Cari

15 November 2021

Lagi, Lagi, dan Lagi

 

Sekali lagi, sekali lagi aku melihat pemandangan yang tak pernah ingin kulihat. Di sini, dari balik jendela mobil kulihat Rifky berjalan bergandengan tangan dengan wanita itu dan tersenyum lebar. Entah ini sudah yang ke berapa kalinya kulihat mereka seperti itu. Aku mendorong pedal gas mobil dan melaju pergi dari sana begitu mereka memutuskan untuk masuk ke sebuah toko baju.

Sore itu, aku langsung merebahkan diri ke atas tempat tidur. Padahal niatnya buat reuni dengan teman-teman kuliah, gerutuku dalam hati. Aku mengambil ponselku dan mengetik pesan singkat kepada salah satu teman dekatku.

“Nia, sorry, nih. Aku tiba-tiba ada urusan keluarga mendadak, urgent banget. Jadi gak bisa join reuni karena harus balik ke kampung. Sorry banget, ya. Sampaikan maafku ke yang lain juga, ya. Thanks.”

Aku menghela napas panjang seusai mengirim pesan itu. Kupandang langit-langit kamarku yang remang-remang. Ah, lampunya mau putus lagi. Kubangun dari kasur dan mencari cadangan lampu di dalam lemari.

“Tidak ada. Aku harus beli lagi. Ini sudah lampu ketiga dalam dua bulan ini. Aku tak mengerti harus membeli lampu yang seperti apa agar bertahan,” ucapku. Di saat yang sama, air mata menetes turun melalui pipiku. Berapa lama lagi? Berapa lama lagi aku harus menahan ini semua? Berapa kali lagi aku harus menahan sakit melihat mereka berdua? tanyaku pada diriku sendiri.

Malam sesaat sebelum kuhendak untuk tidur, menyudahi tangisanku, Rifky mengirimkanku pesan yang berisi, “Maaf, Kayla. Padahal kita harusnya pergi bersama ke tempat reunimu dan aku sudah janji padamu, tapi aku malah batal ikut. Lain kali akan kuusahakan segala cara agar kita bisa menghabiskan waktu bersama. Jangan marah, oke?”

“Tak apa, aku mengerti, kok. Urusanmu memang harus selalu diprioritaskan. Lagipula reuninya juga batal. Semoga semuanya lancar jaya.” Sent. Dan malam itu aku tertidur dengan keadaan mata sembab. Lagi.

Senin, keesokan harinya, aku berangkat kerja dengan tidak penuh semangat. Semua pekerjaan yang dilimpahkan padaku terasa hanya membuang-buang waktu berhargaku. Hanya membuka dan memeriksa satu folder saja sudah seperti membuka buku seberat puluhan kilogram.

“Kayla, ada apa denganmu? Matamu agak menghitam,” ucap Ensy – seorang teman kantor sedivisiku.

“Benarkah? Aku tak begitu memperhatikan kaca tadi pagi karena lampu kamarku mati.”

“Lagi? Sebenarnya lampu apa yang kau beli? Kau mengganti tiga lampu dalam dua bulan. Itu tak wajar sekali. Kenapa kau tak minta bantuan Rifky saja? Kau masih dengannya, bukan?”

Aku mengangguk pelan. “Dia sedang ada urusan di luar kota setiap kali lampuku mati. Dan aku tak bisa memintanya kembali hanya untuk mengurus lampuku.”

“Dia selalu ke luar kota, ya. Posisinya pasti jauh di atas kita. Tapi apa komunikasi kalian lancar? Kau selalu terlihat tidak semangat sejak tahun lalu.”

Aku hanya mengangguk.

“Aku pun tak mengerti soal lampu begituan. Mungkin kalau kau mau, aku bisa telepon suamiku dan kau tanya padanya,” tawarnya padaku.

“Terima kasih banyak, Ensy. Tapi tidak perlu, aku akan mencari tahu lebih lagi dari internet saja.”

“Baiklah,” balasnya sebelum kembali ke mejanya dan melanjutkan pekerjaannya.

Sejak tahun lalu, ya. Aku bahkan sudah tidak ingat kapan terakhir kali kami bisa tertawa bersama. Aku sudah hampir melupakan senyumnya, tawanya, suaranya, aromanya, wajahnya. Apa aku akan melupakan sosoknya juga nanti? Tidak! Aku tidak mau.

“Aku tidak ingin, aku belum bisa. Aku belum bisa melepaskan dirinya,” ucapku sangat pelan hingga dapat kupastikan tak ada yang dapat mendengarku. Dan kupastikan tak ada yang melihatku menangis. Lagi.

Hari ini kembali berlalu. Aku sudah tak tahu apa ada hari yang menyenangkan, saat Rifky bahkan sudah tak ada lagi untukku. Kuambil ponselku begitu aku masuk ke dalam mobil. Ada pesan baru dari Rifky sejam yang lalu.

“Bagaimana pekerjaanmu hari ini? Semuanya lancar, tak ada hambatan? Pekerjaanku di sini sangat lancar. Hari ini klienku sangat berterima kasih atas presentasiku. Ia bilang kalau ia jadi mendapat wawasan baru dariku. Hahaha, aku takkan berbohong, tapi aku menjadi agak sombong setelah mendengarnya. Bagaimana tidak? Klienku adalah salah satu pemegang saham di perusahaan aksesoris terbesar di Asia. Tapi untungnya aku tak sampai benar-benar menunjukkannya ke sekitarku. Atau mereka semua akan membenciku. Bagaimana denganmu? Aku menunggu ceritamu <3.”

Sebuah pesan yang teramat sangat panjang darinya yang terbilang orang yang sangat sibuk untukku. Aku tersenyum membaca pesannya. Rasanya seperti ia telah kembali padaku, namun di saat yang sama aku juga kembali menangis. Kenapa? Bukan karena mengingat apa yang kulihat kemarin sore, tapi karena aku tahu pesan ini tidak hanya dikirimkan untukku. Ini hanya sebuah duplikat pesan untuk wanita itu.

“Kau tak pernah memakai emotikon selama denganku, Rif. Kau yang bilang sendiri kalau itu hanya untuk pasangan alay,” kataku disela-sela tangisan. Lalu aku menundukkan kepalaku, menempelkannya ke setir mobil yang ada di hadapanku. Dan aku menangis tersedu-sedu. Lagi.

Jumat. Satu pekan hampir berakhir. Intensitas bertukar pesan kami sudah tak sesering dulu lagi. Setelah pesan panjangnya di hari senin, tak sampai empat pesan yang ia kirim lagi padaku hingga hari ini. Aku tahu, ia pasti lebih memilih untuk bertukar pesan dengan wanita itu. Namun, aku tak bisa berhenti berharap bahwa setiap notifikasi yang muncul adalah darinya.

DRRRTT…. Ponselku bergetar. Aku mengambilnya dari dalam tasku yang merupakan hadiah darinya di hari peringatan satu tahun kami. Telepon dari Rifky. Aku menjawab panggilannya dengan nada kurang menyenangkan, meskipun aku sangat senang mendapat panggilan darinya.

“Kay? Kenapa kau tak semangat begitu?”

“Kau pikir saja sendiri.”

“Hahaha, maaf, maaf. Aku memang kurang memperhatikanmu belakangan ini. Maka dari itu, aku ingin mengajakmu jalan berdua hari ini sepulang dari pekerjaan. Bagaimana? Kau bisa?”

“Hari ini?” tanyaku keheranan. “Kenapa hari ini? Biasanya kau selalu mengajak di akhir pekan karena kau selalu lembur sampai hari sabtu. Apa pekerjaan sudah selesai?”

“Kenapa kau bingung? Tak perlu khawatirkan pekerjaanku. Aku mengambil cuti khusus untuk hari ini. Memangnya kau tidak ingat ini hari apa?”

“Jumat, 24 Mei,” jawabku tanpa ragu.

“Kau benar-benar sudah melupakannya, ya. Baiklah, mari bertemu di tempat favorit kita. Kau akan mengingatnya selama perjalanan ke sana, oke?”

“Oke.”

Aku terus memperhatikan waktu yang berlalu. Terasa sangat lamban. Tidak, bukan karena aku tak sabar ingin bertemu dengannya. Aku mungkin juga tak sabar ingin menemuinya, tapi jawabannya tentang hari ini membuatku lebih penasaran. Dia tak salah mengingat hari jadian kami, bukan?

Sore harinya, aku pergi ke tempat favorit kami. Sebuah taman di pinggir danau kecil yang indah. Tak banyak orang yang datang kemari karena tempatnya yang cukup jauh dari pusat kota. Waktu itu kami tersesat saat kembali dari liburan di luar kota dan kami menemukan tempat ini. Tempat yang cukup tenang untuk sejenak memisahkan diri dari kebisingan perkotaan.

“Kayla!”

Rifky memanggilku dari belakang sambil membawa sebuah kantong di tangannya. Ukuran kantong yang cukup besar untuk dibawa seorang diri. Aku menatapnya penuh dengan keheranan dan tanda tanya. Akan tetapi, semakin lama aku semakin yakin dengan apa yang terjadi.

“Bagaimana kabarmu hari ini? Pekerjaanmu lancar? Aku membeli ini sebelum kemari. Ini untukmu,” ucapnya sambil memberikanku kantong yang ia bawa tadi. Aku membuka, melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah boneka beruang yang merupakan salah satu karakter dari We Bare Bears, Icebear, dan di lehernya dililit sebuah syal lembut berbahan sutra berwarna babyblue.

“Selamat hari jadi kita yang kelima tahun, Kayla.”

Ucapannya menarik perhatianku terhadap pemberiannya. Aku tidak percaya dengan apa yang kudengar barusan. Tidak! Lebih tepatnya, aku tak ingin mempercayainya. Aku kembali memastikannya, “Apa kau bilang barusan? Coba kau ulangi lagi.”

“Selamat hari jadi kita yang kelima tahun. Ada apa? Kenapa kau bereaksi seperti itu?”

Aku menghela napas cukup panjang. Berusaha menahan semua emosiku yang terasa bercampur aduk menjadi satu dan hanya meninggalkan rasa hampa di dada. Rifky benar-benar tak mengerti dengan reaksi yang kuberikan. Dan setelah beberapa lama terdiam, aku akhirnya bicara.

“Terima kasih sebelumnya kau membuang-buang uangmu untuk membelikan aku ini semua. Tapi ada beberapa hal yang harus kukoreksi. Pertama, karakter yang aku suka di We Bare Bears itu Panda, bukan Icebear – ”

“Oh, iyakah? Kalau begitu – ”

“Rifky Herritson! Aku belum selesai!” bentakku dan membuatnya diam dalam kejutnya. “Kedua, aku tidak tahu apa kau secara tidak sengaja membeli syal ini, tapi warna yang aku suka adalah kuning. Bukan biru. Lalu yang terakhir, hari ini bukan peringatan hari jadi kita. Yang benar tanggal 17 Juni. Ini hari pernikahanmu.”

Rifky menatapku seperti penuh dengan rasa bersalah. Tidak! Bukan tatapan itu yang aku inginkan. Aku ingin tatapan penuh kasihnya yang dulu, yang perlahan telah hilang sejak ia bersama wanita itu. Matanya tak lagi tertuju padaku. Sekarang bahkan ukiran nama dalam hatinya telah berubah.

“Kau sudah sadar akan kesalahanmu, bukan? Sekarang ambil ini dan pulanglah. Wanita itu, bukan, Mitha pasti sudah menunggumu di rumah. Dan berikan ini padanya,” ucapku sambil mengembalikan kantong pemberian darinya.

“Happy first anniversary for your marriage, Rif. Terima kasih atas semua kebaikanmu padaku selama hampir lima tahun ini. Ini hari terakhir kita bersama. Selamat tinggal,” ucapku sambil melangkah pergi menuju mobilku.

Entah apa yang membuat kami mempertahankan hubungan ini. Seharusnya kami mengakhirinya sedari awal kami mengetahui bahwa orang tua Rifky tak menyukaiku dan menjodohkannya dengan Mitha. Ia masih bersikukuh, berjanji akan membuat orang tuanya menerimaku dan akan menikahiku setelah bercerai dengan Mitha. Dan sampai sekarang, tak ada satupun perkembangan dari janji-janji yang dulu ia ucapkan padaku.

Tidak! Harusnya aku yang lebih keras kepala untuk mengakhirinya. Sedari awal aku sudah mengetahui bahwa hubungan kami tak ada harapan. Hubungan kami sudah mati sejak pernikahannya dengan Mitha. Lalu mengapa, mengapa aku masih bertahan, hingga satu tahun lamanya?

“Mengapa? Mengapa, Kayla? Mengapa kau sebodoh ini? Padahal kau sudah tahu, kau sudah menyadarinya beberapa kali, tapi kenapa baru sekarang? Kenapa?” tanyaku pada diriku sendiri di dalam mobil. Kuluapkan semua emosiku saat itu dalam tangisan yang keras. Lagi.


pic src: https://www.pngarea.com/view/ea5a62af_kawaii-heart-png-we-bare-bears-ice-bear/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar