Cari

15 Juli 2021

(Tidak) Sanggup

 


“Apa? TNI?!”

“Iya, Bu. Aku ingin sekali jadi bagian dari TNI sejak TNI mengadakan kunjungan ke sekolahku. Jadi ingin masuk ke sekolah tinggi untuk – ”

“Tidak boleh!”

“Kenapa tidak boleh?”

“Pokoknya tidak boleh.”

“Beritahu aku alasannya, Bu. Aku mana mungkin terima begitu saja tanpa tahu – ”

“SEKALI TIDAK TETAP TIDAK! APA SEKARANG KAU BERANI MEMBANTAH?”

William terdiam mendengar bentakan dari ibunya. Valenzka – ibu William – tak berkata apa-apa lagi setelahnya dan segera kembali ke dalam kamarnya. William berdiri di luar kamar ibunya yang berada di balik pintu yang tertutup, ia dapat mendengar samar-samar suara ibunya yang menangis atau lebih tepatnya berusaha menahan tangis yang tersedu-sedu. Mendengar itu, ia mengurungkan niatnya untuk bertanya lebih lanjut dan kembali ke kamarnya, membiarkan ibunya sendirian di kamarnya.

“Wil! Bagaimana? Sudah daftar ke akademinya belum?”

“Belum.”

“Lho? Kok, belum? Pendaftarannya sebentar lagi tutup. Katanya sudah memantapkan hati dua bulan lalu gue nanya,” tanya Stevan memastikan.

William menghela napas panjang, ia tak mengerti harus bagaimana. Menjadi perwira TNI sudah menjadi impian yang mendarah daging baginya. Namun di sisi lain, ia juga tak ingin menjadi alasan ibunya bersedih. Sejak mendengar ibunya menangis sendirian di hari itu, ia tak pernah bertanya maupun mengatakan apapun mengenai TNI.

Malam itu, saat selesai makan malam, Valenzka kembali membicarakannya lagi. Kali ini, dengan hati dan pikiran yang lebih tenang.

“Apa kau yakin ingin jadi perwira TNI?”

“I-Iya,” jawab William yang agak kurang percaya dengan ibunya yang bertanya duluan. “Aku sangat yakin. Seratus, tidak, tapi seribu persen yakin.”

“Baiklah, jika kau seyakin itu. Daftarlah, ibu akan mendukung pilihanmu.”

Wajahnya mengukir senyum yang sangat lebar. Rasa bahagia, senang, dan tak percaya bercampur menjadi satu dalam diri William. Akan tetapi sesaat setelahnya, ia menyimpan senyumnya dan bertanya pada ibunya, “Kenapa saat aku meminta izin Ibu dua bulan lalu, Ibu menolak dan menangis di kamar?”

Valenzka menarik napas panjang dan menghembuskannya. Ia tahu suatu saat ia harus menceritakannya pada putranya, meskipun William bukan putra kandungnya. Ia menarik tangan putranya dan menuntun ke kamarnya. Membiarkan putranya duduk di atas kasur sementara ia mengambil sebuah kotak besar dari dalam lemari pakaiannya.

“Kotak apa ini?” tanya William.

Valenzka membuka kotak yang hampir berdebu karena tak pernah disentuh sejak lama. Di dalamnya terdapat banyak macam barang dan kumpulan foto-foto. Ia mengambil tumpukan foto dan memperlihatkannya kepada William.

“Ini foto-foto Ibu. Tapi dengan siapa? Siapa pria ini? Dan foto sebanyak ini hanya ada kalian berdua?”

“Dia adalah orang yang paling berharga bagi ibu setelah keluarga ibu. Dia selalu ada untuk ibu di kala susah maupun senang. Kau tidak pernah melihat dia karena ia sudah pergi sebelum kita bertemu. Dia adalah suami ibu.”

“Kenapa? Ke mana ia pergi?”

Valenzka mengambil sebuah kotak kecil yang tersembunyi di sudut kotak besar tadi. Di dalamnya hanya terdapat sebuah potongan kain loreng bekas terbakar dan sebuah foto. Ia kembali memperlihatkan foto itu kepada putranya.

“Dia juga adalah perwira TNI, angkatan udara. Itu foto di hari pelantikannya. Sama sepertimu, menjadi perwira TNI juga adalah keinginannya sejak lama. Tak ada siapapun bahkan di keluarga yang dapat melarangnya. Semuanya baik-baik saja. Iya, semuanya baik-baik saja selama ia sekolah sampai lulus dan diangkat menjadi TNI sungguhan. Bahkan tak ada masalah apa-apa di awal karirnya….

“Kami menikah setelah beberapa lama. Namun suatu saat…, sebuah insiden merenggut nyawanya…. Pernikahan kami bahkan belum berusia sebulan…,” ucap Valenzka yang disertai isak tangis. William yang melihat ibunya meneteskan air mata lagi, tak dapat berbuat banyak. Ia hanya menghampiri ibunya dan memeluknya sampai tenang kembali.

William membiarkan ibunya tertidur di tempat tidur begitu berhenti menangis. Ia sendiri kembali melihat-lihat barang-barang yang ada di kotak sebelum membereskannya dan mengembalikannya ke dalam lemari.

Keesokan paginya, William tak tega membangunkan ibunya sehingga ia menunggu di ruang makan dengan sarapan yang telah ia siapkan di hadapannya. Selagi menunggu, ia mengambil ponsel pintarnya dan mencari informasi-informasi mengenai syarat ketentuan yang dibutuhkan untuk pendaftaran sekolah tinggi TNI.

“Kau sudah bangun lebih dulu?”

“Ah, iya, Bu. Ayo, duduklah! Kita sarapan bersama,” ucap William sembari menuntun ibunya ke kursi lalu kembali ke kursinya. “Maaf, Bu, aku tak bisa membuat banyak. Hanya ini yang bisa kucoba. Ini pun sambil lihat tutorial Youtube.”

“Tak apa-apa, ini sudah lebih dari cukup,” balas Valenzka kemudian menyendok kue kuk di hadapannya. Di saat ia mengunyah, air mata jatuh ke bawah dan mendarat di piringnya. William yang terkejut menghentikan makannya.

“Ibu?”

“Maaf, maaf. Ibu hanya kembali teringat padanya,” jawab Valenzka sambil mengusap air matanya. “Di awal pernikahan, saat ia masih libur, selalu dia yang membuatkanku sarapan karena ibu sangat susah bangun kala itu. Dan kau tahu apa yang selalu ia buatkan?”

William menggelengkan kepala meskipun ada banyak jenis sarapan yang terlintas di kepalanya. Valenzka tersenyum tipis, “Kue kuk. Dia pasti selalu membuat kue kuk. Kau tau kenapa?”

“Kenapa?”

“Karena dia sangat suka kue kuk dan hanya ini yang bisa dia buat.”

Valenzka kembali mengunyah kue kuknya sambil terus mengusap air mata yang mengalir di saat yang bersamaan. “Ibu tak tahu bagaimana kau membuat kue ini, tapi rasanya sama persis. Bahkan jika Evann masih di sini, aku akan mengira ia yang membuatnya.”

Jadi namanya Evann. Ini pertama kalinya Ibu menyebut namanya di depanku, ucap William dalam hati. Saat memperhatikan ibunya yang sedang makan dengan tenang, tiba-tiba ia teringat dengan sesuatu yang ingin ia tanyakan.

“Ibu, ada yang ingin kutanyakan. Bolehkah?”

Valenzka meletakan sendoknya dan memandang putranya dengan lembut dan tersenyum, “Iya, silakan.”

“Kotak-kotak yang berisi peninggalannya. Yang di dalam kotak kecil, selain sebuah foto ada sepotong kain loreng yang seperti bekas terbakar. Apa insiden yang terjadi adalah… kebakaran?”

Valenzka menggelengkan kepalanya. “Bukan. Evann meninggal saat latihan. Kain loreng itu memang adalah sisa dari pakaian TNI miliknya.”

Valenzka berhenti sejenak, menarik napas yang sangat panjang, dan menghembusnya dengan berat. Ia berusaha agar tak menangis histeris lagi sebelum melanjutkan ceritanya. William yang menyadari reaksi ibunya yang menunjukkan keberatan hati, mencoba untuk mundur.

“Kalau Ibu belum kuat untuk menceritakannya, tak perlu dipaksa. Aku tak harus tahu.”

“Tak apa,” jawab Valenzka dengan cepat. “Memang masih berat menceritakannya walaupun sudah 20 tahun berlalu. Namun, cepat atau lambat kau pasti harus tahu.”

Setelah jauh lebih tenang, Valenzka meneruskan ceritanya. Pagi itu, ia ceritakan semuanya pada William. Dari awal pertemuan mereka, saat mereka melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, sampai pernikahan mereka dan kepergian Evann.

Valenzka terlihat lebih lega setelah bercerita panjang lebar meski masih cukup berat mengingat semuanya. William yang tak berkata apapun selama ibunya bercerita, menghela napas pelan. “Jadi Ibu membenci TNI? Maka dari itu, Ibu tidak terima aku masuk TNI?”

Valenzka menghela napas panjang. Sambil memejamkan mata, ia menjawab, “Iya, dulu ibu membencinya. Sangat membencinya. Sekarang? Ibu tidak tahu. Ibu bisa bilang tidak membencinya lagi, tapi ibu masih takut. Kejadian itu terulang lagi.”

William bangkit dari bangkunya dan berlutut di samping ibunya yang hampir meneteskan air matanya lagi. Sambil menggenggam tangan ibunya, ia berkata, “Tenang saja, Bu. Aku akan selalu berhati-hati dan menjaga diriku. Ibu dapat mengandalkanku.”

Valenzka tersenyum mendengarnya dan memeluk erat putranya selama beberapa menit. “Baiklah. Ayo, selesaikan sarapannya! Kau hari ini juga libur, kan? Bagaimana jika kita pergi ke tempat favorit ibu?”

“Ayo!”

TINGTONG…

“Iya, sebentar!”

Suara bel telah berbunyi beberapa kali di hari yang masih sangat pagi. Valenzka dengan terburu-buru keluar dari kamarnya menuju pintu utama.

“Siapa, ya?” tanyanya begitu telah dibalik pintu. Dan ia sangat terkejut melihat laki-laki yang berdiri di baliknya. William pulang pertama kalinya sejak bersekolah di akademi militer. Valenzka langsung memeluk putranya yang masih berdiri di ambang pintu dengan seragam lorengnya.

“Aku pulang, Bu.”

Mata Valenzka menerawang ke luar jendela, menatap lahan kosong yang di sinari oleh matahari. Masih terasa sangat segar di ingatannya saat William pertama kali pulang. Dia duduk diam tak bergerak di atas ranjang sederhana yang berwarna putih itu, larut dalam memori-memorinya yang terekam dalam pikirannya.

Suara berisik orang-orang yang lalu lalang di sekitarnya ia abaikan, bahkan keberadaan ibunya yang duduk diam memperhatikan di sampingnya. Sampai sekelompok lelaki dengan pakai loreng menghampirinya.

“Permisi, Tante. Kami teman-teman William di akademi militer – ”

“MAU APA KALIAN KEMARI? PERGI KALIAN! PERGI DARI SINI! JANGAN PERNAH MENUNJUKKAN DIRI!” teriak Valenzka histeris begitu mendengar akademi militer. Ia melempar segala macam barang yang ada di sekitarnya ke arah teman-teman William untuk mengusir mereka. Suara teriakannya membuat para suster dan psikiater rumah sakit beramai-ramai mendatangi kamarnya dan meminta yang lain untuk menunggu di luar.

“Maaf, tolong sebaiknya kalian jangan datang menjenguk dulu. Setelah kejadian suaminya 20-an tahun yang lalu, ia pasti akan sulit menerima untuk yang kedua kalinya,” mohon ibu Valenzka ketika di luar kamar.

Teman-teman William saling menatap satu sama lain dan akhirnya mereka memutuskan untuk pamit undur diri. Namun, mereka tak menyerah begitu saja. Setiap ada kesempatan, mereka akan datang menjenguk ke rumah sakit meski hanya sekedar menitip bingkisan melalui ibunya Valenzka.

Tiga tahun telah berlalu. Kondisi kejiwaan Valenzka sudah lebih stabil, tapi ia masih belum sepenuhnya kembali ke dalam kehidupannya. Ia masih sering terlihat menatap luar jendela dengan pandangan kosong. Dan untuk kesekian kalinya, teman-teman William mencoba untuk menjenguknya.

“Para TNI memang diajarkan untuk tak pernah menyerah, ya. Ia seharusnya tidak meledak lagi. Kalian boleh mencoba untuk mengajaknya bicara.”

Temen-temen William menghampiri Valenzka secara perlahan begitu mendapat izin dari ibunya. Salah satu dari mereka, Nathan, memulai pembicaraan lebih dulu.

“Permisi, Tante. Kami teman-teman William di ak….” Bibir Nathan berhenti berucap.

“Akademi militer,” ucap Valenzka tiba-tiba. Nathan dan teman-temannya terkejut untuk sesaat. Mereka tak ingin kondisi ibu dari William memburuk karena mereka. Ruangan diterpa keheningan cukup lama. Tak ada yang berani berkata apapun, bahkan tak ada satu suara pun yang terdengar selain suara dari air conditioner dan napas masing-masing dari mereka, termasuk ibu Valenzka.

“Saat mendengar berita kematian Evann dan apa yang menjadi penyebab ia meninggal, saya tak bisa mengontrol emosi,” kata Valenzka memecah keheningan. “Saya menangis terus selama berhari-hari bahkan setelah kremasinya. Dan begitu mendapat kiriman barang-barang miliknya dari asrama yang ia tempati, saya langsung membakar semuanya… di perkarangan rumah.”

Nathan dan lainnya tidak tahu siapa Evann, tapi mereka tahu bahwa orang itu sama berharganya dengan William sehingga mereka hanya diam mendengarkan cerita Valenzka.

“Saya butuh waktu bertahun-tahun hingga dapat menerima kepergiannya. Dari semua sisa-sisa barang Evann yang saya bakar, hanya sepotong kain dari pakaian miliknyalah yang saya simpan. Saya simpan bersamaan dengan foto kami saat pelantikannya. Ia meninggal karena kecelakaan di waktu latihan.”

Valenzka meremas dan menatap pakaian loreng milik William yang ia genggam. Air matanya menetes keluar dari matanya yang sudah memerah karena bengkak akibat sembab.

“Dan sekarang aku kehilangan putraku karena hal yang sama…. Harusnya aku tetap keras kepala dan menolak keinginannya untuk menjadi TNI. Sebenarnya bagaimana caranya kalian latihan? Bagaimana bisa aku kehilangan dua orang karena hal yang sama? Bagaimana bisa?”

Valenzka bertanya sambil bergerak menatap kepada mereka. Tak ada yang sanggup menjawab pertanyaan dari Valenzka yang penuh keputusasaan. Ruangan kembali menjadi hening, dengan aura menekan yang Nathan dan teman-temannya rasakan dari Valenzka.

“Kami minta maaf,” ucap Nathan sambil membungkuk yang kemudian juga diikuti oleh lainnya. Nathan melanjutkan, “Salah satu teman kami tak berhati-hati saat latihan melempar granat, sehingga….”

Valenzka kembali menatap luar jendela. Untuk beberapa saat lamanya lagi, ruangan kembali hening. Sampai Valenzka bertanya dengan suara pelan, “Salah satu teman kalian yang mana?”

“Ah! Dia tidak ada di sini. Setelah mendengar kabar Tante dilarikan ke rumah sakit ji- terdekat, Ia langsung mengurus surat pengunduran dirinya dan pindah ke luar kota,” jawab Nathan.

Melarikan diri, tentu saja, gerutu Valenzka dalam hati.

 

pic src: https://www.liputan6.com/news/read/4561853/jenazah-anggota-tni-korban-penyerangan-otk-di-papua-tiba-di-ambon

Tidak ada komentar:

Posting Komentar