Cari

15 April 2022

Di Antara Mereka

Biip… Biip…

Suara alarm membangunkanku dari tidur. Kugapai dengan tanganku yang sangat lemah seakan-akan akan lepas dari tubuhku. Sudah beberapa hari keadaanku kurang baik, kepala sakit, badan panas, dan mata berkunang-kunang. Aku tidak tahu apa itu karena adaptasi dengan lingkungan baru atau aku yang kurang menjaga kebersihan kos dan diriku sendiri? Padahal saat itu adalah awal aku memulai kehidupan perkuliahan. Di minggu pertama, aku sibuk mempersiapkan diri untuk ujian masuk sekolah tinggi di kota lain sehingga tak dapat hadir.

Kuraih ponsel di samping tempat tidurku, melihat jam yang telah menunjukkan pukul 7.30 pagi. Kuingat kelasku dimulai jam 7 pagi. Karena kondisiku juga yang kurang memungkinkan, hari itu kuputuskan untuk kembali beristirahat. Untunglah aku membawa beberapa makanan kering sehingga kutak perlu susah payah membeli lagi di luar.

Beberapa hari setelahnya, tubuhku sudah jauh lebih pulih. Kurasa aku dapat mulai masuk kembali di hari Seninnya lagi. Namun begitu kulihat semua pesan Line yang masuk ke ponselku membuatku geram. OSPEK, siapa yang tak tahu OSPEK? Semua sudah mengetahui masa-masa awal perkenalan setiap jenjang pendidikan. Aku tahu kalau aku sudah dicari sejak OSPEK pertama, tapi dari sekian banyak orang angkatan di prodiku, apa hanya itu yang kalian pedulikan?!

Kubiarkan seluruh pesan itu, bahkan beberapa di antaranya tak kubaca lagi. Sampai di hari Senin, semua ber-“gembira” melihat kedatanganku. Seakan-akan aku telah bangkit dari koma berminggu-minggu. Tentu saja, semua akan sibuk memintaku untuk membantu mereka memenuhi salah satu tugas OSPEK mengenai angkatan. Aku hanya tersenyum pada mereka dan mengiyakan ajakan mereka. Dalam hati, aku geram dengan semua itu. Senyum-senyum palsu hanya agar aku mengikuti mereka.

Begitu kelas selesai, aku ingin segera kembali ke kamar kos. Keinginanku untuk bersosialisasi dengan mereka sirna. Namun, aku langsung ditarik untuk mengikuti mereka berdiskusi mengenai apa yang terjadi di OSPEK yang tak kuikuti kemarin. Aku tak tahu apa lagi yang mereka katakan, yang kuingin hanya segera kembali.

Berlanjut keesokan harinya. Saat jam menunjukkan pukul tiga waktu subuh, aku dibangunkan oleh sebuah suara. Tidak, itu bukan suara tangisan, cekikikan, atau pun bisikan yang biasa diceritakan dalam cerita horror. AC kamarku bocor. Of course, suara apalagi yang lebih baik untuk dapat mengganggu tidurku.

Segera kubangun dari kasur dan menuju ke kamar mandi untuk mengambil ember yang sedang tak kugunakan. Kuletakan di bawah titik bocor itu berada. Kemudian aku berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Dan apa yang terjadi setelahnya, membuat awal hariku sempurna. Wastafelku pun ikut-ikutan bocor, bukan hanya kerannya saja tapi juga pipa di bawahnya.

“OF COURSE! Apalagi yang tidak lebih baik dari pada ini?!”

Awal hari yang sangat buruk, membuatku tak memiliki semangat sama sekali untuk berkuliah. Dan itu berlangsung selama seminggu kemudian.

Aku membuka mataku perlahan, melawan rasa kantuk yang masih tersisa. Waktu menunjukkan pukul satu siang. Kugapai ponselku, kembali kulihat isi pesan yang sama setiap menyalakannya. Namun, ada satu pesan yang menarik perhatianku.

“Kau di mana? Kau sudah tidak masuk tiga kali di matkul ini!” tulisnya.

Pesan itu menyadarkanku. Aku tak sepantasnya meninggalkan kuliah hanya karena kesal dengan semua pesan-pesan itu. Segera kubalas dengan singkat, “Ah, iya iya.”

Setelahnya kuletakan kembali ponselku ke meja dan bangkit dari kasur. Layar ponselku menyala begitu kutinggalkan. Aku tahu, pasti dia yang membalasnya tapi tak kubalas lagi.

Aku mulai kembali masuk minggu depannya, saat mata kuliah yang telah diperingatkan. Dan di sana, aku melihat langsung siapa yang mengirimku pesan “peringatan” itu. Bukan orang yang luar biasa, hanya gadis pada umumnya. Akan tetapi ada sesuatu yang berbeda dari dirinya yang membuatku ingin terus bersamanya dan kawannya yang lain.

Untunglah kelas kami dipisah-pisahkan, sehingga kutak perlu bertemu dengan mereka-mereka yang selalu mengirimiku pesan yang sama terus-menerus.

“Kelasnya di mana?” tanyaku pada orang yang memperingatiku, Serfina, melalui pesan Line saat baru tiba di lokasi kampus.

“Ruang XXXX, kutunggu di depan pintu,” balasnya cepat.

Butuh waktu cukup lama untukku menemukan ruangan tersebut karena bentuk gedungnya yang melingkar. Dan aku langsung menyadari keberadaannya yang berdiri sendirian di lorong redup itu.

“Ooh, jadi ini Jacki. Aku Serfina,” sapanya begitu berhadapan denganku. “Ayo, masuk! Kau hampir terlambat.”

Karena mata kuliah ini merupakan lintas fakultas dari prodi kami, sehingga kami memilih untuk berkumpul di satu titik di bagian belakang kelas – tentu saja alasan utamanya adalah agar terhindar dari pertanyaan dosen.

Selama kelas, tak ada satupun dari mereka – total ada empat orang termasuk diriku – yang berbicara menyangkut OSPEK. Selain dari Serfina yang terus menusukku dari belakang hanya untuk bertanya tulisan apa yang ada di depan, karena matanya memiliki miopi yang cukup tinggi.

Kelas berakhir dengan kepalaku yang tak terisi apa-apa. Kala itu aku berusaha mencerna materi kelas, Serfina menepuk pundakku dan bertanya, “Kau ke mana setelah ini? Kami mau ke bank untuk mengurus ATM kampus. Kau sudah mengurus ATM-mu? Bank apa?”

“Palingan kembali ke kos. Belum. Bank YYY,” jawabku singkat.

“Benarkah? Itu sama dengan kami. Mau ikut?”

Aku berpikir sejenak. Tak ada yang salah dari ajakannya dan aku pun sudah lama merindukan interaksi dengan teman sebaya. Selama ini aku berusaha menjaga kewarasanku dengan berinteraksi dengan siapa pun yang kutemui selama mereka bukan angkatanku.

“Sudah berapa lama, ya, sejak terakhir aku berinteraksi seperti ini? Sahabatku pun sibuk dengan kuliahnya,” ucapku dalam hati.

“Baiklah, aku ikut.”

Malamnya setelah aku membersihkan diriku dan makan malam, kubaringkan diriku ke kasur. Kuhela napas panjang. Kupenjamkan mata secara perlahan. Kesadaranku pun mulai memudar. Perasaanku kala itu jauh lebih ringan dari hari-hari sebelumnya. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti bertemu orang normal. Hanya pembicaraan biasa, tanpa ada hubungannya dengan OSPEK.

“Mungkin memang sebaiknya aku ikuti saja keinginan mereka agar tidak dikejar seperti buronan lagi,” pikirku.

Akan tetapi, semua tak sesuai perkiraan. Akhir pekan, hari di mana OSPEK dilaksanakan, aku harus kembali ke kota asalku. Salah satu anggota keluargaku jatuh sakit dan kami harus menjaganya secara bergantian. Dan keadaan ini berlangsung hingga OSPEK selesai diselenggarakan. Tentu saja keadaan ini sangat tidak disukai oleh yang lain, yang berakibat bahwa mereka akan selalu dimarahi oleh divisi keamanan OSPEK. Aku tak mengerti apa gunanya… serasa seperti dewa kali, ya?

Namun, dari mereka semua, lagi-lagi Serfina dan kawan-kawannya membuatku terpaku akan keberadaan mereka. Meski mereka, terutama Serfina, kadang juga mengajakku untuk mengikuti OSPEK, tapi dia tidak memaksaku seperti yang lainnya. Aku tak perlu menghabiskan tenaga untuk terus menolak dan menjelaskan alasannya. Walaupun dia tampak kecewa.

Ada di satu waktu, kutak ingat apa yang kami lakukan pada siang harinya, namun aku menghabiskan waktu berbincang dengan Serfina dan semua kawannya dari sore hingga malam. Banyak hal yang kami bicarakan, walaupun kutak ingat lagi secara spesifik. Dan kala itu, untuk pertama kalinya, aku tak ingin segera kembali ke kos. Aku ingin menghabiskan banyak waktu lagi bersama mereka, bersama Serfina.

“Jack? Jacki? Sedang ke mana pikiranmu?”

“Ah, maaf, maaf. Sampai di mana tadi?”

“Jaaack! Ayolah, aku sudah mengulang lebih dari dua kali. Kalau kali ini kau tak mendengarkanku lagi, aku pergi!”

“Iya, iya, jangan. Ini aku dengarkan sekarang.”

“Baru sekarang mau dengarin?!”

“Bukan, bukan. Sudah, sudah, lanjutkan.”

Serfina menampilkan wajah cemberutnya, yang menyatakan dia tak senang tapi tak punya pilihan lain. Aku merasa beruntung bertemu dengannya. Jika saja waktu itu aku tak bertemu dengannya… tidak, lebih tepatnya jika dia tak mengirimiku pesan itu, mungkin sekarang aku sudah mencari cara agar segera pergi dari sini. Karena olehnya, aku merasa… di sini tidak terlalu buruk.

“Kau tahu, Fina?”

Serfina berhenti menjelaskan apapun itu yang tak kudengarkan. Ia memandangku penuh tanda tanya dengan matanya yang bulat dan berkilau seperti bintang. Kuangkat salah satu tanganku dan mengelus rambutnya lembut seperti sutra. Aku pun bertanya-tanya, “Sejak kapan aku memusatkan perhatianku padanya?”

“Seberapa cantiknya dirimu di mataku?” senyumku lebar.

Untuk sejenak, ia terdiam sebelum akhirnya wajahnya memerah. Namun kemudian, ia memukulku. Aku sontak terkejut dan menatapnya. Sambil memalingkan wajahnya yang memerah, ia berkata, “Lagi-lagi kau tak mendengarkanku untuk kesekian kalinya!”

 

 

“Apa-apaan dia?!” teriakku dalam hati. Untunglah hanya ada kami berdua. Jika yang lainnya dengar, aku tak punya tempat untuk menyimpan wajahku. Aku bukannya tak senang mendengar perkataannya, hanya saja…, itu terlalu tiba-tiba.

Kuangkat tangan kananku menutup sebagian wajahku. Kutak tahu seberapa merahnya wajahku dan aku pun tak mau tahu. Aku memicingkan mata ke arah Jacki.

“Bagaimana ia bisa terlihat begitu biasa setelah mengatakan hal semacam itu?! Menyebalkan!” gerutuku dalam hati. Kuambil tasku, bukuku, dan beranjak dari tempatku duduk.

“K-Kau mau ke mana?’ tanyanya terkejut.

“Sudah kubilang, kan, sebelumnya. Aku pergi kalau kau tak mendengarkanku lagi,” jawabku sambil membelakanginya dan mulai berjalan menjauh. Setelah beberapa langkah, aku membalikkan badan dan melihatnya masih membereskan tasnya dengan sedikit terburu-buru.

“Kenapa kau berhenti?” tanyanya menyadari tatapanku.

“Aku tak pernah bilang bahwa aku akan pergi sendirian.”

“Ha?”

Rasanya ingin kupukul lagi setelah mendengar balasannya. Akan tetapi, bukan salahnya. Aku yang memang tidak mengatakannya terus terang, kalau aku selalu ingin terus bersamanya.

“Kalau tak bergegas, aku takkan mengembalikan bukumu,” ucapku memperlihatkan bukunya yang telah terselip di antara buku-bukuku sedari tadi dan kembali berjalan pelan.

“Ha! Sejak kapan kamu pegang? Fina, tunggu!”

“Sejak kapan, ya, aku mulai jatuh dalam karismamu?” tanyaku dalam hati sambil tersenyum. 


Foto oleh George Pak dari Pexels

Tidak ada komentar:

Posting Komentar