Sekali lagi, sekali lagi aku melihat pemandangan yang tak pernah ingin kulihat. Di sini, dari balik jendela mobil kulihat Rifky berjalan bergandengan tangan dengan wanita itu dan tersenyum lebar. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya kulihat mereka seperti itu. Aku mendorong pedal gas mobil dan melaju pergi dari sana begitu mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah toko baju.
Sore itu,
aku langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Padahal niatnya buat reuni
dengan teman-teman kuliah, gerutuku dalam hati. Aku mengambil ponselku dan
mengetik pesan singkat kepada salah satu teman dekatku.
“Nia,
sorry, nih. Aku tiba-tiba ada urusan keluarga mendadak, urgent banget. Jadi gak
bisa join reuni karena harus balik ke kampung. Sorry banget, ya. Sampaikan maafku
ke yang lain juga, ya. Thanks.”
Aku
menghela napas panjang seusai mengirim pesan itu. Kupandang langit-langit
kamarku yang remang-remang. Ah, lampunya mau putus lagi. Kubangun dari
kasur dan mencari cadangan lampu di dalam lemari.
“Tidak ada.
Aku harus beli lagi. Ini sudah lampu ketiga dalam dua bulan ini. Aku tak
mengerti harus membeli lampu yang seperti apa agar bertahan,” ucapku. Di saat
yang sama, air mata menetes turun melalui pipiku. Berapa lama lagi? Berapa
lama lagi aku harus menahan ini semua? Berapa kali lagi aku harus menahan sakit
melihat mereka berdua? tanyaku pada diriku sendiri.
Malam
sesaat sebelum kuhendak untuk tidur, menyudahi tangisanku, Rifky mengirimkanku
pesan yang berisi, “Maaf, Kayla. Padahal kita harusnya pergi bersama ke tempat reunimu
dan aku sudah janji padamu, tapi aku malah batal ikut. Lain kali akan
kuusahakan segala cara agar kita bisa menghabiskan waktu bersama. Jangan marah,
oke?”
“Tak apa,
aku mengerti, kok. Urusanmu memang harus selalu diprioritaskan. Lagipula
reuninya juga batal. Semoga semuanya lancar jaya.” Sent. Dan malam itu
aku tertidur dengan keadaan mata sembab. Lagi.
Senin,
keesokan harinya, aku berangkat kerja dengan tidak penuh semangat. Semua
pekerjaan yang dilimpahkan padaku terasa hanya membuang-buang waktu berhargaku.
Hanya membuka dan memeriksa satu folder saja sudah seperti membuka buku seberat
puluhan kilogram.
“Kayla, ada
apa denganmu? Matamu agak menghitam,” ucap Ensy – seorang teman kantor
sedivisiku.
“Benarkah?
Aku tak begitu memperhatikan kaca tadi pagi karena lampu kamarku mati.”
“Lagi?
Sebenarnya lampu apa yang kau beli? Kau mengganti tiga lampu dalam dua bulan.
Itu tak wajar sekali. Kenapa kau tak minta bantuan Rifky saja? Kau masih
dengannya, bukan?”
Aku
mengangguk pelan. “Dia sedang ada urusan di luar kota setiap kali lampuku mati.
Dan aku tak bisa memintanya kembali hanya untuk mengurus lampuku.”
“Dia selalu
ke luar kota, ya. Posisinya pasti jauh di atas kita. Tapi apa komunikasi kalian
lancar? Kau selalu terlihat tidak semangat sejak tahun lalu.”
Aku hanya
mengangguk.
“Aku pun
tak mengerti soal lampu begituan. Mungkin kalau kau mau, aku bisa telepon
suamiku dan kau tanya padanya,” tawarnya padaku.
“Terima
kasih banyak, Ensy. Tapi tidak perlu, aku akan mencari tahu lebih lagi dari
internet saja.”
“Baiklah,”
balasnya sebelum kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya.
Sejak tahun
lalu, ya. Aku bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali kami bisa tertawa
bersama. Aku sudah hampir melupakan senyumnya, tawanya, suaranya, aromanya,
wajahnya. Apa aku akan melupakan sosoknya juga nanti? Tidak! Aku tidak mau.
“Aku tidak
ingin, aku belum bisa. Aku belum bisa melepaskan dirinya,” ucapku sangat pelan
hingga dapat kupastikan tak ada yang dapat mendengarku. Dan kupastikan tak ada
yang melihatku menangis. Lagi.
Hari ini
kembali berlalu. Aku sudah tak tahu apa ada hari yang menyenangkan, saat Rifky
bahkan sudah tak ada lagi untukku. Kuambil ponselku begitu aku masuk ke dalam
mobil. Ada pesan baru dari Rifky sejam yang lalu.
“Bagaimana
pekerjaanmu hari ini? Semuanya lancar, tak ada hambatan? Pekerjaanku di sini
sangat lancar. Hari ini klienku sangat berterima kasih atas presentasiku. Ia
bilang kalau ia jadi mendapat wawasan baru dariku. Hahaha, aku takkan
berbohong, tapi aku menjadi agak sombong setelah mendengarnya. Bagaimana tidak?
Klienku adalah salah satu pemegang saham di perusahaan aksesoris terbesar di
Asia. Tapi untungnya aku tak sampai benar-benar menunjukkannya ke sekitarku.
Atau mereka semua akan membenciku. Bagaimana denganmu? Aku menunggu ceritamu
<3.”
Sebuah
pesan yang teramat sangat panjang darinya yang terbilang orang yang sangat
sibuk untukku. Aku tersenyum membaca pesannya. Rasanya seperti ia telah kembali
padaku, namun di saat yang sama aku juga kembali menangis. Kenapa? Bukan karena
mengingat apa yang kulihat kemarin sore, tapi karena aku tahu pesan ini tidak
hanya dikirimkan untukku. Ini hanya sebuah duplikat pesan untuk wanita itu.
“Kau tak
pernah memakai emotikon selama denganku, Rif. Kau yang bilang sendiri kalau itu
hanya untuk pasangan alay,” kataku disela-sela tangisan. Lalu aku menundukkan
kepalaku, menempelkannya ke setir mobil yang ada di hadapanku. Dan aku menangis
tersedu-sedu. Lagi.
Jumat. Satu
pekan hampir berakhir. Intensitas bertukar pesan kami sudah tak sesering dulu
lagi. Setelah pesan panjangnya di hari senin, tak sampai empat pesan yang ia
kirim lagi padaku hingga hari ini. Aku tahu, ia pasti lebih memilih untuk
bertukar pesan dengan wanita itu. Namun, aku tak bisa berhenti berharap bahwa
setiap notifikasi yang muncul adalah darinya.
DRRRTT….
Ponselku bergetar. Aku mengambilnya dari dalam tasku yang merupakan hadiah
darinya di hari peringatan satu tahun kami. Telepon dari Rifky. Aku menjawab
panggilannya dengan nada kurang menyenangkan, meskipun aku sangat senang
mendapat panggilan darinya.
“Kay?
Kenapa kau tak semangat begitu?”
“Kau pikir
saja sendiri.”
“Hahaha,
maaf, maaf. Aku memang kurang memperhatikanmu belakangan ini. Maka dari itu,
aku ingin mengajakmu jalan berdua hari ini sepulang dari pekerjaan. Bagaimana?
Kau bisa?”
“Hari ini?”
tanyaku keheranan. “Kenapa hari ini? Biasanya kau selalu mengajak di akhir
pekan karena kau selalu lembur sampai hari sabtu. Apa pekerjaan sudah selesai?”
“Kenapa kau
bingung? Tak perlu khawatirkan pekerjaanku. Aku mengambil cuti khusus untuk
hari ini. Memangnya kau tidak ingat ini hari apa?”
“Jumat, 24
Mei,” jawabku tanpa ragu.
“Kau
benar-benar sudah melupakannya, ya. Baiklah, mari bertemu di tempat favorit
kita. Kau akan mengingatnya selama perjalanan ke sana, oke?”
“Oke.”
Aku terus
memperhatikan waktu yang berlalu. Terasa sangat lamban. Tidak, bukan karena aku
tak sabar ingin bertemu dengannya. Aku mungkin juga tak sabar ingin menemuinya,
tapi jawabannya tentang hari ini membuatku lebih penasaran. Dia tak salah
mengingat hari jadian kami, bukan?
Sore
harinya, aku pergi ke tempat favorit kami. Sebuah taman di pinggir danau kecil
yang indah. Tak banyak orang yang datang kemari karena tempatnya yang cukup
jauh dari pusat kota. Waktu itu kami tersesat saat kembali dari liburan di luar
kota dan kami menemukan tempat ini. Tempat yang cukup tenang untuk sejenak
memisahkan diri dari kebisingan perkotaan.
“Kayla!”
Rifky
memanggilku dari belakang sambil membawa sebuah kantong di tangannya. Ukuran
kantong yang cukup besar untuk dibawa seorang diri. Aku menatapnya penuh dengan
keheranan dan tanda tanya. Akan tetapi, semakin lama aku semakin yakin dengan
apa yang terjadi.
“Bagaimana
kabarmu hari ini? Pekerjaanmu lancar? Aku membeli ini sebelum kemari. Ini
untukmu,” ucapnya sambil memberikanku kantong yang ia bawa tadi. Aku membuka,
melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah boneka beruang yang merupakan salah
satu karakter dari We Bare Bears, Icebear, dan di lehernya dililit
sebuah syal lembut berbahan sutra berwarna babyblue.
“Selamat
hari jadi kita yang kelima tahun, Kayla.”
Ucapannya
menarik perhatianku terhadap pemberiannya. Aku tidak percaya dengan apa yang
kudengar barusan. Tidak! Lebih tepatnya, aku tak ingin mempercayainya. Aku
kembali memastikannya, “Apa kau bilang barusan? Coba kau ulangi lagi.”
“Selamat hari
jadi kita yang kelima tahun. Ada apa? Kenapa kau bereaksi seperti itu?”
Aku
menghela napas cukup panjang. Berusaha menahan semua emosiku yang terasa
bercampur aduk menjadi satu dan hanya meninggalkan rasa hampa di dada. Rifky
benar-benar tak mengerti dengan reaksi yang kuberikan. Dan setelah beberapa
lama terdiam, aku akhirnya bicara.
“Terima
kasih sebelumnya kau membuang-buang uangmu untuk membelikan aku ini semua. Tapi
ada beberapa hal yang harus kukoreksi. Pertama, karakter yang aku suka di We
Bare Bears itu Panda, bukan Icebear – ”
“Oh, iyakah?
Kalau begitu – ”
“Rifky Herritson!
Aku belum selesai!” bentakku dan membuatnya diam dalam kejutnya. “Kedua, aku
tidak tahu apa kau secara tidak sengaja membeli syal ini, tapi warna yang aku
suka adalah kuning. Bukan biru. Lalu yang terakhir, hari ini bukan peringatan
hari jadi kita. Yang benar tanggal 17 Juni. Ini hari pernikahanmu.”
Rifky menatapku
seperti penuh dengan rasa bersalah. Tidak! Bukan tatapan itu yang aku inginkan.
Aku ingin tatapan penuh kasihnya yang dulu, yang perlahan telah hilang sejak ia
bersama wanita itu. Matanya tak lagi tertuju padaku. Sekarang bahkan ukiran
nama dalam hatinya telah berubah.
“Kau sudah
sadar akan kesalahanmu, bukan? Sekarang ambil ini dan pulanglah. Wanita itu,
bukan, Mitha pasti sudah menunggumu di rumah. Dan berikan ini padanya,” ucapku
sambil mengembalikan kantong pemberian darinya.
“Happy
first anniversary for your marriage, Rif. Terima kasih atas semua kebaikanmu
padaku selama hampir lima tahun ini. Ini hari terakhir kita bersama. Selamat
tinggal,” ucapku sambil melangkah pergi menuju mobilku.
Entah apa
yang membuat kami mempertahankan hubungan ini. Seharusnya kami mengakhirinya
sedari awal kami mengetahui bahwa orang tua Rifky tak menyukaiku dan menjodohkannya
dengan Mitha. Ia masih bersikukuh, berjanji akan membuat orang tuanya
menerimaku dan akan menikahiku setelah bercerai dengan Mitha. Dan sampai
sekarang, tak ada satupun perkembangan dari janji-janji yang dulu ia ucapkan
padaku.
Tidak!
Harusnya aku yang lebih keras kepala untuk mengakhirinya. Sedari awal aku sudah
mengetahui bahwa hubungan kami tak ada harapan. Hubungan kami sudah mati sejak
pernikahannya dengan Mitha. Lalu mengapa, mengapa aku masih bertahan, hingga
satu tahun lamanya?
“Mengapa?
Mengapa, Kayla? Mengapa kau sebodoh ini? Padahal kau sudah tahu, kau sudah
menyadarinya beberapa kali, tapi kenapa baru sekarang? Kenapa?” tanyaku pada
diriku sendiri di dalam mobil. Kuluapkan semua emosiku saat itu dalam tangisan
yang keras. Lagi.
pic src: https://www.pngarea.com/view/ea5a62af_kawaii-heart-png-we-bare-bears-ice-bear/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar