“Apa? TNI?!”
“Iya, Bu.
Aku ingin sekali jadi bagian dari TNI sejak TNI mengadakan kunjungan ke
sekolahku. Jadi ingin masuk ke sekolah tinggi untuk – ”
“Tidak
boleh!”
“Kenapa
tidak boleh?”
“Pokoknya
tidak boleh.”
“Beritahu
aku alasannya, Bu. Aku mana mungkin terima begitu saja tanpa tahu – ”
“SEKALI TIDAK TETAP TIDAK! APA SEKARANG KAU BERANI MEMBANTAH?”
William
terdiam mendengar bentakan dari ibunya. Valenzka – ibu William – tak
berkata apa-apa lagi setelahnya dan segera kembali ke dalam kamarnya. William
berdiri di luar kamar ibunya yang berada di balik pintu yang tertutup, ia dapat
mendengar samar-samar suara ibunya yang menangis atau lebih tepatnya berusaha
menahan tangis yang tersedu-sedu. Mendengar itu, ia mengurungkan niatnya untuk
bertanya lebih lanjut dan kembali ke kamarnya, membiarkan ibunya sendirian di
kamarnya.
“Wil!
Bagaimana? Sudah daftar ke akademinya belum?”
“Belum.”
“Lho? Kok,
belum? Pendaftarannya sebentar lagi tutup. Katanya sudah memantapkan hati dua
bulan lalu gue nanya,” tanya Stevan memastikan.
William
menghela napas panjang, ia tak mengerti harus bagaimana. Menjadi perwira TNI
sudah menjadi impian yang mendarah daging baginya. Namun di sisi lain, ia juga
tak ingin menjadi alasan ibunya bersedih. Sejak mendengar ibunya menangis
sendirian di hari itu, ia tak pernah bertanya maupun mengatakan apapun mengenai
TNI.
Malam itu,
saat selesai makan malam, Valenzka kembali membicarakannya lagi. Kali ini,
dengan hati dan pikiran yang lebih tenang.
“Apa kau
yakin ingin jadi perwira TNI?”
“I-Iya,”
jawab William yang agak kurang percaya dengan ibunya yang bertanya duluan. “Aku
sangat yakin. Seratus, tidak, tapi seribu persen yakin.”
“Baiklah,
jika kau seyakin itu. Daftarlah, ibu akan mendukung pilihanmu.”
Wajahnya
mengukir senyum yang sangat lebar. Rasa bahagia, senang, dan tak percaya
bercampur menjadi satu dalam diri William. Akan tetapi sesaat setelahnya, ia
menyimpan senyumnya dan bertanya pada ibunya, “Kenapa saat aku meminta izin Ibu
dua bulan lalu, Ibu menolak dan menangis di kamar?”
Valenzka
menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia tahu suatu saat ia harus
menceritakannya pada putranya, meskipun William bukan putra kandungnya. Ia
menarik tangan putranya dan menuntun ke kamarnya. Membiarkan putranya duduk di
atas kasur sementara ia mengambil sebuah kotak besar dari dalam lemari
pakaiannya.
“Kotak apa
ini?” tanya William.
Valenzka
membuka kotak yang hampir berdebu karena tak pernah disentuh sejak lama. Di
dalamnya terdapat banyak macam barang dan kumpulan foto-foto. Ia mengambil
tumpukan foto dan memperlihatkannya kepada William.
“Ini
foto-foto Ibu. Tapi dengan siapa? Siapa pria ini? Dan foto sebanyak ini hanya
ada kalian berdua?”
“Dia adalah
orang yang paling berharga bagi ibu setelah keluarga ibu. Dia selalu ada untuk ibu
di kala susah maupun senang. Kau tidak pernah melihat dia karena ia sudah pergi
sebelum kita bertemu. Dia adalah suami ibu.”
“Kenapa? Ke
mana ia pergi?”
Valenzka
mengambil sebuah kotak kecil yang tersembunyi di sudut kotak besar tadi. Di
dalamnya hanya terdapat sebuah potongan kain loreng bekas terbakar dan sebuah
foto. Ia kembali memperlihatkan foto itu kepada putranya.
“Dia juga
adalah perwira TNI, angkatan udara. Itu foto di hari pelantikannya. Sama sepertimu, menjadi
perwira TNI juga adalah keinginannya sejak lama. Tak ada siapapun bahkan di
keluarga yang dapat melarangnya. Semuanya baik-baik saja. Iya, semuanya
baik-baik saja selama ia sekolah sampai lulus dan diangkat menjadi TNI
sungguhan. Bahkan tak ada masalah apa-apa di awal karirnya….
“Kami
menikah setelah beberapa lama. Namun suatu saat…, sebuah insiden merenggut nyawanya….
Pernikahan kami bahkan belum berusia sebulan…,” ucap Valenzka yang disertai
isak tangis. William yang melihat ibunya meneteskan air mata lagi, tak dapat
berbuat banyak. Ia hanya menghampiri ibunya dan memeluknya sampai tenang
kembali.
William
membiarkan ibunya tertidur di tempat tidur begitu berhenti menangis. Ia sendiri
kembali melihat-lihat barang-barang yang ada di kotak sebelum membereskannya
dan mengembalikannya ke dalam lemari.
Keesokan
paginya, William tak tega membangunkan ibunya sehingga ia menunggu di ruang
makan dengan sarapan yang telah ia siapkan di hadapannya. Selagi menunggu, ia
mengambil ponsel pintarnya dan mencari informasi-informasi mengenai syarat ketentuan
yang dibutuhkan untuk pendaftaran sekolah tinggi TNI.
“Kau sudah
bangun lebih dulu?”
“Ah, iya,
Bu. Ayo, duduklah! Kita sarapan bersama,” ucap William sembari menuntun ibunya
ke kursi lalu kembali ke kursinya. “Maaf, Bu, aku tak bisa membuat banyak.
Hanya ini yang bisa kucoba. Ini pun sambil lihat tutorial Youtube.”
“Tak apa-apa,
ini sudah lebih dari cukup,” balas Valenzka kemudian menyendok kue kuk di
hadapannya. Di saat ia mengunyah, air mata jatuh ke bawah dan mendarat di
piringnya. William yang terkejut menghentikan makannya.
“Ibu?”
“Maaf,
maaf. Ibu hanya kembali teringat padanya,” jawab Valenzka sambil mengusap air
matanya. “Di awal pernikahan, saat ia masih libur, selalu dia yang membuatkanku
sarapan karena ibu sangat susah bangun kala itu. Dan kau tahu apa yang selalu
ia buatkan?”
William
menggelengkan kepala meskipun ada banyak jenis sarapan yang terlintas di
kepalanya. Valenzka tersenyum tipis, “Kue kuk. Dia pasti selalu membuat kue
kuk. Kau tau kenapa?”
“Kenapa?”
“Karena dia
sangat suka kue kuk dan hanya ini yang bisa dia buat.”
Valenzka
kembali mengunyah kue kuknya sambil terus mengusap air mata yang mengalir di
saat yang bersamaan. “Ibu tak tahu bagaimana kau membuat kue ini, tapi rasanya
sama persis. Bahkan jika Evann masih di sini, aku akan mengira ia yang
membuatnya.”
Jadi
namanya Evann. Ini pertama kalinya Ibu menyebut namanya di depanku, ucap William dalam hati. Saat
memperhatikan ibunya yang sedang makan dengan tenang, tiba-tiba ia teringat
dengan sesuatu yang ingin ia tanyakan.
“Ibu, ada
yang ingin kutanyakan. Bolehkah?”
Valenzka
meletakan sendoknya dan memandang putranya dengan lembut dan tersenyum, “Iya,
silakan.”
“Kotak-kotak
yang berisi peninggalannya. Yang di dalam kotak kecil, selain sebuah foto ada
sepotong kain loreng yang seperti bekas terbakar. Apa insiden yang terjadi
adalah… kebakaran?”
Valenzka
menggelengkan kepalanya. “Bukan. Evann meninggal saat latihan. Kain loreng itu
memang adalah sisa dari pakaian TNI miliknya.”
Valenzka
berhenti sejenak, menarik napas yang sangat panjang, dan menghembusnya dengan
berat. Ia berusaha agar tak menangis histeris lagi sebelum melanjutkan
ceritanya. William yang menyadari reaksi ibunya yang menunjukkan keberatan
hati, mencoba untuk mundur.
“Kalau Ibu
belum kuat untuk menceritakannya, tak perlu dipaksa. Aku tak harus tahu.”
“Tak apa,”
jawab Valenzka dengan cepat. “Memang masih berat menceritakannya walaupun sudah
20 tahun berlalu. Namun, cepat atau lambat kau pasti harus tahu.”
Setelah
jauh lebih tenang, Valenzka meneruskan ceritanya. Pagi itu, ia ceritakan
semuanya pada William. Dari awal pertemuan mereka, saat mereka melanjutkan
pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sampai pernikahan mereka dan kepergian
Evann.
Valenzka
terlihat lebih lega setelah bercerita panjang lebar meski masih cukup berat
mengingat semuanya. William yang tak berkata apapun selama ibunya bercerita,
menghela napas pelan. “Jadi Ibu membenci TNI? Maka dari itu, Ibu tidak terima
aku masuk TNI?”
Valenzka
menghela napas panjang. Sambil memejamkan mata, ia menjawab, “Iya, dulu ibu
membencinya. Sangat membencinya. Sekarang? Ibu tidak tahu. Ibu bisa bilang
tidak membencinya lagi, tapi ibu masih takut. Kejadian itu terulang lagi.”
William
bangkit dari bangkunya dan berlutut di samping ibunya yang hampir meneteskan
air matanya lagi. Sambil menggenggam tangan ibunya, ia berkata, “Tenang saja,
Bu. Aku akan selalu berhati-hati dan menjaga diriku. Ibu dapat mengandalkanku.”
Valenzka tersenyum
mendengarnya dan memeluk erat putranya selama beberapa menit. “Baiklah. Ayo,
selesaikan sarapannya! Kau hari ini juga libur, kan? Bagaimana jika kita pergi
ke tempat favorit ibu?”
“Ayo!”
TINGTONG…
“Iya,
sebentar!”
Suara bel
telah berbunyi beberapa kali di hari yang masih sangat pagi. Valenzka dengan
terburu-buru keluar dari kamarnya menuju pintu utama.
“Siapa,
ya?” tanyanya begitu telah dibalik pintu. Dan ia sangat terkejut melihat
laki-laki yang berdiri di baliknya. William pulang pertama kalinya sejak
bersekolah di akademi militer. Valenzka langsung memeluk putranya yang masih
berdiri di ambang pintu dengan seragam lorengnya.
“Aku
pulang, Bu.”
Mata
Valenzka menerawang ke luar jendela, menatap lahan kosong yang di sinari oleh
matahari. Masih terasa sangat segar di ingatannya saat William pertama kali
pulang. Dia duduk diam tak bergerak di atas ranjang sederhana yang berwarna
putih itu, larut dalam memori-memorinya yang terekam dalam pikirannya.
Suara
berisik orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya ia abaikan, bahkan
keberadaan ibunya yang duduk diam memperhatikan di sampingnya. Sampai sekelompok
lelaki dengan pakai loreng menghampirinya.
“Permisi,
Tante. Kami teman-teman William di akademi militer – ”
“MAU APA
KALIAN KEMARI? PERGI KALIAN! PERGI DARI SINI! JANGAN PERNAH MENUNJUKKAN DIRI!”
teriak Valenzka histeris begitu mendengar akademi militer. Ia melempar segala
macam barang yang ada di sekitarnya ke arah teman-teman William untuk mengusir
mereka. Suara teriakannya membuat para suster dan psikiater rumah sakit
beramai-ramai mendatangi kamarnya dan meminta yang lain untuk menunggu di luar.
“Maaf, tolong
sebaiknya kalian jangan datang menjenguk dulu. Setelah kejadian suaminya 20-an
tahun yang lalu, ia pasti akan sulit menerima untuk yang kedua kalinya,” mohon
ibu Valenzka ketika di luar kamar.
Teman-teman
William saling menatap satu sama lain dan akhirnya mereka memutuskan untuk
pamit undur diri. Namun, mereka tak menyerah begitu saja. Setiap ada
kesempatan, mereka akan datang menjenguk ke rumah sakit meski hanya sekedar
menitip bingkisan melalui ibunya Valenzka.
Tiga tahun
telah berlalu. Kondisi kejiwaan Valenzka sudah lebih stabil, tapi ia masih
belum sepenuhnya kembali ke dalam kehidupannya. Ia masih sering terlihat
menatap luar jendela dengan pandangan kosong. Dan untuk kesekian kalinya,
teman-teman William mencoba untuk menjenguknya.
“Para TNI
memang diajarkan untuk tak pernah menyerah, ya. Ia seharusnya tidak meledak
lagi. Kalian boleh mencoba untuk mengajaknya bicara.”
Temen-temen
William menghampiri Valenzka secara perlahan begitu mendapat izin dari ibunya.
Salah satu dari mereka, Nathan, memulai pembicaraan lebih dulu.
“Permisi,
Tante. Kami teman-teman William di ak….” Bibir Nathan berhenti berucap.
“Akademi
militer,” ucap Valenzka tiba-tiba. Nathan dan teman-temannya terkejut untuk
sesaat. Mereka tak ingin kondisi ibu dari William memburuk karena mereka.
Ruangan diterpa keheningan cukup lama. Tak ada yang berani berkata apapun,
bahkan tak ada satu suara pun yang terdengar selain suara dari air
conditioner dan napas masing-masing dari mereka, termasuk ibu Valenzka.
“Saat
mendengar berita kematian Evann dan apa yang menjadi penyebab ia meninggal,
saya tak bisa mengontrol emosi,” kata Valenzka memecah keheningan. “Saya
menangis terus selama berhari-hari bahkan setelah kremasinya. Dan begitu
mendapat kiriman barang-barang miliknya dari asrama yang ia tempati, saya
langsung membakar semuanya… di perkarangan rumah.”
Nathan dan
lainnya tidak tahu siapa Evann, tapi mereka tahu bahwa orang itu sama
berharganya dengan William sehingga mereka hanya diam mendengarkan cerita
Valenzka.
“Saya butuh
waktu bertahun-tahun hingga dapat menerima kepergiannya. Dari semua sisa-sisa
barang Evann yang saya bakar, hanya sepotong kain dari pakaian miliknyalah yang
saya simpan. Saya simpan bersamaan dengan foto kami saat pelantikannya. Ia
meninggal karena kecelakaan di waktu latihan.”
Valenzka
meremas dan menatap pakaian loreng milik William yang ia genggam. Air matanya
menetes keluar dari matanya yang sudah memerah karena bengkak akibat sembab.
“Dan
sekarang aku kehilangan putraku karena hal yang sama…. Harusnya aku tetap keras
kepala dan menolak keinginannya untuk menjadi TNI. Sebenarnya bagaimana caranya
kalian latihan? Bagaimana bisa aku kehilangan dua orang karena hal yang sama?
Bagaimana bisa?”
Valenzka
bertanya sambil bergerak menatap kepada mereka. Tak ada yang sanggup menjawab
pertanyaan dari Valenzka yang penuh keputusasaan. Ruangan kembali menjadi
hening, dengan aura menekan yang Nathan dan teman-temannya rasakan dari
Valenzka.
“Kami minta
maaf,” ucap Nathan sambil membungkuk yang kemudian juga diikuti oleh lainnya. Nathan
melanjutkan, “Salah satu teman kami tak berhati-hati saat latihan melempar
granat, sehingga….”
Valenzka
kembali menatap luar jendela. Untuk beberapa saat lamanya lagi, ruangan kembali
hening. Sampai Valenzka bertanya dengan suara pelan, “Salah satu teman kalian
yang mana?”
“Ah! Dia
tidak ada di sini. Setelah mendengar kabar Tante dilarikan ke rumah sakit ji-
terdekat, Ia langsung mengurus surat pengunduran dirinya dan pindah ke luar
kota,” jawab Nathan.
Melarikan
diri, tentu saja, gerutu
Valenzka dalam hati.
pic src: https://www.liputan6.com/news/read/4561853/jenazah-anggota-tni-korban-penyerangan-otk-di-papua-tiba-di-ambon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar