Cari

15 September 2021

Workaholic

 


Ini sudah malam ketiga aku melihat Nauli tidak tidur. Aku tahu bahwa dia adalah wanita workaholic, namun aku tak menyangka separah ini. Ya, tentu saja. Kami belum lama menikah, pastilah aku baru mengetahuinya.

Aku mengelus kedua pundaknya dan membujuknya, “Li, istirahat. Ini sudah malam ketiga. Kau tahu tubuhmu itu cukup lemah, jika begini terus kau bisa sakit. Ini sudah jam empat pagi. Aku melihat posisimu tak berubah sama sekali sejak aku tidur sampai aku bangun sekarang.”

“Aku tidak bisa, Evan. Semua pekerjaan ini harus aku berikan pagi nanti. Jika tidak, aku bisa terkena masalah. Aku bisa istirahat nanti saat semuanya telah selesai. Tapi aku tak bisa memutar waktu jika masalah sungguhan datang.”

“Tak ada yang lebih penting dari kesehatanmu, Li. Ayo, istirahat.”

“Baiklah ini yang terakhir. Setelah ini, setelah ini.”

Dan Nauli tertidur sangat pulas begitu dirinya menempel pada kasur. Aku mengelus rambutnya yang lembut sebelum akhirnya aku pun tidur.

Pagi harinya, aku tak membangunkannya. Ia perlu istirahat lebih untuk menggantikan malam-malam sebelumnya. Baru saja aku hendak akan berangkat ke kantornya Nauli sebelum menuju kantorku, Nauli berteriak dari dalam kamar.

“Evaan!”

“APA, APA?!” tanyaku terkejut sambil menuju kamar. Dan di saat bersamaan, Nauli bergegas keluar.

“Kenapa kau tidak bangunkan aku?! Aku telat!”

Aku menghela napas panjang. “Kau cuti saja hari ini, kau sudah terlalu lelah. Kau bisa sakit jika terus-terusan bekerja namun istirahatnya jarang.”

“Tidak hari ini! Ada rapat penting yang harus kuhadiri. Jika tidak, aku akan kena masalah.”

“NAULI! KAU PIKIR KESEHATANMU BUKAN MASALAH?” bentakku padanya. Ini pertama kalinya aku membentaknya dan tentu itu mengejutkannya. “Aku takkan mengantarmu ke kantor. Aku yang akan membawa berkasmu ke kantormu. Kau istirahat hari ini. Titik!”

“Baiklah kalau tidak mau mengantar. Aku yang berangkat sendiri. Aku bisa sendiri,” balasnya sambil berlalu ke kamar mandi.

Ya, Tuhan. Sejak kapan isteriku keras kepala seperti ini? Aku hanya bisa duduk di sofa ruang tamu dan menghela napas berkali-kali sambil menunggu dirinya selesai membenahi diri.

“Berkasku?” tanyanya sambil mengulurkan tangannya. Aku memberikan berkasnya yang sudah kuletakkan di dalam tasku. Dengan sigap ia ambil berkasnya dan memeriksa isinya sambil berjalan menuju keluar rumah.

Setelah aku mengunci pintu rumah, kulihat sepertinya ia benar-benar akan berangkat sendirian. Ia tak berhenti di samping mobil, melainkan terus hingga ke ujung teras. Aku menggelengkan kepala dan berusaha sabar.

“Nauli! Masuk mobil!”

“Katanya –”

“Ma-suk-mo-bil!”

Aku menatapnya tegas agar ia tak menjawab apapun lagi dariku. Ia hanya menghela napas singkat sebelum akhinya masuk ke mobil. Seharusnya aku yang menghela napas.

Selama perjalanan, kami tak mengucapkan sepatah kata pun. Dan begitu kami sampai di kantornya, ia keluar begitu saja tanpa menoleh lagi. Padahal biasanya ia paling tidak akan melambaikan tangannya padaku. Aku mengeluarkan ponselku dan mengiriminya pesan, “Sempatkan istirahat di sela-sela pekerjaan. Jangan maksain diri! Jika ada apa-apa, kirim pesan ke aku. Aku akan datang melihat saat istirahat kantor nanti.”

Aku dapat melihat Nauli mengeluarkan ponselnya setelah aku kirim pesan itu. Pastinya ia telah melihat pesanku, namun ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas. Aku menopang kepalaku dan terus menghela napas sebelum akhirnya meninggalkan kantornya.

“Sepenting itukah pekerjaanmu hingga kesehatanmu pun kau abaikan?” tanyaku heran.

Siang harinya saat jam istirahat kantor, sesuai yang aku beritahukan padanya di pagi hari, aku datang ke kantornya. Namun aku tak menemukannya di kantin dari sudut mana pun. Ketika aku bertanya pada teman-temannya, mereka bilang bahwa ia masih bekerja di ruangannya dan belum makan apapun sejak datang ke kantor. Bahkan minum pun tidak. Sebenarnya pekerjaan macam apa yang kantor ini berikan padanya, sih?!

“Apa aku boleh menemuinya? Tadi pagi kesehatannya agak menurun, jadi aku agak khawatir,” pintaku pada salah satu temannya. Untungnya ia mengangguk setuju. Ia menunjukkan jalannya padaku. Dan aku benar-benar mendidih begitu melihat Nauli yang tidak berhenti sama sekali dengan pekerjaannya.

“Nauli!” panggilku keras di depan ruangannya. Tentu itu juga menarik perhatian orang lain di ruangan yang sama, tapi aku tidak peduli. Aku menghampirinya dengan amarah.

“Sudah berapa kali kubilang! Sempatkan istirahat, kesehatanmu lebih penting!”

“Evan? Apa-apaan?! Kenapa kau di sini?”

“Seharusnya kau tahu kenapa aku di sini. Sekarang tinggal semua pekerjaanmu. Hibahkan saja pada orang lain. Kita pulang!” tegasku sambil mencengkram tangannya.

“Evan! Hentikan! Kau menyakitiku.”

Aku melepaskan tangannya begitu kusadar kalau aku sudah mengeluarkan tenaga yang berlebihan. Akan tetapi, tampaknya Nauli belum juga menyerah.

“Aku tidak bisa. Pekerjaan ini harus kuberikan sore nanti,” jelasnya sambil mengambil beberapa dokumen. “Permisi, aku harus mengembalikan ini dulu.”

Aku melihatnya berjalan melewati dan menjauh dariku. Namun baru beberapa langkah melewati diriku, ia mulai tak bisa menjaga keseimbangannya dan jatuh pingsan di depan mataku. Aku yang terkejut, berusaha menangkap dirinya.

“Nauli! Nauli!” panggilku padanya yang tak sadarkan diri di lenganku.

Waktu berlalu, sekarang sudah sore hari. Namun, Nauli belum juga siuman sejak tadi siang. Aku hanya dapat menunggunya, di samping ranjang rumah sakit yang ia tempati. Melihatnya terbaring tak berdaya. Memang rasanya sudah sangat lama sejak terakhir kali aku melihat dirinya tertidur dengan pulasnya selama berjam-jam, namun tidak seperti ini. Beberapa lama aku terlarut dalam lamunan, hingga kusadari jari jemarinya mulai bergerak.

“Evan?” panggilnya lirih.

“Nauli! Aku di sini,” jawabku sambil menggenggam tangannya yang lemah.

“Ini…,”

“Di rumah sakit.”

“Ah, aku tidak boleh di sini. Aku harus kembali ke kantor. Masih banyak pekerjaan.”

“NAULI!” teriakku – untuk kedua kalinya di hari itu – padanya yang berusaha bangkit dari ranjang. “Aku mohon… berhenti memaksakan diri… aku takkan sanggup melihatmu yang terus-terusan bekerja keras seperti ini. Aku tak mau melihatmu sakit. Aku tidak mau kehilanganmu.”

Aku menggenggam erat tangannya, memohon, dan menangis di saat yang bersamaan. Nauli mengulurkan tangannya yang lain, menepuk kepalaku yang tertunduk.

“Maafkan aku yang membuatmu sekhawatir ini. Sepertinya kau benar, aku terlalu memaksakan diri. Aku akan ambil hari cuti besok hingga beberapa hari ke depan.”

“Kau punya alasan apa hingga seperti ini, Li?”

“Tadinya kupikir, aku ingin cepat naik pangkat jadi kita bisa menabung lebih banyak untuk jalan-jalan kita ke eropa. Aku tahu kau suka di sindir oleh ibuku karena belum bisa membuatku pergi ke eropa, bukan?”

Aku hanya tersenyum kecil sambil menahan air mataku dan beberapa kali mencium tangannya. Memang benar, ibunya sangat menginginkan agar Nauli pergi ke eropa paling tidak sekali. Kami pun juga memiliki rencana itu. Namun belakangan, ibunya semakin suka menyindir sejak salah satu keponakannya telah pergi ke eropa untuk kedua kalinya.

Kami hanya tersenyum dan bertatapan dalam keheningan, sampai seorang suster mengetuk pintu kamar.

“Bapak Evan? Dokter mencari anda.”

“Baiklah, saya ke sana,” jawabku sambil mengusap air mataku yang tersisa. “Kau istirahatlah lagi. Aku akan segera kembali.”

Kali ini, Nauli mengangguk setuju. Ia kembali berbaring begitu aku berjalan keluar dari kamar. Suster tadi menuntunku ke ruangan dokter yang memeriksa Nauli tadi.

“Pak Evan, silakan duduk dulu.”

“Ada apa, ya, dok?”

“Mengenai isteri anda. Saya punya berita kurang baik, tapi tidak terlalu buruk. Isteri anda memiliki tumor di pinggang bagian belakangnya. Stadium dua, tapi kemungkinan untuk sembuh masih tinggi.”

Seakan mendapat sambaran petir mendengar penjelasan awal dari dokter. Air mataku yang sempat terhenti tadi, melanjutkan alirannya lagi.


pic src: https://lovepik.com/images/workaholics.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar