Ini sudah
malam ketiga aku melihat Nauli tidak tidur. Aku tahu bahwa dia adalah wanita workaholic,
namun aku tak menyangka separah ini. Ya, tentu saja. Kami belum lama menikah,
pastilah aku baru mengetahuinya.
Aku mengelus kedua pundaknya dan membujuknya, “Li, istirahat. Ini sudah malam ketiga. Kau tahu tubuhmu itu cukup lemah, jika begini terus kau bisa sakit. Ini sudah jam empat pagi. Aku melihat posisimu tak berubah sama sekali sejak aku tidur sampai aku bangun sekarang.”
“Aku tidak
bisa, Evan. Semua pekerjaan ini harus aku berikan pagi nanti. Jika tidak, aku
bisa terkena masalah. Aku bisa istirahat nanti saat semuanya telah selesai.
Tapi aku tak bisa memutar waktu jika masalah sungguhan datang.”
“Tak ada
yang lebih penting dari kesehatanmu, Li. Ayo, istirahat.”
“Baiklah
ini yang terakhir. Setelah ini, setelah ini.”
Dan Nauli
tertidur sangat pulas begitu dirinya menempel pada kasur. Aku mengelus
rambutnya yang lembut sebelum akhirnya aku pun tidur.
Pagi
harinya, aku tak membangunkannya. Ia perlu istirahat lebih untuk menggantikan
malam-malam sebelumnya. Baru saja aku hendak akan berangkat ke kantornya Nauli
sebelum menuju kantorku, Nauli berteriak dari dalam kamar.
“Evaan!”
“APA,
APA?!” tanyaku terkejut sambil menuju kamar. Dan di saat bersamaan, Nauli
bergegas keluar.
“Kenapa kau
tidak bangunkan aku?! Aku telat!”
Aku
menghela napas panjang. “Kau cuti saja hari ini, kau sudah terlalu lelah. Kau
bisa sakit jika terus-terusan bekerja namun istirahatnya jarang.”
“Tidak hari
ini! Ada rapat penting yang harus kuhadiri. Jika tidak, aku akan kena masalah.”
“NAULI! KAU
PIKIR KESEHATANMU BUKAN MASALAH?” bentakku padanya. Ini pertama kalinya aku
membentaknya dan tentu itu mengejutkannya. “Aku takkan mengantarmu ke kantor.
Aku yang akan membawa berkasmu ke kantormu. Kau istirahat hari ini. Titik!”
“Baiklah
kalau tidak mau mengantar. Aku yang berangkat sendiri. Aku bisa sendiri,”
balasnya sambil berlalu ke kamar mandi.
Ya,
Tuhan. Sejak kapan isteriku keras kepala seperti ini? Aku hanya bisa duduk di sofa ruang
tamu dan menghela napas berkali-kali sambil menunggu dirinya selesai membenahi
diri.
“Berkasku?”
tanyanya sambil mengulurkan tangannya. Aku memberikan berkasnya yang sudah
kuletakkan di dalam tasku. Dengan sigap ia ambil berkasnya dan memeriksa isinya
sambil berjalan menuju keluar rumah.
Setelah aku
mengunci pintu rumah, kulihat sepertinya ia benar-benar akan berangkat
sendirian. Ia tak berhenti di samping mobil, melainkan terus hingga ke ujung
teras. Aku menggelengkan kepala dan berusaha sabar.
“Nauli!
Masuk mobil!”
“Katanya –”
“Ma-suk-mo-bil!”
Aku
menatapnya tegas agar ia tak menjawab apapun lagi dariku. Ia hanya menghela
napas singkat sebelum akhinya masuk ke mobil. Seharusnya aku yang menghela
napas.
Selama
perjalanan, kami tak mengucapkan sepatah kata pun. Dan begitu kami sampai di
kantornya, ia keluar begitu saja tanpa menoleh lagi. Padahal biasanya ia paling
tidak akan melambaikan tangannya padaku. Aku mengeluarkan ponselku dan
mengiriminya pesan, “Sempatkan istirahat di sela-sela pekerjaan. Jangan maksain
diri! Jika ada apa-apa, kirim pesan ke aku. Aku akan datang melihat saat
istirahat kantor nanti.”
Aku dapat
melihat Nauli mengeluarkan ponselnya setelah aku kirim pesan itu. Pastinya ia
telah melihat pesanku, namun ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Aku
menopang kepalaku dan terus menghela napas sebelum akhirnya meninggalkan
kantornya.
“Sepenting
itukah pekerjaanmu hingga kesehatanmu pun kau abaikan?” tanyaku heran.
Siang
harinya saat jam istirahat kantor, sesuai yang aku beritahukan padanya di pagi
hari, aku datang ke kantornya. Namun aku tak menemukannya di kantin dari sudut
mana pun. Ketika aku bertanya pada teman-temannya, mereka bilang bahwa ia masih
bekerja di ruangannya dan belum makan apapun sejak datang ke kantor. Bahkan minum
pun tidak. Sebenarnya pekerjaan macam apa yang kantor ini berikan padanya,
sih?!
“Apa aku
boleh menemuinya? Tadi pagi kesehatannya agak menurun, jadi aku agak khawatir,”
pintaku pada salah satu temannya. Untungnya ia mengangguk setuju. Ia
menunjukkan jalannya padaku. Dan aku benar-benar mendidih begitu melihat Nauli
yang tidak berhenti sama sekali dengan pekerjaannya.
“Nauli!”
panggilku keras di depan ruangannya. Tentu itu juga menarik perhatian orang
lain di ruangan yang sama, tapi aku tidak peduli. Aku menghampirinya dengan
amarah.
“Sudah
berapa kali kubilang! Sempatkan istirahat, kesehatanmu lebih penting!”
“Evan?
Apa-apaan?! Kenapa kau di sini?”
“Seharusnya
kau tahu kenapa aku di sini. Sekarang tinggal semua pekerjaanmu. Hibahkan saja
pada orang lain. Kita pulang!” tegasku sambil mencengkram tangannya.
“Evan!
Hentikan! Kau menyakitiku.”
Aku
melepaskan tangannya begitu kusadar kalau aku sudah mengeluarkan tenaga yang
berlebihan. Akan tetapi, tampaknya Nauli belum juga menyerah.
“Aku tidak
bisa. Pekerjaan ini harus kuberikan sore nanti,” jelasnya sambil mengambil
beberapa dokumen. “Permisi, aku harus mengembalikan ini dulu.”
Aku
melihatnya berjalan melewati dan menjauh dariku. Namun baru beberapa langkah
melewati diriku, ia mulai tak bisa menjaga keseimbangannya dan jatuh pingsan di
depan mataku. Aku yang terkejut, berusaha menangkap dirinya.
“Nauli!
Nauli!” panggilku padanya yang tak sadarkan diri di lenganku.
Waktu
berlalu, sekarang sudah sore hari. Namun, Nauli belum juga siuman sejak tadi
siang. Aku hanya dapat menunggunya, di samping ranjang rumah sakit yang ia
tempati. Melihatnya terbaring tak berdaya. Memang rasanya sudah sangat lama
sejak terakhir kali aku melihat dirinya tertidur dengan pulasnya selama
berjam-jam, namun tidak seperti ini. Beberapa lama aku terlarut dalam lamunan,
hingga kusadari jari jemarinya mulai bergerak.
“Evan?”
panggilnya lirih.
“Nauli! Aku
di sini,” jawabku sambil menggenggam tangannya yang lemah.
“Ini…,”
“Di rumah
sakit.”
“Ah, aku
tidak boleh di sini. Aku harus kembali ke kantor. Masih banyak pekerjaan.”
“NAULI!”
teriakku – untuk kedua kalinya di hari itu – padanya yang berusaha bangkit dari
ranjang. “Aku mohon… berhenti memaksakan diri… aku takkan sanggup melihatmu
yang terus-terusan bekerja keras seperti ini. Aku tak mau melihatmu sakit. Aku
tidak mau kehilanganmu.”
Aku menggenggam
erat tangannya, memohon, dan menangis di saat yang bersamaan. Nauli mengulurkan
tangannya yang lain, menepuk kepalaku yang tertunduk.
“Maafkan
aku yang membuatmu sekhawatir ini. Sepertinya kau benar, aku terlalu memaksakan
diri. Aku akan ambil hari cuti besok hingga beberapa hari ke depan.”
“Kau punya
alasan apa hingga seperti ini, Li?”
“Tadinya
kupikir, aku ingin cepat naik pangkat jadi kita bisa menabung lebih banyak
untuk jalan-jalan kita ke eropa. Aku tahu kau suka di sindir oleh ibuku karena
belum bisa membuatku pergi ke eropa, bukan?”
Aku hanya
tersenyum kecil sambil menahan air mataku dan beberapa kali mencium tangannya.
Memang benar, ibunya sangat menginginkan agar Nauli pergi ke eropa paling tidak
sekali. Kami pun juga memiliki rencana itu. Namun belakangan, ibunya semakin
suka menyindir sejak salah satu keponakannya telah pergi ke eropa untuk kedua
kalinya.
Kami hanya
tersenyum dan bertatapan dalam keheningan, sampai seorang suster mengetuk pintu
kamar.
“Bapak
Evan? Dokter mencari anda.”
“Baiklah,
saya ke sana,” jawabku sambil mengusap air mataku yang tersisa. “Kau
istirahatlah lagi. Aku akan segera kembali.”
Kali ini,
Nauli mengangguk setuju. Ia kembali berbaring begitu aku berjalan keluar dari
kamar. Suster tadi menuntunku ke ruangan dokter yang memeriksa Nauli tadi.
“Pak Evan,
silakan duduk dulu.”
“Ada apa,
ya, dok?”
“Mengenai
isteri anda. Saya punya berita kurang baik, tapi tidak terlalu buruk. Isteri
anda memiliki tumor di pinggang bagian belakangnya. Stadium dua, tapi
kemungkinan untuk sembuh masih tinggi.”
Seakan
mendapat sambaran petir mendengar penjelasan awal dari dokter. Air mataku yang
sempat terhenti tadi, melanjutkan alirannya lagi.
pic src: https://lovepik.com/images/workaholics.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar