Cari

15 Februari 2022

Kedamaian

 


Suara pecahan piring dan teriakan dari orang tuanya, begitu memekakkan telinga. Meski begitu, ini bukan lagi hal asing yang terjadi di rumahnya. Suasanya rumahnya memang bukan suatu harmoni yang merdu, namun ia hanya berharap keheningan. Para tetangga sudah bosan dengan lantunan lirik-lirik yang selalu rumahnya nyanyikan hampir setiap hari. Akan tetapi, mereka lebih bosan menyampaikan keluh kesah kepada orang tuanya.

Berkali-kali ia, Selvya, mengucap kata sabar dalam hatinya. Mengingatkan posisi dirinya sebagai anak dari kedua orang tuanya. Namun, kekuatan kata “sabar” darinya semakin melemah seiring dengan semakin lama dirinya menerima asupan “melodi” orang tuanya.

“Aku kepala keluarga di sini! Kau harusnya tunduk saja!” perintah ayah Vya pada ibunya.

“Oh begitukah?! Lalu bagaimana kewajibanmu sebagai kepala?! Sejak kau bertemu dengan lelaki itu, aku yang setiap hari berusaha mencari uang! Dan kau pergi entah ke mana!” balas ibu Vya tak mau kalah.

“Tentu saja mencari uang juga!”

“Oh ya kah?! Lalu di mana uang-uang itu? Kau hanya pulang saat butuh uang. Jangankan memberi kami uang makan, kau bahkan tak bisa memberi kami 500 perak sekalipun! Kau pikir aku tidak lelah menjalani ini semua?!”

“Suruh Vya lah! Apa gunanya dia kalau tidak bisa membantu!”

“Aku, kan, juga harus kerja!” bantah Vya yang tak terima.

“DIAM!” teriak kedua orang tuanya kepadanya.

“Jangan beralasan! Kau tak tahu apapun tentang keadaan rumah!” tunjuk jari ibunya ke arah Vya.

“Perhatikan posisimu, anak kurang ajar! Jangan bersuara!” bentak ayahnya hampir disaat yang bersamaan dengan ibunya. Ya, ini bukan pertama kalinya ia tak mendapatkan haknya untuk bersuara. Akan tetapi, bukan berarti ia telah terbiasa dengan perlakuan itu.

Darahnya telah mendidih sejak lama. Ia ingin meluapkan seluruh kemarahannya. Namun pada akhirnya, ia memilih untuk diam dan menuju kamar, meninggalkan kedua orang tuanya yang belum selesai. Tentu orang tuanya menyadari tindakannya, dan menyuruhnya untuk kembali ke tempatnya berdiri. Akan tetapi, ia tetap melangkah pergi. Mengabaikan berbagai barang-barang yang dilempar dibelakangnya. Bahkan beberapa nyaris mengenai kepalanya.

Ia menutup pintu kamarnya rapat-rapat, berharap tak ada satu pun suara dari orang tuanya yang dapat masuk ke kamarnya. Tentu saja itu mustahil. Ia mengambil earphone miliknya, menyambungkannya ke ponsel, dan memutar lagu apapun sekeras mungkin.

Di setiap jeda pergantian lagu, ia masih dapat mendengar suara orang tuanya, bahkan masih memanggil dirinya berkali-kali. Vya mencengkram tangannya setiap ia mendengar namanya disebut. Ia sangat ingin meluapkan seluruh kekesalan, amarah, kebencian, maupun dendam yang ada dalam hatinya selama ini pada siapapun yang mau mendengarkannya. Akan tetapi, apa dayanya yang tak memiliki satu pun orang yang dapat dia andalkan. Semua orang menjauhi dirinya begitu mengetahui kondisi kedua orang tuanya. Ya, mereka semua tak salah. Lebih baik menjauh dari sumber masalah daripada mendapatkan masalah nantinya.

Hari ini adalah hari Minggu. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Vya sedang berdiri di dapur mencoba membuat sesuatu dengan bahan-bahan yang ada di dapur. Mungkin hasilnya takkan sebagus yang dulu ibunya buat, namun ia yakin bahwa hasilnya masih dapat dimakan. Sedangkan ibunya masih tidur dalam kamarnya karena lelah bertengkar dengan ayahnya dan masih harus menyelesaikan pekerjaannya hingga larut malam. Dan ayahnya? Tidak diketahui ke mana kali ini beliau pergi setelah pertengkaran kemarin. Vya pun tak begitu peduli. Suasana tenang yang tak tahu kapan lagi bisa dirasakan, ia berusaha menikmatinya semaksimal mungkin.

Baru saja senyum Vya mulai terukir di bibirnya, suara gebrakan pintu mengagetkan dirinya dan membuatnya tak sengaja melukai jarinya. Tak berselang berapa lama, penyebab keributan itu menghampiri dapur, yang tidak lain dan tidak bukan adalah ayahnya. Gerak tubuh ayahnya tidaklah beraturan, tampak sempoyongan ke kanan dan kiri. Begitu ayahnya telah mencapai meja makan yang terletak tak jauh dari tempat Vya memasak, ia dapat mencium bau alkohol yang begitu kuat.

“Mabuk di pagi hari?! Gila ya?!” ketusnya dalam hati. Memang ini bukan pertama kalinya ayahnya pulang dengan bau alkohol namun biasanya bau yang melekat sudah tidak begitu kuat, yang dapat diasumsikan bahwa ia minum sebelum tidur di luar – entah di mana. Bau yang ia cium kali ini sangatlah kuat dan fresh. Vya menutup hidungnya dengan jari karena tak kuat dengan bau alkohol yang begitu tajam.

Ayahnya menatap dan meraba meja makan yang kosong selama beberapa lama sebelum akhirnya bersuara dengan lantang, “Apa-apaan ini! Masih kosong! Tak ada yang masak apa?! Sudah jam berapa ini! Kalian ingin aku mati kelaparan, HAH?!”

“Kau…, apa saja yang kau perbuat jam segini masih belum ada makanan? Mau jadi anak yang tak tahu balas budi?! HAH?!” teriak ayahnya sambil menunjuk-nunjuk Vya.

“Ini sudah lewat jam sarapan dan belum waktunya makan siang, tentu saja meja masih kosong,” jawab geram Vya dalam hati.

Suara teriakan ayahnya yang memekakkan telinga, membangunkan ibu Vya. Segera ia berjalan menuju sumber suara dan mendapati suaminya yang dalam keadaan seperti setengah sadar.

“KAU GILA MABUK PAGI-PAGI?! Kau yang hanya pulang saat butuh uang sudah sangat membebani dan sekarang kau mau mengontaminasi udara rumah ini?!”

“BERISIK! Kau… kau tidak tahu apapun yang kuhadapi di luar sana. Kau… yang hanya berdiam di rumah dan tidur nyaman dalam kamar… TIDAK TAHU APAPUN!” teriak ayah Vya lagi, kali ini berjalan menuju ibu Vya.

“YA! YA! DAN AKU JUGA TAK MAU TAHU! YANG KUTAHU KAU HANYA BISA MENGHABISKAN SELURUH UANG YANG KUDAPATKAN UNTUK HIDUPMU SENDIRI!”

Baru saja Vya merasakan ketenangan yang ia dambakan, kini ketenangan itu telah sirna. Ia berusaha menahan dirinya dan terus melanjutkan apa yang sedang ia kerjakan. Hingga setelah berlangsung lama, ayahnya merubah target amarahnya.

“LIHAT! LIHAT ANAK ITU! LIHAT HASIL DIDIKANMU! DIA SIBUK DENGAN DIRINYA SENDIRI TANPA MEMEDULIKANKU! KAU MEMANG TIDAK BERGUNA MENJADI IBU!”

“KAU PIKIR SIAPA YANG MAU BERURUSAN DENGANMU?! AKU YANG TERLALU BAIK TERUS MELADENI DIRIMU!” balas ibunya tidak terima.

Ayahnya mendorong ibunya, menyingkir dari dekatnya dan berjalan menuju Vya dengan sempoyongan. Sudah puluhan, ratusan, ribuan kata-kata kutuk yang ia ucapkan dalam hati setiap melihat kedua orang tuanya selama bertahun-tahun. Ia tak tahu apa kali ini ia masih dapat menahannya.

“Kau…, anak tak tahu diuntung!” tegas ayah Vya bersamaan dengan gerakan tangan yang menarik diri Vya menghadap kepadanya dan menampar pipi kiri Vya.

Ibu Vya terkejut bukan main dengan apa yang ia saksikan. Tubuhnya gemetar, bola matanya berair, keringat dingin melapisi dirinya. Vya melihat reaksi yang belum pernah ia lihat dari ibunya.

“Kenapa kau malah ketakutan? Kau tak membelaku sama sekali…, seperti biasanya.” gerutu Vya dalam hati. Ia berpikir untuk mengabaikan apa yang terjadi, namun suatu cairan mengganggu tangannya. Ternyata, tanpa sadar, Vya telah menusuk ayahnya… berulang kali. Kini ayahnya tak lagi bergerak sama sekali, bahkan bernapas. Vya menatap sosok tak berdaya di depannya tanpa ekspresi selama beberapa lama.

“Haha…, hahaha…, HAHAHAHAHA!”

Vya tertawa lepas untuk pertama kalinya. Ia sendiri tak mengerti mengapa ia tertawa, tapi ada perasaan lega di dalam hatinya. Setelah puas tertawa, ia kembali menatap ibunya yang sedari tadi tak bergerak sama sekali dari tempatnya jatuh. Vya tersenyum pada ibunya. Senyuman Vya membuat ibunya semakin takut. Segera ia bangkit dan berlari keluar rumah meminta pertolongan para tetangga.

Ruangan serba putih dengan perabotan seadanya. Selvya hanya duduk diam di bangku yang terletak di sudut ruangan. Ia dengan tenang membaca sebuah buku dan membalik ke halaman yang lain begitu selesai membaca satu halaman.

Angin sepoi-sepoi yang berhembus melewati jendela ruangan yang sedikit terbuka, memberi perasaan damai padanya. Ia tak perlu mendengar suara bising dari orang tuanya. Vya sedang menikmati kedamaiannya saat tiba-tiba suara dering alarm mengagetkannya.

Selvya membuka matanya dengan segera. Jantungnya berdetak cukup cepat. Ia memerhatikan sekelilingnya dan mendapati dirinya masih dalam kamarnya, bukan sebuah ruangan berdominan warna putih. Ia bangun dari kasur, mengambil ponselnya yang berada tak jauh darinya. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi pada hari Senin.

“Hari Senin…, harus kerja.”

Tak berapa lama kemudian, terdengar suara teriakan dari luar kamarnya. Suara ayahnya yang marah-marah karena tak ada makanan di atas meja makan. Kemudian disusul ibunya yang terbangun karena teriakan ayahnya.

“Apa… kucoba saja, ya?” tanyanya pada diri sendiri.


pic src: https://kids.grid.id/read/472625294/contoh-ungkapan-perasaan-damai-dalam-bahasa-inggris-dan-artinya?page=all

Tidak ada komentar:

Posting Komentar