Cari

15 Agustus 2022

Darah Bangsawan, Kerajaan, dan Keraton

 


Merlia mencengkram erat kedua tangannya, menahan amarah yang siap meledak kapan saja. Dia telah menahan dirinya sejak dua jam yang lalu, hingga akhirnya, ….

“Kau dengar, bukan?! Segera selesaikan hubunganmu dengan laki-laki bodoh itu!”

“TIDAK!” teriak Lia dengan sekuat tenaga. Suaranya yang menggema, membuat seisi ruangan tak bergeming. “Aku sudah muak mendengar alasan kalian yang selalu sama. Darah bangsawan, darah bangsawan, darah bangsawan, DARAH BANGSAWAN! MEMANGNYA APA YANG SALAH DARI BUKAN KETURUNAN BANGSAWAN?! Kita tidak tinggal di zaman kerajaan kuno yang menuntut kesetaraan status sosial! Kalian bahkan tak bisa memberiku bukti kalau kita memang adalah keturunan keluarga bangsawan, selain mengatakannya berulang kali. Kerajaan Majapahit juga sudah lama tidak ada. DAN DIA TIDAK BODOH!”

Begitu Lia selesai mengucapkan kalimat terakhirnya, ia berjalan pergi menjauhi seluruh keluarganya yang ada di ruangan itu. Langkah kakinya berat, penuh dengan amarah dan kebencian. Ia benci dengan pemikiran keluarganya, ia benci dengan sistem keluarganya, ia benci keluarganya, ia benci darah yang mengalir dalam dirinya, ia benci dirinya.

Kejadian itu telah berlalu setahun lamanya. Kini Merlia tinggal bersama Stefanus – lelakinya – selama berkuliah. Untunglah, keluarganya tidak mengetahui tempat Stefan tinggal selama kuliah. Dan sepertinya keluarganya tidak menyewa seseorang untuk memata-matai dirinya dan Stefan.

Selama setahun ini, ia tidak berkomunikasi apapun dengan keluarganya. Bahkan uang yang keluarganya transfer padanya, ia tak gunakan sama sekali. Ia bekerja paruh waktu dan hidup dengan upah yang ia dapatkan dengan susah payah. Ia sebelumnya tak pernah menyangka bahwa bekerja akan sangat melelahkan seperti ini. tak heran jika Stefan selalu tertidur di sela-sela pergantian kelas. Meski begitu, ia tetap saja dapat menggapai nilai yang baik.

Hari ini hari Minggu. Tidak seperti akhir pekan di tahun sebelumnya yang mana mereka menghabiskan waktu di luar, kali ini mereka hanya menghabiskan waktu di apartemennya Stefan. Entah menonton film, bermain permainan kartu, atau hanya sekadar berbincang berjam-jam. Dan Lia merasa ini jauh lebih menyenangkan dari pada jalan-jalan di luar.

“Bagaimana pekerjaanmu, Lia?” tanya Stefan.

“Baik-baik saja. Awalnya aku agak kesulitan karena tidak pernah bertemu berbagai macam alat-alat itu. Beberapa minggu pertama aku sering salah membawa barang yang rekanku minta karena belum hafal nama-namanya. Untunglah dia pengertian jadi dia pun tidak marah. Pekerja yang lain juga sangat baik, tidak butuh waktu lama hingga aku bisa berbincang dengan santai bersama mereka,” cerita Lia panjang lebar.

“Ada apa kau bertanya?” lanjut Lia bertanya.

“Bukan apa-apa. Hanya saja aku sedikit kuatir. Kau tidak pernah melakukan pekerjaan seperti itu, atau mungkin melihatnya secara langsung. Jadi takutnya kau secara tidak sengaja melukai dirimu sendiri.”

“Bagaimana denganmu? Tahun ini sudah tahun kedua bukan?”

“Tidak ada perubahan dari tahun pertama, masih sama saja. Kecuali mungkin aku jadi lebih terbiasa dengan pekerjaanku. Jadi terkadang pekerja lain tersenyum melihatku yang sudah lebih cepat menyelesaikan semuanya.”

Lia menatap Stefan penuh dengan rasa kagum. Dia tak mengerti mengapa dia sangat terpesona dengan segala hal yang dia lakukan meski itu hanya hal sederhana seperti mengantarnya ke tempat kerja.

“Lia, aku punya kabar dan kurasa sepertinya ini adalah kabar baik untukmu.”

“Apa itu?” tanya Lia menaikkan alisnya.

“Mulai besok waktu kerjaku lebih senggang. Jadi kurasa aku bisa menjemputmu dari tempat kerja.”

Lia mengedipkan beberapa kali matanya sebelum akhirnya ia mengatup tangannya menutup mulutnya yang tersenyum. Melihat reaksi Lia yang seakan-akan tidak percaya, Stefan mengangguk pelan kepalanya, menegaskan bahwa apa yang ia katakan adalah benar. Senyum Lia semakin lebar, ia membuka lengannya dan memeluk Stefan.

“Yeeaay…!”

BIIP…BIIP…

Suara elektrokardiogram memenuhi kamar yang sunyi. Elektrokardiogram yang merekam aktivitas listrik jantung milik Stefan. Lia hanya duduk termenung dengan mata yang sembab yang masih sedikit meneteskan air mata. Ada sekian banyak alasan ia begitu membenci keluarganya dan dirinya, kini bertambah satu alasan lagi.

“STEFAN!” teriak seseorang dari pintu. Orang tuanya Stefan sudah datang. Mereka menunjukkan wajah penuh ketakutan. Ibunya – Stefani – menggenggam erat tangan Stefan, air matanya menetes. Sedangkan ayahnya mengelus punggung ibunya, sembari beberapa kali menghela napas.

“Kamu… Kamu Merlia, pacarnya Stefan?” tanya pelan ayah Stefan. Lia mengangguk dengan kaku. Mulutnya sedikit kelu, matanya tak berani menatap mereka.

“Kamu Lia? Kamu beneran Lia?” tanya Stefani tiba-tiba.

“I-Iya.”

Stefani melepas genggamannya, ia melangkah dengan cepat ke arah Lia, mengangkat tangannya. Segera Lia memejamkan matanya, merelakan dirinya ditampar. Namun ternyata ia salah. Stefani tidak menamparnya tapi memeluk Lia dengan erat sambil berkata, “Kamu pasti juga sangat takut. Sekarang sudah tidak apa-apa, ada kami di sini.”

Air mata Lia yang sudah hampir kering, mengalir keluar saat mendengar perkataan Stefani. Ia tak menyangka, bahwa ibu Stefan sangatlah sabar. Lia memeluk erat Stefani. Kamar yang tadinya hanya didominasi oleh suara elektrokardiogram, kini dipenuhi suara tangis Lia.

Hari Jumat waktu malam kejadian, sesuai yang dikatakan Stefan, ia datang ke tempat kerja Lia dan menjemputnya. Mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju apartemennya Stefan. Hingga beberapa meter sebelum mereka sampai, seseorang tiba-tiba menghampiri mereka dan menodongkan senjata api yang entah ia dapat dari mana.

“Mentang-mentang kalian berdarah bangsawan!” teriaknya sesaat sebelum menarik pelatuk. Lia yang syok hampir tak bergerak dari tempat. Stefan yang juga terkejut, secara refleks menghalangi peluru yang melaju kepada Lia dan akhirnya mendarat di dadanya sebelum ia jatuh tersungkur ke tanah.

Pelaku penembakan segera lari begitu menyadari bahwa tindakannya diketahui oleh orang-orang sekitar. Beberapa berusaha mengejarnya, beberapa membawa Stefan dan Lia ke rumah sakit terdekat. Lia yang syok berat, mengalami guncangan selama beberapa hari sebelum akhirnya kesadarannya pulih. Dan Stefan masih dalam keadaan tertidur meski masa kritisnya sudah lewat.

Stefani mengelus kepala Lia yang tertidur di pangkuannya. Sebagai seorang ibu, ia tahu betul bagaimana hancurnya perasaan seorang perempuan melihat lelaki tempat ia bertopang dalam keadaan rapuh, ditambah alasannya berhubungan dengan keluarganya sendiri.

Stefani melihat suaminya yang duduk melipat tangannya sambil memperhatikan anak semata wayangnya. Masih sambil beberapa kali menghela napas, ia meraih tangan anaknya dan mengelusnya.

“Apa kau marah pada Lia?” tanyanya pada suaminya.

“Iya, aku marah. Tapi bukan padanya,” hela suaminya.

“Karena kita tahu siapa pelaku yang sebenarnya. Tidak mungkin orang sembarangan bisa tahu kediaman Stefan begitu saja,” senyum Stefani penuh luka.

Beberapa hari kembali berlalu, namun Stefan belum juga sadar. Lia selalu datang menjenguk sambil membawa makanan untuk orang tuanya Stefan. Ia pun memotong jam kerjanya agar dapat ambil bagian dalam menjaga Stefan bersama kedua orang tuanya Stefan.

Perlahan, perasaan Lia sedikit lebih ringan. Ia mulai bisa tersenyum saat melihat tingkah kedua orang tua Stefan yang saling menunjukkan kasih sayang mereka kepada satu sama lain hanya dari hal-hal kecil.

Semua berjalan baik, keadaan Stefan juga perlahan membaik hingga akhirnya ia sadar setelah tertidur selama seminggu lebih. Orang tuanya dan Lia sangat bahagia begitu melihat akhirnya Stefan sadarkan diri.

“Stefan, Stefan?! Anakku sayang. Mama dan Papa di sini,” ucap Stefani menggenggam erat tangan anaknya. Stefan menatap kedua orang tuanya dan dengan lemah bertanya, “Lia… Di mana Lia?”

“Aku di sini,” jawab Lia menggenggam tangan Stefan di sisi lainnya.

“Kau… tak apa?”

Lia mengangguk dengan tegas, “Tenang saja. Aku tak kenapa-napa. Aku baik-baik saja.”

“Syukurlah,” ucap Stefan sebelumnya akhirnya tertidur lagi.

“Aku akan memanggil dokter untuk memastikan keadaannya,” kata ayah Stefan, kemudian berjalan keluar kamar.

“Kau tahu, nak? Stefan sangat sayang padamu. Bahkan di saat keadaannya seperti ini saja, kau yang ia cari lebih dulu,” jelas Stefani. “Selama ini, dia sangat membanggakan dirimu. Setiap kali kami berbincang, dia pasti selalu saja membicarakan dirimu. Dari kata-katanya, aku tahu dia rela memberikan apapun yang ia miliki untukmu.”

Lia menahan air matanya yang siap terjun kapanpun. Ia berusaha membalas penjelasan Stefani, namun semua tersangkut di lehernya. Sampai sesaat ia hendak membuka mulutnya, keluarganya, keluarga Lia, datang dengan ekspresi marah, terutama ayah Lia. Ia menarik Lia keluar dari kamar secara paksa. Dan keluarganya yang lain menatap sinis kepada Stefani sebelum menyusul Lia keluar. Stefani yang melihat langsung tatapan itu, hanya dapat mengelus dada.

“Lepaskan!” teriak Lia, namun tidak dipedulikan. Setelah berulang kali meminta, Lia akhirnya menggigit tangan ayahnya agar dapat melepaskan diri.

“Sudah kubilang ‘Lepaskan!’ sedari tadi!”

“Lia!” panggil ibunya. “Kami harap kamu sudah sadar akan kedatangan kami kemari. Kami juga sudah berulang kali bilang berhenti bersama dengannya lagi. Lihat sekarang! Dia membawa masalah untukmu.”

“KALIAN YANG PEMBAWA MASALAH! KALIAN PIKIR GARA-GARA SIAPA ORANG ITU MENGINCARKU?! GARA-GARA DARAH BANGSAWAN YANG KALIAN BANGGA-BANGGAKAN DAN SIKAP ANGKUH KALIAN SENDIRI! Kalau bukan karenanya, aku yang akan terbaring hampir mati di sana. AKU YANG HAMPIR MATI!”

Suara amarah Lia menggema di lorong rumah sakit. Seorang suster baru saja hendak bersuara untuk mereka menyelesaikan masalah di luar namun ditahan oleh ibunya Lia dengan isyarat mengangkat salah satu tangannya.

“Lia, perhatikan sikapmu. Kita ini kelu –”

“Bangsawan… tentu saja. Kenapa aku bisa lupa. Keluarga bangsawan yang sangat mementingkan status sosial melebihi dari nyawa seseorang, haha… HAHAHA,” tawa Lia tak terkendali.

“Lia!” teriak ibunya lagi.

“Keluarkan aku dari KK, aku bukan anak bangsawan yang kalian inginkan. Aku muak melihat kalian semua,” tegas Lia menatap lurus kepada ibunya. Tak ada satupun dari mereka yang akan mengalah. Hingga ayah Stefan tiba-tiba berdiri di tengah mereka.

“Lia, kembalilah ke kamar Stefan, ia mencarimu. Dan biarkan aku bicara dengan keluargamu,” pintanya. Lia berjalan mengikuti suruhan dari ayah Stefan sambil menetap heran keluarganya yang tiba-tiba berubah menjadi pucat begitu melihat ayah Stefan.

Lia menghampiri Stefan yang sedang duduk bersandar menatap jendela. Stefani pergi keluar, membiarkan mereka berbincang berdua.

“Stefan,” Lia memulai pembicaraan. “Kau jadi begini karenaku, apa kita –”

“Ssst.”

Stefan menaruh telunjuknya di depan mulut Lia agar ia berhenti bicara. “Kau sudah banyak menggunakan suaramu di luar tadi. Kali ini biar aku yang bicara sedikit. Apa kau tahu kalau keluargaku masih memiliki hubungan darah dengan keluarga keraton?”

Lia menggelengkan kepala pelan. Beberapa detik kemudian ia baru sadar akan pertanyaan Stefan dan bertanya dengan mata terkejut, “Kau apa?”

Stefan mengangguk. Lia menatap Stefan dengan tatapan penuh ketidakpercayaan dan Stefan menatapnya sambil tersenyum lembut.

“Bagaimana…?”

“Yang menduduki keraton sekarang adalah sepupu dari Ayah. Dan setauku mereka memiliki wajah yang cukup mirip jadi orang sering kali salah mengenalinya,” jelas Stefan.

Lia memutar kepalanya menatap keluar pintu. “Kurasa itu menjawab mengapa wajah mereka semua pucat begitu melihat paman,” pikirnya dalam hati.


pic src: https://www.nusatrip.com/blog/yuk-liburan-ke-lokasi-wisata-yang-menjadi-inspirasi-film-disney/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar