! Kita tidak tinggal di zaman kerajaan
kuno yang menuntut kesetaraan status sosial! Kalian bahkan tak bisa memberiku bukti kalau kita
memang adalah keturunan keluarga bangsawan, selain mengatakannya berulang kali.
Kerajaan Majapahit juga sudah lama tidak ada. DAN DIA TIDAK BODOH!”
Begitu Lia
selesai mengucapkan kalimat terakhirnya, ia berjalan pergi menjauhi seluruh
keluarganya yang ada di ruangan itu. Langkah kakinya berat, penuh dengan amarah
dan kebencian. Ia benci dengan pemikiran keluarganya, ia benci dengan sistem
keluarganya, ia benci keluarganya, ia benci darah yang mengalir dalam dirinya,
ia benci dirinya.
Kejadian
itu telah berlalu setahun lamanya. Kini Merlia tinggal bersama Stefanus –
lelakinya – selama berkuliah. Untunglah, keluarganya tidak mengetahui tempat
Stefan tinggal selama kuliah. Dan sepertinya keluarganya tidak menyewa seseorang
untuk memata-matai dirinya dan Stefan.
Selama
setahun ini, ia tidak berkomunikasi apapun dengan keluarganya. Bahkan uang yang
keluarganya transfer padanya, ia tak gunakan sama sekali. Ia bekerja paruh
waktu dan hidup dengan upah yang ia dapatkan dengan susah payah. Ia sebelumnya
tak pernah menyangka bahwa bekerja akan sangat melelahkan seperti ini. tak
heran jika Stefan selalu tertidur di sela-sela pergantian kelas. Meski begitu,
ia tetap saja dapat menggapai nilai yang baik.
Hari ini
hari Minggu. Tidak seperti akhir pekan di tahun sebelumnya yang mana mereka
menghabiskan waktu di luar, kali ini mereka hanya menghabiskan waktu di
apartemennya Stefan. Entah menonton film, bermain permainan kartu, atau hanya
sekadar berbincang berjam-jam. Dan Lia merasa ini jauh lebih menyenangkan dari
pada jalan-jalan di luar.
“Bagaimana
pekerjaanmu, Lia?” tanya Stefan.
“Baik-baik
saja. Awalnya aku agak kesulitan karena tidak pernah bertemu berbagai macam
alat-alat itu. Beberapa minggu pertama aku sering salah membawa barang yang
rekanku minta karena belum hafal nama-namanya. Untunglah dia pengertian jadi
dia pun tidak marah. Pekerja yang lain juga sangat baik, tidak butuh waktu lama
hingga aku bisa berbincang dengan santai bersama mereka,” cerita Lia panjang
lebar.
“Ada apa
kau bertanya?” lanjut Lia bertanya.
“Bukan
apa-apa. Hanya saja aku sedikit kuatir. Kau tidak pernah melakukan pekerjaan
seperti itu, atau mungkin melihatnya secara langsung. Jadi takutnya kau secara
tidak sengaja melukai dirimu sendiri.”
“Bagaimana
denganmu? Tahun ini sudah tahun kedua bukan?”
“Tidak ada
perubahan dari tahun pertama, masih sama saja. Kecuali mungkin aku jadi lebih
terbiasa dengan pekerjaanku. Jadi terkadang pekerja lain tersenyum melihatku
yang sudah lebih cepat menyelesaikan semuanya.”
Lia menatap
Stefan penuh dengan rasa kagum. Dia tak mengerti mengapa dia sangat terpesona
dengan segala hal yang dia lakukan meski itu hanya hal sederhana seperti
mengantarnya ke tempat kerja.
“Lia, aku
punya kabar dan kurasa sepertinya ini adalah kabar baik untukmu.”
“Apa itu?”
tanya Lia menaikkan alisnya.
“Mulai
besok waktu kerjaku lebih senggang. Jadi kurasa aku bisa menjemputmu dari
tempat kerja.”
Lia
mengedipkan beberapa kali matanya sebelum akhirnya ia mengatup tangannya
menutup mulutnya yang tersenyum. Melihat reaksi Lia yang seakan-akan tidak
percaya, Stefan mengangguk pelan kepalanya, menegaskan bahwa apa yang ia
katakan adalah benar. Senyum Lia semakin lebar, ia membuka lengannya dan
memeluk Stefan.
“Yeeaay…!”
BIIP…BIIP…
Suara
elektrokardiogram memenuhi kamar yang sunyi. Elektrokardiogram yang merekam
aktivitas listrik jantung milik Stefan. Lia hanya duduk termenung dengan mata
yang sembab yang masih sedikit meneteskan air mata. Ada sekian banyak alasan ia
begitu membenci keluarganya dan dirinya, kini bertambah satu alasan lagi.
“STEFAN!”
teriak seseorang dari pintu. Orang tuanya Stefan sudah datang. Mereka
menunjukkan wajah penuh ketakutan. Ibunya – Stefani – menggenggam erat tangan
Stefan, air matanya menetes. Sedangkan ayahnya mengelus punggung ibunya,
sembari beberapa kali menghela napas.
“Kamu… Kamu
Merlia, pacarnya Stefan?” tanya pelan ayah Stefan. Lia mengangguk dengan kaku. Mulutnya
sedikit kelu, matanya tak berani menatap mereka.
“Kamu Lia?
Kamu beneran Lia?” tanya Stefani tiba-tiba.
“I-Iya.”
Stefani
melepas genggamannya, ia melangkah dengan cepat ke arah Lia, mengangkat
tangannya. Segera Lia memejamkan matanya, merelakan dirinya ditampar. Namun
ternyata ia salah. Stefani tidak menamparnya tapi memeluk Lia dengan erat
sambil berkata, “Kamu pasti juga sangat takut. Sekarang sudah tidak apa-apa,
ada kami di sini.”
Air mata
Lia yang sudah hampir kering, mengalir keluar saat mendengar perkataan Stefani.
Ia tak menyangka, bahwa ibu Stefan sangatlah sabar. Lia memeluk erat Stefani.
Kamar yang tadinya hanya didominasi oleh suara elektrokardiogram, kini dipenuhi
suara tangis Lia.
Hari Jumat
waktu malam kejadian, sesuai yang dikatakan Stefan, ia datang ke tempat kerja
Lia dan menjemputnya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju apartemennya
Stefan. Hingga beberapa meter sebelum mereka sampai, seseorang tiba-tiba
menghampiri mereka dan menodongkan senjata api yang entah ia dapat dari mana.
“Mentang-mentang
kalian berdarah bangsawan!” teriaknya sesaat sebelum menarik pelatuk. Lia yang
syok hampir tak bergerak dari tempat. Stefan yang juga terkejut, secara refleks
menghalangi peluru yang melaju kepada Lia dan akhirnya mendarat di dadanya
sebelum ia jatuh tersungkur ke tanah.
Pelaku
penembakan segera lari begitu menyadari bahwa tindakannya diketahui oleh
orang-orang sekitar. Beberapa berusaha mengejarnya, beberapa membawa Stefan dan
Lia ke rumah sakit terdekat. Lia yang syok berat, mengalami guncangan selama
beberapa hari sebelum akhirnya kesadarannya pulih. Dan Stefan masih dalam
keadaan tertidur meski masa kritisnya sudah lewat.
Stefani
mengelus kepala Lia yang tertidur di pangkuannya. Sebagai seorang ibu, ia tahu
betul bagaimana hancurnya perasaan seorang perempuan melihat lelaki tempat ia
bertopang dalam keadaan rapuh, ditambah alasannya berhubungan dengan
keluarganya sendiri.
Stefani
melihat suaminya yang duduk melipat tangannya sambil memperhatikan anak semata
wayangnya. Masih sambil beberapa kali menghela napas, ia meraih tangan anaknya
dan mengelusnya.
“Apa kau
marah pada Lia?” tanyanya pada suaminya.
“Iya, aku
marah. Tapi bukan padanya,” hela suaminya.
“Karena
kita tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Tidak mungkin orang sembarangan bisa
tahu kediaman Stefan begitu saja,” senyum Stefani penuh luka.
Beberapa
hari kembali berlalu, namun Stefan belum juga sadar. Lia selalu datang
menjenguk sambil membawa makanan untuk orang tuanya Stefan. Ia pun memotong jam
kerjanya agar dapat ambil bagian dalam menjaga Stefan bersama kedua orang
tuanya Stefan.
Perlahan,
perasaan Lia sedikit lebih ringan. Ia mulai bisa tersenyum saat melihat tingkah
kedua orang tua Stefan yang saling menunjukkan kasih sayang mereka kepada satu
sama lain hanya dari hal-hal kecil.
Semua
berjalan baik, keadaan Stefan juga perlahan membaik hingga akhirnya ia sadar
setelah tertidur selama seminggu lebih. Orang tuanya dan Lia sangat bahagia begitu
melihat akhirnya Stefan sadarkan diri.
“Stefan,
Stefan?! Anakku sayang. Mama dan Papa di sini,” ucap Stefani menggenggam erat
tangan anaknya. Stefan menatap kedua orang tuanya dan dengan lemah bertanya,
“Lia… Di mana Lia?”
“Aku di
sini,” jawab Lia menggenggam tangan Stefan di sisi lainnya.
“Kau… tak
apa?”
Lia
mengangguk dengan tegas, “Tenang saja. Aku tak kenapa-napa. Aku baik-baik
saja.”
“Syukurlah,”
ucap Stefan sebelumnya akhirnya tertidur lagi.
“Aku akan
memanggil dokter untuk memastikan keadaannya,” kata ayah Stefan, kemudian
berjalan keluar kamar.
“Kau tahu,
nak? Stefan sangat sayang padamu. Bahkan di saat keadaannya seperti ini saja,
kau yang ia cari lebih dulu,” jelas Stefani. “Selama ini, dia sangat
membanggakan dirimu. Setiap kali kami berbincang, dia pasti selalu saja
membicarakan dirimu. Dari kata-katanya, aku tahu dia rela memberikan apapun
yang ia miliki untukmu.”
Lia menahan
air matanya yang siap terjun kapanpun. Ia berusaha membalas penjelasan Stefani,
namun semua tersangkut di lehernya. Sampai sesaat ia hendak membuka mulutnya, keluarganya,
keluarga Lia, datang dengan ekspresi marah, terutama ayah Lia. Ia menarik Lia
keluar dari kamar secara paksa. Dan keluarganya yang lain menatap sinis kepada
Stefani sebelum menyusul Lia keluar. Stefani yang melihat langsung tatapan itu,
hanya dapat mengelus dada.
“Lepaskan!”
teriak Lia, namun tidak dipedulikan. Setelah berulang kali meminta, Lia
akhirnya menggigit tangan ayahnya agar dapat melepaskan diri.
“Sudah
kubilang ‘Lepaskan!’ sedari tadi!”
“Lia!”
panggil ibunya. “Kami harap kamu sudah sadar akan kedatangan kami kemari. Kami
juga sudah berulang kali bilang berhenti bersama dengannya lagi. Lihat
sekarang! Dia membawa masalah untukmu.”
“KALIAN
YANG PEMBAWA MASALAH! KALIAN PIKIR GARA-GARA SIAPA ORANG ITU MENGINCARKU?!
GARA-GARA DARAH BANGSAWAN YANG KALIAN BANGGA-BANGGAKAN DAN SIKAP ANGKUH KALIAN
SENDIRI! Kalau bukan karenanya, aku yang akan terbaring hampir mati di sana.
AKU YANG HAMPIR MATI!”
Suara
amarah Lia menggema di lorong rumah sakit. Seorang suster baru saja hendak
bersuara untuk mereka menyelesaikan masalah di luar namun ditahan oleh ibunya
Lia dengan isyarat mengangkat salah satu tangannya.
“Lia,
perhatikan sikapmu. Kita ini kelu –”
“Bangsawan…
tentu saja. Kenapa aku bisa lupa. Keluarga bangsawan yang sangat mementingkan
status sosial melebihi dari nyawa seseorang, haha… HAHAHA,” tawa Lia tak
terkendali.
“Lia!”
teriak ibunya lagi.
“Keluarkan
aku dari KK, aku bukan anak bangsawan yang kalian inginkan. Aku muak melihat
kalian semua,” tegas Lia menatap lurus kepada ibunya. Tak ada satupun dari
mereka yang akan mengalah. Hingga ayah Stefan tiba-tiba berdiri di tengah
mereka.
“Lia,
kembalilah ke kamar Stefan, ia mencarimu. Dan biarkan aku bicara dengan
keluargamu,” pintanya. Lia berjalan mengikuti suruhan dari ayah Stefan sambil
menetap heran keluarganya yang tiba-tiba berubah menjadi pucat begitu melihat
ayah Stefan.
Lia
menghampiri Stefan yang sedang duduk bersandar menatap jendela. Stefani pergi
keluar, membiarkan mereka berbincang berdua.
“Stefan,”
Lia memulai pembicaraan. “Kau jadi begini karenaku, apa kita –”
“Ssst.”
Stefan
menaruh telunjuknya di depan mulut Lia agar ia berhenti bicara. “Kau sudah
banyak menggunakan suaramu di luar tadi. Kali ini biar aku yang bicara sedikit.
Apa kau tahu kalau keluargaku masih memiliki hubungan darah dengan keluarga keraton?”
Lia
menggelengkan kepala pelan. Beberapa detik kemudian ia baru sadar akan
pertanyaan Stefan dan bertanya dengan mata terkejut, “Kau apa?”
Stefan
mengangguk. Lia menatap Stefan dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dan Stefan
menatapnya sambil tersenyum lembut.
“Bagaimana…?”
“Yang
menduduki keraton sekarang adalah sepupu dari Ayah. Dan setauku mereka memiliki
wajah yang cukup mirip jadi orang sering kali salah mengenalinya,” jelas
Stefan.
Lia memutar
kepalanya menatap keluar pintu. “Kurasa itu menjawab mengapa wajah mereka semua
pucat begitu melihat paman,” pikirnya dalam hati.
pic src: https://www.nusatrip.com/blog/yuk-liburan-ke-lokasi-wisata-yang-menjadi-inspirasi-film-disney/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar