Biip… Biip…
Suara alarm membangunkanku dari tidur. Kugapai dengan tanganku yang sangat lemah seakan-akan akan lepas dari tubuhku. Sudah beberapa hari keadaanku kurang baik, kepala sakit, badan panas, dan mata berkunang-kunang. Aku tidak tahu apa itu karena adaptasi dengan lingkungan baru atau aku yang kurang menjaga kebersihan kos dan diriku sendiri? Padahal saat itu adalah awal aku memulai kehidupan perkuliahan. Di minggu pertama, aku sibuk mempersiapkan diri untuk ujian masuk sekolah tinggi di kota lain sehingga tak dapat hadir.
Kuraih ponsel di samping tempat tidurku, melihat jam yang
telah menunjukkan pukul 7.30 pagi. Kuingat kelasku dimulai jam 7 pagi. Karena
kondisiku juga yang kurang memungkinkan, hari itu kuputuskan untuk kembali
beristirahat. Untunglah aku membawa beberapa makanan kering sehingga kutak
perlu susah payah membeli lagi di luar.
Beberapa hari setelahnya, tubuhku sudah jauh lebih pulih.
Kurasa aku dapat mulai masuk kembali di hari Seninnya lagi. Namun begitu
kulihat semua pesan Line
yang masuk ke ponselku membuatku geram. OSPEK, siapa yang tak tahu OSPEK? Semua
sudah mengetahui masa-masa awal perkenalan setiap jenjang pendidikan. Aku tahu
kalau aku sudah dicari sejak OSPEK pertama, tapi dari sekian banyak orang
angkatan di prodiku, apa hanya itu yang kalian pedulikan?!
Kubiarkan seluruh pesan itu, bahkan beberapa di antaranya
tak kubaca lagi. Sampai di hari Senin, semua ber-“gembira” melihat
kedatanganku. Seakan-akan aku telah bangkit dari koma berminggu-minggu. Tentu
saja, semua akan sibuk memintaku untuk membantu mereka memenuhi salah satu
tugas OSPEK mengenai angkatan. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengiyakan
ajakan mereka. Dalam hati, aku geram dengan semua itu. Senyum-senyum palsu
hanya agar aku mengikuti mereka.
Begitu kelas
selesai, aku ingin segera kembali ke kamar kos. Keinginanku untuk
bersosialisasi dengan mereka sirna. Namun, aku langsung ditarik untuk mengikuti
mereka berdiskusi mengenai apa yang terjadi di OSPEK yang tak kuikuti kemarin.
Aku tak tahu apa lagi yang mereka katakan, yang kuingin hanya segera kembali.
Berlanjut
keesokan harinya. Saat jam menunjukkan pukul tiga waktu subuh, aku dibangunkan
oleh sebuah suara. Tidak, itu bukan suara tangisan, cekikikan, atau pun bisikan
yang biasa diceritakan dalam cerita horror. AC kamarku bocor. Of course,
suara apalagi yang lebih baik untuk dapat mengganggu tidurku.
Segera
kubangun dari kasur dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil ember yang sedang
tak kugunakan. Kuletakan di bawah titik bocor itu berada. Kemudian aku berjalan
menuju wastafel untuk mencuci tangan. Dan apa yang terjadi setelahnya, membuat
awal hariku sempurna. Wastafelku pun ikut-ikutan bocor, bukan hanya kerannya
saja tapi juga pipa di bawahnya.
“OF COURSE!
Apalagi yang tidak lebih baik dari pada ini?!”
Awal hari
yang sangat buruk, membuatku tak memiliki semangat sama sekali untuk berkuliah.
Dan itu berlangsung selama seminggu kemudian.
Aku membuka
mataku perlahan, melawan rasa kantuk yang masih tersisa. Waktu menunjukkan
pukul satu siang. Kugapai ponselku, kembali kulihat isi pesan yang sama setiap
menyalakannya. Namun, ada satu pesan yang menarik perhatianku.
“Kau di
mana? Kau sudah tidak masuk tiga kali di matkul ini!” tulisnya.
Pesan itu
menyadarkanku. Aku tak sepantasnya meninggalkan kuliah hanya karena kesal
dengan semua pesan-pesan itu. Segera kubalas dengan singkat, “Ah, iya iya.”
Setelahnya
kuletakan kembali ponselku ke meja dan bangkit dari kasur. Layar ponselku
menyala begitu kutinggalkan. Aku tahu, pasti dia yang membalasnya tapi tak
kubalas lagi.
Aku mulai
kembali masuk minggu depannya, saat mata kuliah yang telah diperingatkan. Dan
di sana, aku melihat langsung siapa yang mengirimku pesan “peringatan” itu.
Bukan orang yang luar biasa, hanya gadis pada umumnya. Akan tetapi ada sesuatu
yang berbeda dari dirinya yang membuatku ingin terus bersamanya dan kawannya
yang lain.
Untunglah
kelas kami dipisah-pisahkan, sehingga kutak perlu bertemu dengan mereka-mereka
yang selalu mengirimiku pesan yang sama terus-menerus.
“Kelasnya
di mana?” tanyaku pada orang yang memperingatiku, Serfina, melalui pesan Line
saat baru tiba di lokasi kampus.
“Ruang
XXXX, kutunggu di depan pintu,” balasnya cepat.
Butuh waktu
cukup lama untukku menemukan ruangan tersebut karena bentuk gedungnya yang melingkar.
Dan aku langsung menyadari keberadaannya yang berdiri sendirian di lorong redup
itu.
“Ooh, jadi
ini Jacki. Aku Serfina,” sapanya begitu berhadapan denganku. “Ayo, masuk! Kau
hampir terlambat.”
Karena mata
kuliah ini merupakan lintas fakultas dari prodi kami, sehingga kami memilih
untuk berkumpul di satu titik di bagian belakang kelas – tentu saja alasan
utamanya adalah agar terhindar dari pertanyaan dosen.
Selama
kelas, tak ada satupun dari mereka – total ada empat orang termasuk diriku – yang
berbicara menyangkut OSPEK. Selain dari Serfina yang terus menusukku dari
belakang hanya untuk bertanya tulisan apa yang ada di depan, karena matanya
memiliki miopi yang cukup tinggi.
Kelas
berakhir dengan kepalaku yang tak terisi apa-apa. Kala itu aku berusaha mencerna
materi kelas, Serfina menepuk pundakku dan bertanya, “Kau ke mana setelah ini? Kami
mau ke bank untuk mengurus ATM kampus. Kau sudah mengurus ATM-mu? Bank apa?”
“Palingan
kembali ke kos. Belum. Bank YYY,” jawabku singkat.
“Benarkah?
Itu sama dengan kami. Mau ikut?”
Aku
berpikir sejenak. Tak ada yang salah dari ajakannya dan aku pun sudah lama
merindukan interaksi dengan teman sebaya. Selama ini aku berusaha menjaga
kewarasanku dengan berinteraksi dengan siapa pun yang kutemui selama mereka
bukan angkatanku.
“Sudah
berapa lama, ya, sejak terakhir aku berinteraksi seperti ini? Sahabatku pun
sibuk dengan kuliahnya,” ucapku dalam hati.
“Baiklah,
aku ikut.”
Malamnya
setelah aku membersihkan diriku dan makan malam, kubaringkan diriku ke kasur.
Kuhela napas panjang. Kupenjamkan mata secara perlahan. Kesadaranku pun mulai
memudar. Perasaanku kala itu jauh lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Untuk
pertama kalinya, aku merasa seperti bertemu orang normal. Hanya pembicaraan
biasa, tanpa ada hubungannya dengan OSPEK.
“Mungkin
memang sebaiknya aku ikuti saja keinginan mereka agar tidak dikejar seperti
buronan lagi,” pikirku.
Akan
tetapi, semua tak sesuai perkiraan. Akhir pekan, hari di mana OSPEK
dilaksanakan, aku harus kembali ke kota asalku. Salah satu anggota keluargaku
jatuh sakit dan kami harus menjaganya secara bergantian. Dan keadaan ini
berlangsung hingga OSPEK selesai diselenggarakan. Tentu saja keadaan ini sangat
tidak disukai oleh yang lain, yang berakibat bahwa mereka akan selalu dimarahi oleh
divisi keamanan OSPEK. Aku tak mengerti apa gunanya… serasa seperti dewa
kali, ya?
Namun, dari
mereka semua, lagi-lagi Serfina dan kawan-kawannya membuatku terpaku akan
keberadaan mereka. Meski mereka, terutama Serfina, kadang juga mengajakku untuk
mengikuti OSPEK, tapi dia tidak memaksaku seperti yang lainnya. Aku tak perlu
menghabiskan tenaga untuk terus menolak dan menjelaskan alasannya. Walaupun dia
tampak kecewa.
Ada di satu
waktu, kutak ingat apa yang kami lakukan pada siang harinya, namun aku menghabiskan
waktu berbincang dengan Serfina dan semua kawannya dari sore hingga malam. Banyak
hal yang kami bicarakan, walaupun kutak ingat lagi secara spesifik. Dan kala
itu, untuk pertama kalinya, aku tak ingin segera kembali ke kos. Aku ingin
menghabiskan banyak waktu lagi bersama mereka, bersama Serfina.
“Jack? Jacki?
Sedang ke mana pikiranmu?”
“Ah, maaf,
maaf. Sampai di mana tadi?”
“Jaaack!
Ayolah, aku sudah mengulang lebih dari dua kali. Kalau kali ini kau tak
mendengarkanku lagi, aku pergi!”
“Iya, iya,
jangan. Ini aku dengarkan sekarang.”
“Baru
sekarang mau dengarin?!”
“Bukan,
bukan. Sudah, sudah, lanjutkan.”
Serfina
menampilkan wajah cemberutnya, yang menyatakan dia tak senang tapi tak punya
pilihan lain. Aku merasa beruntung bertemu dengannya. Jika saja waktu itu aku
tak bertemu dengannya… tidak, lebih tepatnya jika dia tak mengirimiku pesan itu,
mungkin sekarang aku sudah mencari cara agar segera pergi dari sini. Karena
olehnya, aku merasa… di sini tidak terlalu buruk.
“Kau tahu,
Fina?”
Serfina berhenti
menjelaskan apapun itu yang tak kudengarkan. Ia memandangku penuh tanda tanya
dengan matanya yang bulat dan berkilau seperti bintang. Kuangkat salah satu
tanganku dan mengelus rambutnya lembut seperti sutra. Aku pun bertanya-tanya, “Sejak
kapan aku memusatkan perhatianku padanya?”
“Seberapa
cantiknya dirimu di mataku?” senyumku lebar.
Untuk sejenak, ia terdiam sebelum akhirnya
wajahnya memerah. Namun kemudian, ia memukulku. Aku sontak terkejut dan
menatapnya. Sambil memalingkan wajahnya yang memerah, ia berkata, “Lagi-lagi
kau tak mendengarkanku untuk kesekian kalinya!”
“Apa-apaan
dia?!” teriakku dalam hati. Untunglah hanya ada kami berdua. Jika yang lainnya
dengar, aku tak punya tempat untuk menyimpan wajahku. Aku bukannya tak senang mendengar
perkataannya, hanya saja…, itu terlalu tiba-tiba.
Kuangkat
tangan kananku menutup sebagian wajahku. Kutak tahu seberapa merahnya wajahku
dan aku pun tak mau tahu. Aku memicingkan mata ke arah Jacki.
“Bagaimana
ia bisa terlihat begitu biasa setelah mengatakan hal semacam itu?! Menyebalkan!”
gerutuku dalam hati. Kuambil tasku, bukuku, dan beranjak dari tempatku duduk.
“K-Kau
mau ke mana?’ tanyanya terkejut.
“Sudah
kubilang, kan, sebelumnya. Aku pergi kalau kau tak mendengarkanku lagi,”
jawabku sambil membelakanginya dan mulai berjalan menjauh. Setelah beberapa
langkah, aku membalikkan badan dan melihatnya masih membereskan tasnya dengan
sedikit terburu-buru.
“Kenapa
kau berhenti?” tanyanya menyadari tatapanku.
“Aku tak
pernah bilang bahwa aku akan pergi sendirian.”
“Ha?”
Rasanya
ingin kupukul lagi setelah mendengar balasannya. Akan tetapi, bukan salahnya.
Aku yang memang tidak mengatakannya terus terang, kalau aku selalu ingin terus
bersamanya.
“Kalau
tak bergegas, aku takkan mengembalikan bukumu,” ucapku memperlihatkan bukunya
yang telah terselip di antara buku-bukuku sedari tadi dan kembali berjalan
pelan.
“Ha!
Sejak kapan kamu pegang? Fina, tunggu!”
“Sejak kapan, ya, aku mulai jatuh dalam karismamu?” tanyaku dalam hati sambil tersenyum.
Foto oleh George Pak dari Pexels
Tidak ada komentar:
Posting Komentar