Deraldy sadar betul dengan perubahan yang ada pada diri Lysna – istri yang sangat ia cintai. Namun ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Semua ini mulai terjadi tepat dua bulan yang lalu, saat Indonesia sedang gencar-gencarnya melawan ancaman kelompok teroris kelas kakap yang telah bersembunyi selama bertahun-tahun. Pemerintah akhirnya mengadopsi satu kebijakan dari luar negeri, yaitu keharusan bagi anak laki-laki sehat jasmani dan rohani yang menginjak usia 20 tahun untuk mengikuti wajib militer untuk antisipasi jika adanya serangan dadakan dari kelompok tersebut.
Waktu itu anak mereka satu-satunya, Nelson, belum
lama menginjak usia 20 tahun. Tentu keputusan ini adalah pukulan berat bagi
Lysna sebagai seorang ibu. Bersamaan dengan berangkatnya putra mereka, Lysna
tak pernah ingin meninggalkan kamarnya. Ia hanya berlutut di samping tempat
tidur, berdoa. Keadaan sang istri yang memprihatinkan, membuatnya sering kali
mengingat kembali keadaan mereka dulu. Berpuluh-puluh tahun yang lalu.
Dua puluh sembilan tahun yang lalu, sewaktu
Deraldy dan Lysna pertama kali bertemu di kampus. Mereka adalah mahasiswa baru
yang sedang menjalani masa bimbingan jurusan kala itu. Pertemuan mereka tak
berjalan mulus seperti cerita-cerita romansa yang sering digunakan, seperti
jatuh cinta pada pandangan pertama ataupun pertolongan dari pria yang membuat
wanita luluh.
Pertemuan pertama mereka dapat dikatakan adalah
pertemuan yang sebagian orang akan menganggapnya sebagai awal dari permusuhan.
Deraldy yang saat itu memiliki kondisi tubuh kurang baik, jatuh sakit selama dua
minggu pertama masa bimbingan. Tekanan dari kakak-kakak tingkat membuat Lysna
geram dengan sikap Deraldy yang tak pernah mengabari siapapun sama sekali. Dia
selalu menghindar jika dicari. Bahkan sekadar membalas pesan dari yang lain pun
tidak. Bukannya Lysna tak peduli dengan keberadaan Deraldy, tapi ia tidak
pernah suka jika kepeduliannya dipaksakan.
Hingga akhirnya, keadaan membuat Lysna mau tak
mau juga harus ikut campur dalam mencari Deraldy. Selain karena mabim – masa
bimbingan, kelas ekonomi – kebetulan mereka berada di kelas yang sama – yang
wajib mereka ikuti adalah alasan lain Lysna untuk mengirim pesan padanya.
“Hey! Lu sudah 3 kali tidak ikut kelas
ekonomi,” tulisnya. Lysna sendiri tak berharap banyak dari pesan yang ia
kirimkan. Ia hanya ingin laki-laki ini untuk segera masuk paling tidak untuk
kuliah, sehingga ia tak perlu terlalu banyak ikut campur dalam mencari dirinya.
Namun siapa sangka, pesan itu adalah awal kedekatan mereka. Tak butuh waktu lama
hingga Deraldy menjawab pesannya. Dan setelahnya, ia tak menjadi sosok yang
suka menghilang lagi meskipun masih mencari berbagai cara untuk menghindari
mabim.
Satu tahun setelahnya. Lysna menyadari sosok
Deraldy yang mengagumkan baginya. Dan di sisi lain, Deraldy pun menyadari
kebaikan hati Lysna selama ini meski pada awalnya tidak menyukai sosoknya
karena perilaku menyebalkannya. Perlahan, mereka mulai saling bergantung satu
sama lain hingga akhirnya setuju untuk menjalin hubungan serius.
Dua puluh empat tahun yang lalu, saat Deraldy
akhirnya memberanikan diri untuk meminang Lysna. Bukan perkara mudah untuknya
mendapatkan restu dari orang tua Lysna meski mereka sudah menjalin hubungan cukup
lama. Namun pada akhirnya, perjuangan mereka membuahkan hasil. Pernikahan
mereka diselenggarakan sederhana, dengan para keluarga besar dan teman-teman
dekat. Dan mereka mengawali pernikahan dengan honeymoon ke daerah yang
sangat ingin mereka kunjungi sedari lama.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika akhirnya
mereka memutuskan untuk memiliki momongan. Masa-masa itu terbilang masa yang
sangat berat bagi Lysna. Tenaganya terkuras banyak di awal masa kehamilannya.
Perutnya tak mau bekerja sama soal makanan. Ia akan langsung muntah begitu
mendeteksi bau makanan. Kondisinya sangat lemah hingga ia harus sering
mengambil hari cuti. Keadaan ini berlangsung hingga kandungannya menginjak usia
tiga bulan. Setelahnya, kondisi Lysna mulai membaik. Ia mulai bisa makan bahkan
mulai memiliki keinginan makan sesuatu yang spesifik, atau yang biasa dikenal ngidam.
Deraldy paham betul masa-masa itu adalah masa
yang sangat penting bagi Lysna untuk terus mendapat perhatian dan pengertian
darinya sebagai seorang suami. Ia pun tak pernah benar-benar meninggalkan Lysna
sendirian walau mereka bekerja di tempat yang berbeda. Ia akan menyempatkan
diri untuk berkunjung ke tempat kerja istrinya jika memiliki waktu luang. Pada
awalnya, ia pernah meminta keringanan kepada atasannya untuk dapat bekerja dari
rumah sehingga ia lebih leluasa jika istrinya membutuhkan dirinya. Namun
sayangnya, pengajuannya hanya di setujui untuk satu bulan pertama.
Waktu kelahiran putranya adalah kejadian yang
takkan pernah Deraldy lupakan di seumur hidupnya. Saat itu ia hampir kehilangan
mereka berdua. Tubuh Lysna yang sangat lemah dari awal kehamilan hampir tak
menyimpan cukup tenaga untuk meneruskan kehamilannya hingga bulan ke sembilan,
ditambah ia mengalami pendarahan yang cukup parah setelah melahirkan. Di sisi
lain, putranya yang lahir prematur memiliki berat yang belum mencukupi sehingga
harus dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit).
Setiap malam selama masa perawatan di rumah
sakit, Deraldy memanjatkan doa memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa untuk
dua anggota keluarganya tersebut. Syukurlah Tuhan mengabulkan doanya. Seminggu
setelahnya, Lysna dan bayinya diperbolehkan untuk pulang.
Deraldy kembali mengingat saat Nelson pertama
kali bisa berjalan dengan baik. Waktu itu ia baru pulang dari bekerja dan ia
mendapat sambutan dari putranya yang berjalan agak cepat ke arahnya sambil
menunjukkan gigi-gigi mungilnya. Lysna yang berada di belakang Nelson pun ikut
menghampiri suaminya dengan senyum yang lebar.
Saat Nelson mengucapkan kata pertamanya. Yang
keluar dari mulutnya bukan kata mama seperti anak kebanyakan, melainkan mapa
yang seakan-akan ia memanggil kedua orang tuanya sekaligus. Hal ini begitu
membuat haru Deraldy dan Lysna.
Ingatan Deraldy kembali berputar ke saat Nelson
pertama kali menginjakkan kaki ke tempat bernama sekolah. Siapa sangka Nelson
adalah anak yang sangat berani dan cerdas. Semua teman-temannya menyukai
keberadaannya. Baik laki-laki maupun perempuan.
Perlahan, Nelson tumbuh menjadi laki-laki yang
bijaksana. Ia begitu menghormati kedua orang tuanya, keluarga besarnya,
guru-gurunya, dan para temannya – terutama perempuan. Deraldy ingat saat Lysna
tiba-tiba berlari sambil menangis kepadanya sore itu.
“Nelson!” teriaknya. “Aku dapat telepon katanya
dia ada di kantor polisi!”
Seperti sebuah pukulan yang tepat mengenai
jantungnya, Deraldy membeku untuk sesaat. Namun ketika sampai di kantor polisi,
ternyata kabar yang mereka dengar jauh lebih baik dari yang diperkirakan.
“Terima kasih kepada anak kalian. Karenanya
kami dapat dengan mudah menangkap pelaku kejahatan,” salah seorang polisi
menjelaskan.
Mereka sangat lega mendengarnya. Lysna langsung
mendekap erat anak semata wayangnya dan Deraldy menepuk pundak gagah putranya.
Mereka bertiga pulang dengan senyum hangat.
Kemudian saat Nelson akhirnya mendapat beasiswa
untuk meneruskan pendidikannya di salah satu universitas ternama yang mana
adalah kampus impiannya. Hal ini membuat Deraldy dan Lysna sangat senang
sekaligus haru. Mereka tak pernah berharap lebih pada putranya selain sehat dan
bahagia akan hidupnya. Sayang, sebelum dapat menginjakkan kaki di kampus
impiannya, Nelson harus mengangkat kaki dari sini untuk mengemban tugas
pemerintah.
Mata Deraldy menatap jam di dinding yang
menunjukkan pukul tujuh malam, lalu melihat istrinya, Lysna, yang sedari tadi
masih berlutut melantunkan doa-doa. Ia menghampiri istrinya dan mengelus kedua
pundaknya.
“Lys,” panggilnya. “Kau belum makan dari
kemarin. Sudah dua bulan kau pun tidak makan dengan benar. Aku tahu kau sangat
kuatir dengan putra kita, tapi kau sendiri juga harus sehat untuk menyambut
kembali kepulangannya. Ayo.”
Lysna tak menjawab apapun. Ia masih fokus dalam
doanya. Deraldy menghela napas panjang. “Lys –”
“Aku mohon, Ral!” potong Lysna dengan agak
meninggikan nadanya. “Aku mohon… tak ada yang bisa kulakukan lagi… aku hanya
ingin putra kita segera pulang dengan selamat,” lanjutnya disertai isak tangis.
Deraldy memeluk istrinya yang rapuh. “Aku tak
pernah melarangmu untuk berdoa. Jika kau mau berdoa untuk putra kita, aku akan
ikut serta. Aku pun ingin putra kita segera pulang dengan selamat. Tapi tolong,
perhatikan dirimu juga. Kapan terakhir kali kau benar-benar membersihkan
dirimu? Pria di keluarga ini takkan berarti apa-apa jika tanpa wanita hebat
sepertimu. Aku juga mohon padamu.”
Malam itu, Lysna tidur dengan perut kosong
setelah menangis tersedu-sedu untuk kesekian kalinya selama dua bulan terakhir.
Deraldy kembali ke ruang tamu menyelesaikan pekerjaan rumah yang sempat ia
tinggalkan untuk membujuk istrinya. Selama dua bulan ini juga, pekerjaan rumah
Deraldy yang melakukannya setelah pulang dari pekerjaannya. Mulai dari menyapu,
mengepel, mencuci pakaian, hingga menjemur dan menyetrikanya. Ini karena
kondisi Lysna yang tak pernah mau meninggalkan kamar.
Keesokan siangnya – hari Minggu, Deraldy yang baru
terbangun dari tidurnya, dikejutkan dengan menghilangnya Lysna dari sampingnya.
Ia bergegas keluar dari kamar dan mencari istrinya. “Lys!” panggilnya.
“Lysnaa!”
“Iya, iya, ada apa? Kenapa kau berteriak
memanggilku? Kita ada di rumah yang sama,” sahut Lysna sembari keluar dari
kamar mandi dengan mengenakan bathrobe kesukaannya dan menghampiri
suaminya di depan kamar.
Deraldy menatap istrinya dengan tatapan kurang
percaya. Ia mendekati istrinya secara perlahan, menyentuh pundaknya, dan kemudian
memeluknya dengan erat. Lysna membalas pelukan suaminya yang tiba-tiba.
“Maaf merepotkanmu selama dua bulan ini,” ucapnya
pelan dan dibalas oleh Deraldy dengan gelengan. Selama beberapa lama, Deraldy
tak mau melepas pelukannya seakan baru bertemu istrinya untuk yang pertama kali
setelah lama berpisah.
“Sudah, sudah. Kau mandilah, setelah itu makan.
Aku sudah masak makanan kesukaanmu.”
“Iya,” balasnya.
Setelah sekian lama, akhirnya Deraldy kembali
merasakan masakan istrinya yang sangat ia rindukan. Ia melahapnya dengan
antusias. Hal ini membuat istrinya tersenyum.
“Pelan-pelan saja makannya, mereka takkan basi
hanya dalam beberapa menit.”
“Uhuk, uhuk….”
“Nah, kan! Sudah kubilang,” ucap Lysna sambil
menyodorkan segelas air. Deraldy dengan sigap meminum air yang diberikan
istrinya dan kembali melahap makanannya. Lysna tersenyum meperhatikan suaminya
dalam hening dengan mangkuk nasi di satu tangan dan sendok di tangan lain, lalu
larut dalam pikirannya.
“Kenapa kau tidak makan? Apa yang kau
pikirkan?”
Lysna tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia
perlahan meletakkan peralatan makannya dan mengambil napas panjang.
“Tentang pekerjaanku… aku… sudah telepon ke
kantor… dan mereka bilang… sudah merekrut orang baru selama aku tidak ada. Jadi
aku perlu mencari pekerjaan baru, tapi….”
“Tapi kau tidak merasa ingin bekerja dulu?”
“Bukan maksudku untuk membiarkanmu bekerja
sendiri, aku hanya –”
“Tidak apa-apa,” Deraldy menyela. “Aku
mengerti. Gunakanlah waktumu. Katakanlah saat kau siap. Akan kubantu sebisaku.”
“Terima kasih.”
Lysna tersenyum. Ia selalu bersyukur karena
merasa menikah dengan pria yang tepat. Setiap keputusan yang dia ambil selalu
didukung dengan baik oleh suaminya. Tak ada yang lebih dia harapkan lagi selain
keluarga bahagianya kembali berkumpul.
Lysna melakukan rutinitasnya seperti yang sudah
ia lakukan selama berminggu-minggu. Semua masih sama, sepi tanpa kehadiran
kedua pria perkasanya meski rumahnya terletak di pinggir jalan raya. Untuk
sementara ia memandang langit biru dari teras dan hendak kembali ke dalam saat
seorang tukang pos memberi salam dari depan pagar rumahnya.
“Maaf dengan kediaman Pak Deraldy Prawidhata?”
“Iya, saya istrinya.”
“Ini ada surat untuk Anda dan Pak Deraldy.”
Lysna menggapai surat itu sembari mengucapkan
terima kasih kepada tukang pos. Di saat bersamaan, Deraldy baru kembali dari
pekerjaannya.
“Surat dari siapa?” tanyanya.
“Entah, tidak ada nama pengirimnya.”
Lysna jatuh tersungkur begitu melihat isi surat
yang ia buka. Dan suaminya, Deraldy, juga tak bisa menyembunyikan kesedihannya.
Surat itu berisikan pernyataan bahwa putra mereka telah tewas saat menjalankan
tugas.
Deraldy berdiri di tepi jurang, menatap lurus ke depan, ke arah di mana laut dan langit biru terlihat menyatu. Ia menghapus air matanya yang sempat menetes di pipinya dan menghela napas. Ia tak menyangka hari di mana ia dan istrinya menangis hebat telah berlalu menjadi memori masa lampau bertahun-tahun yang lalu.
“Siapa yang menyangka setelah mamamu menangis
semalaman, kau pulang dalam keadaan sehat besoknya. Dan mamamu masih juga tidak
berhenti menangis setelah melihatmu, seakan-akan tak percaya dengan matanya.”
“Iya, itu pertama kalinya aku melihat mama
menangis seperti itu. Akhirnya aku ikutan menangis melihat mama menangis. Jika
bukan karena dompetku dan dompet temanku yang dibilang mirip denganku tertukar,
hal itu takkan terjadi.”
“Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Mari kita
tabur abunya ke laut. Anak dan istrimu sudah menunggu dari tadi.”
“Baik Pa,” jawab Nelson.
Deraldy menabur abu istri tercintanya dengan
tangannya yang sudah keriput dan tak sekuat dulu lagi. Memori bersama istrinya
kembali terputar di benaknya. Ia tak pernah menyesal sama sekali karena
menikahi Lysna.
“Sampai jumpa, Lys. Terima kasih. Kau wanita
yang sempurna untukku.”
pic src: https://medium.com/hyggelig/everything-is-temporary-d97a853bbffc
Tidak ada komentar:
Posting Komentar