Suara pecahan piring dan teriakan dari orang tuanya, begitu memekakkan telinga. Meski begitu, ini bukan lagi hal asing yang terjadi di rumahnya. Suasanya rumahnya memang bukan suatu harmoni yang merdu, namun ia hanya berharap keheningan. Para tetangga sudah bosan dengan lantunan lirik-lirik yang selalu rumahnya nyanyikan hampir setiap hari. Akan tetapi, mereka lebih bosan menyampaikan keluh kesah kepada orang tuanya.
Berkali-kali
ia, Selvya, mengucap kata sabar dalam hatinya. Mengingatkan posisi dirinya sebagai
anak dari kedua orang tuanya. Namun, kekuatan kata “sabar” darinya semakin
melemah seiring dengan semakin lama dirinya menerima asupan “melodi” orang
tuanya.
“Aku kepala
keluarga di sini! Kau harusnya tunduk saja!” perintah ayah Vya pada ibunya.
“Oh begitukah?!
Lalu bagaimana kewajibanmu sebagai kepala?! Sejak kau bertemu dengan lelaki
itu, aku yang setiap hari berusaha mencari uang! Dan kau pergi entah ke mana!”
balas ibu Vya tak mau kalah.
“Tentu saja
mencari uang juga!”
“Oh ya
kah?! Lalu di mana uang-uang itu? Kau hanya pulang saat butuh uang. Jangankan
memberi kami uang makan, kau bahkan tak bisa memberi kami 500 perak sekalipun!
Kau pikir aku tidak lelah menjalani ini semua?!”
“Suruh Vya
lah! Apa gunanya dia kalau tidak bisa membantu!”
“Aku, kan,
juga harus kerja!” bantah Vya yang tak terima.
“DIAM!”
teriak kedua orang tuanya kepadanya.
“Jangan
beralasan! Kau tak tahu apapun tentang keadaan rumah!” tunjuk jari ibunya ke
arah Vya.
“Perhatikan
posisimu, anak kurang ajar! Jangan bersuara!” bentak ayahnya hampir disaat yang
bersamaan dengan ibunya. Ya, ini bukan pertama kalinya ia tak mendapatkan
haknya untuk bersuara. Akan tetapi, bukan berarti ia telah terbiasa dengan
perlakuan itu.
Darahnya
telah mendidih sejak lama. Ia ingin meluapkan seluruh kemarahannya. Namun pada
akhirnya, ia memilih untuk diam dan menuju kamar, meninggalkan kedua orang
tuanya yang belum selesai. Tentu orang tuanya menyadari tindakannya, dan
menyuruhnya untuk kembali ke tempatnya berdiri. Akan tetapi, ia tetap melangkah
pergi. Mengabaikan berbagai barang-barang yang dilempar dibelakangnya. Bahkan
beberapa nyaris mengenai kepalanya.
Ia menutup
pintu kamarnya rapat-rapat, berharap tak ada satu pun suara dari orang tuanya
yang dapat masuk ke kamarnya. Tentu saja itu mustahil. Ia mengambil earphone
miliknya, menyambungkannya ke ponsel, dan memutar lagu apapun sekeras mungkin.
Di setiap
jeda pergantian lagu, ia masih dapat mendengar suara orang tuanya, bahkan masih
memanggil dirinya berkali-kali. Vya mencengkram tangannya setiap ia mendengar
namanya disebut. Ia sangat ingin meluapkan seluruh kekesalan, amarah,
kebencian, maupun dendam yang ada dalam hatinya selama ini pada siapapun yang
mau mendengarkannya. Akan tetapi, apa dayanya yang tak memiliki satu pun orang
yang dapat dia andalkan. Semua orang menjauhi dirinya begitu mengetahui kondisi
kedua orang tuanya. Ya, mereka semua tak salah. Lebih baik menjauh dari sumber
masalah daripada mendapatkan masalah nantinya.
Hari ini
adalah hari Minggu. Waktu menunjukkan pukul 10.00 pagi. Vya sedang berdiri di
dapur mencoba membuat sesuatu dengan bahan-bahan yang ada di dapur. Mungkin
hasilnya takkan sebagus yang dulu ibunya buat, namun ia yakin bahwa hasilnya
masih dapat dimakan. Sedangkan ibunya masih tidur dalam kamarnya karena lelah
bertengkar dengan ayahnya dan masih harus menyelesaikan pekerjaannya hingga
larut malam. Dan ayahnya? Tidak diketahui ke mana kali ini beliau pergi setelah
pertengkaran kemarin. Vya pun tak begitu peduli. Suasana tenang yang tak tahu
kapan lagi bisa dirasakan, ia berusaha menikmatinya semaksimal mungkin.
Baru saja
senyum Vya mulai terukir di bibirnya, suara gebrakan pintu mengagetkan dirinya
dan membuatnya tak sengaja melukai jarinya. Tak berselang berapa lama, penyebab
keributan itu menghampiri dapur, yang tidak lain dan tidak bukan adalah
ayahnya. Gerak tubuh ayahnya tidaklah beraturan, tampak sempoyongan ke kanan
dan kiri. Begitu ayahnya telah mencapai meja makan yang terletak tak jauh dari
tempat Vya memasak, ia dapat mencium bau alkohol yang begitu kuat.
“Mabuk di
pagi hari?! Gila ya?!” ketusnya dalam hati. Memang ini bukan pertama kalinya
ayahnya pulang dengan bau alkohol namun biasanya bau yang melekat sudah tidak
begitu kuat, yang dapat diasumsikan bahwa ia minum sebelum tidur di luar –
entah di mana. Bau yang ia cium kali ini sangatlah kuat dan fresh. Vya
menutup hidungnya dengan jari karena tak kuat dengan bau alkohol yang begitu
tajam.
Ayahnya
menatap dan meraba meja makan yang kosong selama beberapa lama sebelum akhirnya
bersuara dengan lantang, “Apa-apaan ini! Masih kosong! Tak ada yang masak apa?!
Sudah jam berapa ini! Kalian ingin aku mati kelaparan, HAH?!”
“Kau…, apa
saja yang kau perbuat jam segini masih belum ada makanan? Mau jadi anak yang
tak tahu balas budi?! HAH?!” teriak ayahnya sambil menunjuk-nunjuk Vya.
“Ini sudah
lewat jam sarapan dan belum waktunya makan siang, tentu saja meja masih
kosong,” jawab geram Vya dalam hati.
Suara
teriakan ayahnya yang memekakkan telinga, membangunkan ibu Vya. Segera ia
berjalan menuju sumber suara dan mendapati suaminya yang dalam keadaan seperti setengah
sadar.
“KAU GILA
MABUK PAGI-PAGI?! Kau yang hanya pulang saat butuh uang sudah sangat membebani
dan sekarang kau mau mengontaminasi udara rumah ini?!”
“BERISIK!
Kau… kau tidak tahu apapun yang kuhadapi di luar sana. Kau… yang hanya berdiam
di rumah dan tidur nyaman dalam kamar… TIDAK TAHU APAPUN!” teriak ayah Vya
lagi, kali ini berjalan menuju ibu Vya.
“YA! YA!
DAN AKU JUGA TAK MAU TAHU! YANG KUTAHU KAU HANYA BISA MENGHABISKAN SELURUH UANG
YANG KUDAPATKAN UNTUK HIDUPMU SENDIRI!”
Baru saja
Vya merasakan ketenangan yang ia dambakan, kini ketenangan itu telah sirna. Ia
berusaha menahan dirinya dan terus melanjutkan apa yang sedang ia kerjakan. Hingga
setelah berlangsung lama, ayahnya merubah target amarahnya.
“LIHAT!
LIHAT ANAK ITU! LIHAT HASIL DIDIKANMU! DIA SIBUK DENGAN DIRINYA SENDIRI TANPA
MEMEDULIKANKU! KAU MEMANG TIDAK BERGUNA MENJADI IBU!”
“KAU PIKIR
SIAPA YANG MAU BERURUSAN DENGANMU?! AKU YANG TERLALU BAIK TERUS MELADENI
DIRIMU!” balas ibunya tidak terima.
Ayahnya
mendorong ibunya, menyingkir dari dekatnya dan berjalan menuju Vya dengan
sempoyongan. Sudah puluhan, ratusan, ribuan kata-kata kutuk yang ia ucapkan
dalam hati setiap melihat kedua orang tuanya selama bertahun-tahun. Ia tak tahu
apa kali ini ia masih dapat menahannya.
“Kau…, anak
tak tahu diuntung!” tegas ayah Vya bersamaan dengan gerakan tangan yang menarik
diri Vya menghadap kepadanya dan menampar pipi kiri Vya.
Ibu Vya
terkejut bukan main dengan apa yang ia saksikan. Tubuhnya gemetar, bola matanya
berair, keringat dingin melapisi dirinya. Vya melihat reaksi yang belum pernah
ia lihat dari ibunya.
“Kenapa kau
malah ketakutan? Kau tak membelaku sama sekali…, seperti biasanya.” gerutu Vya
dalam hati. Ia berpikir untuk mengabaikan apa yang terjadi, namun suatu cairan
mengganggu tangannya. Ternyata, tanpa sadar, Vya telah menusuk ayahnya…
berulang kali. Kini ayahnya tak lagi bergerak sama sekali, bahkan bernapas. Vya
menatap sosok tak berdaya di depannya tanpa ekspresi selama beberapa lama.
“Haha…, hahaha…,
HAHAHAHAHA!”
Vya tertawa
lepas untuk pertama kalinya. Ia sendiri tak mengerti mengapa ia tertawa, tapi
ada perasaan lega di dalam hatinya. Setelah puas tertawa, ia kembali menatap
ibunya yang sedari tadi tak bergerak sama sekali dari tempatnya jatuh. Vya
tersenyum pada ibunya. Senyuman Vya membuat ibunya semakin takut. Segera ia
bangkit dan berlari keluar rumah meminta pertolongan para tetangga.
Ruangan
serba putih dengan perabotan seadanya. Selvya hanya duduk diam di bangku yang
terletak di sudut ruangan. Ia dengan tenang membaca sebuah buku dan membalik ke
halaman yang lain begitu selesai membaca satu halaman.
Angin
sepoi-sepoi yang berhembus melewati jendela ruangan yang sedikit terbuka,
memberi perasaan damai padanya. Ia tak perlu mendengar suara bising dari orang
tuanya. Vya sedang menikmati kedamaiannya saat tiba-tiba suara dering alarm
mengagetkannya.
Selvya
membuka matanya dengan segera. Jantungnya berdetak cukup cepat. Ia memerhatikan
sekelilingnya dan mendapati dirinya masih dalam kamarnya, bukan sebuah ruangan
berdominan warna putih. Ia bangun dari kasur, mengambil ponselnya yang berada
tak jauh darinya. Waktu menunjukkan pukul 6 pagi pada hari Senin.
“Hari
Senin…, harus kerja.”
Tak berapa
lama kemudian, terdengar suara teriakan dari luar kamarnya. Suara ayahnya yang
marah-marah karena tak ada makanan di atas meja makan. Kemudian disusul ibunya
yang terbangun karena teriakan ayahnya.
“Apa…
kucoba saja, ya?” tanyanya pada diri sendiri.
pic src: https://kids.grid.id/read/472625294/contoh-ungkapan-perasaan-damai-dalam-bahasa-inggris-dan-artinya?page=all
Tidak ada komentar:
Posting Komentar