Cari

15 Juni 2022

Nunc Iter (Perjalanan Waktu)

 


Deraldy sadar betul dengan perubahan yang ada pada diri Lysna – istri yang sangat ia cintai. Namun ia sendiri tak bisa berbuat banyak. Semua ini mulai terjadi tepat dua bulan yang lalu, saat Indonesia sedang gencar-gencarnya melawan ancaman kelompok teroris kelas kakap yang telah bersembunyi selama bertahun-tahun. Pemerintah akhirnya mengadopsi satu kebijakan dari luar negeri, yaitu keharusan bagi anak laki-laki sehat jasmani dan rohani yang menginjak usia 20 tahun untuk mengikuti wajib militer untuk antisipasi jika adanya serangan dadakan dari kelompok tersebut.

Waktu itu anak mereka satu-satunya, Nelson, belum lama menginjak usia 20 tahun. Tentu keputusan ini adalah pukulan berat bagi Lysna sebagai seorang ibu. Bersamaan dengan berangkatnya putra mereka, Lysna tak pernah ingin meninggalkan kamarnya. Ia hanya berlutut di samping tempat tidur, berdoa. Keadaan sang istri yang memprihatinkan, membuatnya sering kali mengingat kembali keadaan mereka dulu. Berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Dua puluh sembilan tahun yang lalu, sewaktu Deraldy dan Lysna pertama kali bertemu di kampus. Mereka adalah mahasiswa baru yang sedang menjalani masa bimbingan jurusan kala itu. Pertemuan mereka tak berjalan mulus seperti cerita-cerita romansa yang sering digunakan, seperti jatuh cinta pada pandangan pertama ataupun pertolongan dari pria yang membuat wanita luluh.

Pertemuan pertama mereka dapat dikatakan adalah pertemuan yang sebagian orang akan menganggapnya sebagai awal dari permusuhan. Deraldy yang saat itu memiliki kondisi tubuh kurang baik, jatuh sakit selama dua minggu pertama masa bimbingan. Tekanan dari kakak-kakak tingkat membuat Lysna geram dengan sikap Deraldy yang tak pernah mengabari siapapun sama sekali. Dia selalu menghindar jika dicari. Bahkan sekadar membalas pesan dari yang lain pun tidak. Bukannya Lysna tak peduli dengan keberadaan Deraldy, tapi ia tidak pernah suka jika kepeduliannya dipaksakan.

Hingga akhirnya, keadaan membuat Lysna mau tak mau juga harus ikut campur dalam mencari Deraldy. Selain karena mabim – masa bimbingan, kelas ekonomi – kebetulan mereka berada di kelas yang sama – yang wajib mereka ikuti adalah alasan lain Lysna untuk mengirim pesan padanya.

“Hey! Lu sudah 3 kali tidak ikut kelas ekonomi,” tulisnya. Lysna sendiri tak berharap banyak dari pesan yang ia kirimkan. Ia hanya ingin laki-laki ini untuk segera masuk paling tidak untuk kuliah, sehingga ia tak perlu terlalu banyak ikut campur dalam mencari dirinya. Namun siapa sangka, pesan itu adalah awal kedekatan mereka. Tak butuh waktu lama hingga Deraldy menjawab pesannya. Dan setelahnya, ia tak menjadi sosok yang suka menghilang lagi meskipun masih mencari berbagai cara untuk menghindari mabim.

Satu tahun setelahnya. Lysna menyadari sosok Deraldy yang mengagumkan baginya. Dan di sisi lain, Deraldy pun menyadari kebaikan hati Lysna selama ini meski pada awalnya tidak menyukai sosoknya karena perilaku menyebalkannya. Perlahan, mereka mulai saling bergantung satu sama lain hingga akhirnya setuju untuk menjalin hubungan serius.

Dua puluh empat tahun yang lalu, saat Deraldy akhirnya memberanikan diri untuk meminang Lysna. Bukan perkara mudah untuknya mendapatkan restu dari orang tua Lysna meski mereka sudah menjalin hubungan cukup lama. Namun pada akhirnya, perjuangan mereka membuahkan hasil. Pernikahan mereka diselenggarakan sederhana, dengan para keluarga besar dan teman-teman dekat. Dan mereka mengawali pernikahan dengan honeymoon ke daerah yang sangat ingin mereka kunjungi sedari lama.

Dua puluh tahun yang lalu, ketika akhirnya mereka memutuskan untuk memiliki momongan. Masa-masa itu terbilang masa yang sangat berat bagi Lysna. Tenaganya terkuras banyak di awal masa kehamilannya. Perutnya tak mau bekerja sama soal makanan. Ia akan langsung muntah begitu mendeteksi bau makanan. Kondisinya sangat lemah hingga ia harus sering mengambil hari cuti. Keadaan ini berlangsung hingga kandungannya menginjak usia tiga bulan. Setelahnya, kondisi Lysna mulai membaik. Ia mulai bisa makan bahkan mulai memiliki keinginan makan sesuatu yang spesifik, atau yang biasa dikenal ngidam.

Deraldy paham betul masa-masa itu adalah masa yang sangat penting bagi Lysna untuk terus mendapat perhatian dan pengertian darinya sebagai seorang suami. Ia pun tak pernah benar-benar meninggalkan Lysna sendirian walau mereka bekerja di tempat yang berbeda. Ia akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat kerja istrinya jika memiliki waktu luang. Pada awalnya, ia pernah meminta keringanan kepada atasannya untuk dapat bekerja dari rumah sehingga ia lebih leluasa jika istrinya membutuhkan dirinya. Namun sayangnya, pengajuannya hanya di setujui untuk satu bulan pertama.

Waktu kelahiran putranya adalah kejadian yang takkan pernah Deraldy lupakan di seumur hidupnya. Saat itu ia hampir kehilangan mereka berdua. Tubuh Lysna yang sangat lemah dari awal kehamilan hampir tak menyimpan cukup tenaga untuk meneruskan kehamilannya hingga bulan ke sembilan, ditambah ia mengalami pendarahan yang cukup parah setelah melahirkan. Di sisi lain, putranya yang lahir prematur memiliki berat yang belum mencukupi sehingga harus dirawat di NICU (Neonatal Intensive Care Unit).

Setiap malam selama masa perawatan di rumah sakit, Deraldy memanjatkan doa memohon perlindungan dari Yang Maha Kuasa untuk dua anggota keluarganya tersebut. Syukurlah Tuhan mengabulkan doanya. Seminggu setelahnya, Lysna dan bayinya diperbolehkan untuk pulang.

Deraldy kembali mengingat saat Nelson pertama kali bisa berjalan dengan baik. Waktu itu ia baru pulang dari bekerja dan ia mendapat sambutan dari putranya yang berjalan agak cepat ke arahnya sambil menunjukkan gigi-gigi mungilnya. Lysna yang berada di belakang Nelson pun ikut menghampiri suaminya dengan senyum yang lebar.

Saat Nelson mengucapkan kata pertamanya. Yang keluar dari mulutnya bukan kata mama seperti anak kebanyakan, melainkan mapa yang seakan-akan ia memanggil kedua orang tuanya sekaligus. Hal ini begitu membuat haru Deraldy dan Lysna.

Ingatan Deraldy kembali berputar ke saat Nelson pertama kali menginjakkan kaki ke tempat bernama sekolah. Siapa sangka Nelson adalah anak yang sangat berani dan cerdas. Semua teman-temannya menyukai keberadaannya. Baik laki-laki maupun perempuan.

Perlahan, Nelson tumbuh menjadi laki-laki yang bijaksana. Ia begitu menghormati kedua orang tuanya, keluarga besarnya, guru-gurunya, dan para temannya – terutama perempuan. Deraldy ingat saat Lysna tiba-tiba berlari sambil menangis kepadanya sore itu.

“Nelson!” teriaknya. “Aku dapat telepon katanya dia ada di kantor polisi!”

Seperti sebuah pukulan yang tepat mengenai jantungnya, Deraldy membeku untuk sesaat. Namun ketika sampai di kantor polisi, ternyata kabar yang mereka dengar jauh lebih baik dari yang diperkirakan.

“Terima kasih kepada anak kalian. Karenanya kami dapat dengan mudah menangkap pelaku kejahatan,” salah seorang polisi menjelaskan.

Mereka sangat lega mendengarnya. Lysna langsung mendekap erat anak semata wayangnya dan Deraldy menepuk pundak gagah putranya. Mereka bertiga pulang dengan senyum hangat.

Kemudian saat Nelson akhirnya mendapat beasiswa untuk meneruskan pendidikannya di salah satu universitas ternama yang mana adalah kampus impiannya. Hal ini membuat Deraldy dan Lysna sangat senang sekaligus haru. Mereka tak pernah berharap lebih pada putranya selain sehat dan bahagia akan hidupnya. Sayang, sebelum dapat menginjakkan kaki di kampus impiannya, Nelson harus mengangkat kaki dari sini untuk mengemban tugas pemerintah.

Mata Deraldy menatap jam di dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam, lalu melihat istrinya, Lysna, yang sedari tadi masih berlutut melantunkan doa-doa. Ia menghampiri istrinya dan mengelus kedua pundaknya.

“Lys,” panggilnya. “Kau belum makan dari kemarin. Sudah dua bulan kau pun tidak makan dengan benar. Aku tahu kau sangat kuatir dengan putra kita, tapi kau sendiri juga harus sehat untuk menyambut kembali kepulangannya. Ayo.”

Lysna tak menjawab apapun. Ia masih fokus dalam doanya. Deraldy menghela napas panjang. “Lys –”

“Aku mohon, Ral!” potong Lysna dengan agak meninggikan nadanya. “Aku mohon… tak ada yang bisa kulakukan lagi… aku hanya ingin putra kita segera pulang dengan selamat,” lanjutnya disertai isak tangis.

Deraldy memeluk istrinya yang rapuh. “Aku tak pernah melarangmu untuk berdoa. Jika kau mau berdoa untuk putra kita, aku akan ikut serta. Aku pun ingin putra kita segera pulang dengan selamat. Tapi tolong, perhatikan dirimu juga. Kapan terakhir kali kau benar-benar membersihkan dirimu? Pria di keluarga ini takkan berarti apa-apa jika tanpa wanita hebat sepertimu. Aku juga mohon padamu.”

Malam itu, Lysna tidur dengan perut kosong setelah menangis tersedu-sedu untuk kesekian kalinya selama dua bulan terakhir. Deraldy kembali ke ruang tamu menyelesaikan pekerjaan rumah yang sempat ia tinggalkan untuk membujuk istrinya. Selama dua bulan ini juga, pekerjaan rumah Deraldy yang melakukannya setelah pulang dari pekerjaannya. Mulai dari menyapu, mengepel, mencuci pakaian, hingga menjemur dan menyetrikanya. Ini karena kondisi Lysna yang tak pernah mau meninggalkan kamar.

Keesokan siangnya – hari Minggu, Deraldy yang baru terbangun dari tidurnya, dikejutkan dengan menghilangnya Lysna dari sampingnya. Ia bergegas keluar dari kamar dan mencari istrinya. “Lys!” panggilnya. “Lysnaa!”

“Iya, iya, ada apa? Kenapa kau berteriak memanggilku? Kita ada di rumah yang sama,” sahut Lysna sembari keluar dari kamar mandi dengan mengenakan bathrobe kesukaannya dan menghampiri suaminya di depan kamar.

Deraldy menatap istrinya dengan tatapan kurang percaya. Ia mendekati istrinya secara perlahan, menyentuh pundaknya, dan kemudian memeluknya dengan erat. Lysna membalas pelukan suaminya yang tiba-tiba.

“Maaf merepotkanmu selama dua bulan ini,” ucapnya pelan dan dibalas oleh Deraldy dengan gelengan. Selama beberapa lama, Deraldy tak mau melepas pelukannya seakan baru bertemu istrinya untuk yang pertama kali setelah lama berpisah.

“Sudah, sudah. Kau mandilah, setelah itu makan. Aku sudah masak makanan kesukaanmu.”

“Iya,” balasnya.

Setelah sekian lama, akhirnya Deraldy kembali merasakan masakan istrinya yang sangat ia rindukan. Ia melahapnya dengan antusias. Hal ini membuat istrinya tersenyum.

“Pelan-pelan saja makannya, mereka takkan basi hanya dalam beberapa menit.”

“Uhuk, uhuk….”

“Nah, kan! Sudah kubilang,” ucap Lysna sambil menyodorkan segelas air. Deraldy dengan sigap meminum air yang diberikan istrinya dan kembali melahap makanannya. Lysna tersenyum meperhatikan suaminya dalam hening dengan mangkuk nasi di satu tangan dan sendok di tangan lain, lalu larut dalam pikirannya.

“Kenapa kau tidak makan? Apa yang kau pikirkan?”

Lysna tak langsung menjawab pertanyaan itu. Ia perlahan meletakkan peralatan makannya dan mengambil napas panjang.

“Tentang pekerjaanku… aku… sudah telepon ke kantor… dan mereka bilang… sudah merekrut orang baru selama aku tidak ada. Jadi aku perlu mencari pekerjaan baru, tapi….”

“Tapi kau tidak merasa ingin bekerja dulu?”

“Bukan maksudku untuk membiarkanmu bekerja sendiri, aku hanya –”

“Tidak apa-apa,” Deraldy menyela. “Aku mengerti. Gunakanlah waktumu. Katakanlah saat kau siap. Akan kubantu sebisaku.”

“Terima kasih.”

Lysna tersenyum. Ia selalu bersyukur karena merasa menikah dengan pria yang tepat. Setiap keputusan yang dia ambil selalu didukung dengan baik oleh suaminya. Tak ada yang lebih dia harapkan lagi selain keluarga bahagianya kembali berkumpul.

Lysna melakukan rutinitasnya seperti yang sudah ia lakukan selama berminggu-minggu. Semua masih sama, sepi tanpa kehadiran kedua pria perkasanya meski rumahnya terletak di pinggir jalan raya. Untuk sementara ia memandang langit biru dari teras dan hendak kembali ke dalam saat seorang tukang pos memberi salam dari depan pagar rumahnya.

“Maaf dengan kediaman Pak Deraldy Prawidhata?”

“Iya, saya istrinya.”

“Ini ada surat untuk Anda dan Pak Deraldy.”

Lysna menggapai surat itu sembari mengucapkan terima kasih kepada tukang pos. Di saat bersamaan, Deraldy baru kembali dari pekerjaannya.

“Surat dari siapa?” tanyanya.

“Entah, tidak ada nama pengirimnya.”

Lysna jatuh tersungkur begitu melihat isi surat yang ia buka. Dan suaminya, Deraldy, juga tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Surat itu berisikan pernyataan bahwa putra mereka telah tewas saat menjalankan tugas.

Deraldy berdiri di tepi jurang, menatap lurus ke depan, ke arah di mana laut dan langit biru terlihat menyatu. Ia menghapus air matanya yang sempat menetes di pipinya dan menghela napas. Ia tak menyangka hari di mana ia dan istrinya menangis hebat telah berlalu menjadi memori masa lampau bertahun-tahun yang lalu.

“Siapa yang menyangka setelah mamamu menangis semalaman, kau pulang dalam keadaan sehat besoknya. Dan mamamu masih juga tidak berhenti menangis setelah melihatmu, seakan-akan tak percaya dengan matanya.”

“Iya, itu pertama kalinya aku melihat mama menangis seperti itu. Akhirnya aku ikutan menangis melihat mama menangis. Jika bukan karena dompetku dan dompet temanku yang dibilang mirip denganku tertukar, hal itu takkan terjadi.”

“Yang sudah berlalu biarlah berlalu. Mari kita tabur abunya ke laut. Anak dan istrimu sudah menunggu dari tadi.”

“Baik Pa,” jawab Nelson.

Deraldy menabur abu istri tercintanya dengan tangannya yang sudah keriput dan tak sekuat dulu lagi. Memori bersama istrinya kembali terputar di benaknya. Ia tak pernah menyesal sama sekali karena menikahi Lysna.

“Sampai jumpa, Lys. Terima kasih. Kau wanita yang sempurna untukku.”


pic src: https://medium.com/hyggelig/everything-is-temporary-d97a853bbffc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar