Cari

15 Maret 2021

Keberangkatanku



Aku baru saja selesai merapikan dapur saat kulihat Gaddiel berada di kamar sedang merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Kami memang bukan pasangan baru, tapi usia pernikahan kami juga belum lama. Akan tetapi, hubungan kami tidak seperti pasangan lainnya yang biasanya dapat leluasa saling bermanja. Kami sama-sama adalah orang yang berdedikasi pada karier, walaupun mungkin aku lebih terlihat seperti memaksakan diri.

Aku tak mau membebani dirinya, jadi kutak pernah mengeluhkan apapun di depannya. Padahal jauh di dalam hati, aku seperti ingin menangis setiap kali banyak pekerjaan yang menghampiriku.

Hari ini kami belum berbincang selain hal-hal penting. Aku ingin memberitahunya mengenai penugasanku ke luar negeri selama beberapa hari yang jika berakhir baik, aku akan dipromosikan. Tapi entah mengapa, rasanya sangat berat untuk memberitahunya. Itu mengingatkanku pada masa kami menjalani hubungan jarak jauh. Aku tak mau lagi berada jauh dari Gaddiel, namun aku juga tak berani untuk membuang kesempatan langka ini.

Aku melangkah pelan menuju kamar. Gaddiel masih sibuk merapikan berkas-berkasnya. Aku melebarkan tanganku dan memeluknya dari belakang.

“Fel? ada apa?” tanyanya padaku. Tentu saja ia akan bertanya. Ini bukanlah hal yang lumrah kulakukan atau mungkin bisa kubilang jarang sekali terjadi. Namun lidahku membeku, aku tak bisa langsung menjawab dirinya. Di saat yang sama, aku merasakan kehangatan yang mengalir dari punggungnya. Kugosok-gosok wajahku di punggungnya ke kanan dan ke kiri, seperti sedang menggelengkan kepala secara perlahan. Aku menyukainya.

Gaddiel melepaskan diri dari pelukanku dan berbalik menghadapku setelah beberapa lama kami saling diam. Ia menarik tanganku melingkari pinggangnya lagi, kali ini ia juga memelukku. Ia mengecup keningku dan kembali bertanya, “Ada apa, Fel?”

Aku tak menjawabnya. Aku hanya memperlihatkan wajah manyun dan bersandar di dadanya yang lebar. Mengapa aku tak pernah merasakan kehangatan ini, ya? Pelukan darinya terasa jauh lebih nyaman. Ah, iya, aku sendiri yang selalu bertingkah sok dewasa. Sepertinya aku tak pernah menganggap ada sosok anak kecil dalam diriku.

“Biarkan seperti ini dulu. Sebentar saja,” pintaku. Ia tak membalasku lagi. Dapat kurasakan pelukannya yang semakin erat setelah kuucapkan permintaanku.

Selama hampir sejam, kami berpelukan. Aku hanya diam dalam pelukannya sedangkannya beberapa kali mencium kepalaku dan mengelus punggungku atau rambutku. Ekspresi kasih sayang ini, belum pernah kurasakan lagi sejak bekerja. Sepertinya aku pun sangat merindukan belaiannya yang hampir kulupakan rasanya.

Air mataku jatuh setiap merasakan belaiannya yang sangat lembut. Di saat yang sama, belaian Gaddiel semakin intens dan terus-menerus, hampir tak berhenti. Sepertinya aku harus berhenti sok tegar.

Waktu kembali berlalu, akhirnya aku melepaskan pelukanku darinya. Ia bertanya lagi padaku pertanyaan yang sama. Kuangkat kepalaku, menatapnya. Baru saja kuhendak menjawab pertanyaannya, ia menahanku ia menahan tanganku yang akan mengucek mata merahku selepas menangis.

“Jangan! Jangan dikucek. Nanti tambah merah,” ucapnya. Ia menuntunku ke ranjang dan membaringkanku, kemudian keluar dari kamar. Ia kembali dengan sehelai kain basah di tangannya. Ia meletakkannya secara perlahan menutupi mataku, setelahnya aku merasakan ia duduk di sebelahku.

“Ada apa, Fel?” tanyanya lagi sembari mengelus salah satu tanganku. Pertanyaan yang belum sempat kujawab sedari tadi.

“Bukan apa-apa,” jawabku setelah menarik dan membuang napas beberapa kali, “Hanya…, aku mendapat asisten di luar negeri, jadi….”

Aku masih berusaha sok tegar, bahkan setelah menangis tadi. Di saat yang sama, aku dapat mendengar suara hela napas Gaddiel yang panjang seperti merasa lega akan sesuatu. Kemudian ia mencium punggung tanganku dan berkata, “Aku pikir ada apaan. Kau sampai menangis seperti itu. Membuatku takut saja.”

Aku tersenyum lebar, menunjukkan gigiku yang berbaris dalam mulutku. Tidak, aku tidak sedang tertawa. Namun, ada sedikit perasaan senang mendengar perasaan lega Gaddiel. Aku tak pernah tahu kau sangat sekhawatir itu padaku.

“Memangnya ke mana? Kapan? Selama berapa hari?” tanyanya.

“Bulan depan, selama tiga hari di Los Angeles.”

Ia tak menjawabku. Aku merasakan keheningan yang menerpa kami selama beberapa lama sampai kurasakan ia menggenggam erat tanganku. Kuangkat kain yang menutupi mataku dan bangkit dari kasur. Kulihat matanya yang hampir tak berkedip. Entah ia merasakannya atau tidak, kali ini matanyalah yang berkaca-kaca. Ia mengecup punggung tanganku lagi sebelum menatapku lagi sambil tersenyum.

“Tak apa-apa. Pergilah. Aku akan menjemputmu di bandara saat kau pulang nanti.”

Malamnya, kami tidur dalam posisi saling memeluk satu sama lain. Tak butuh waktu lama hingga akhirnya aku tertidur dalam pelukannya. Namun sebelum jatuh tertidur, dapat kurasakan detak jantungnya berdegup sangat cepat. Mengapa sebelumnya aku tak pernah seperti ini? Ini sangat nyaman. Aku ingin seperti ini terus.

Sisa tinggal tiga hari lagi sebelum keberangkatanku. Aku sedang membereskan keperluan yang akan kubawa ketika Gaddiel masuk ke kamar dan meletakkan sebuah baju hangat yang belum pernah kulihat sebelumnya di sebelah koperku yang berada di atas kasur.

“Bawalah ini juga. Setahuku LA jauh lebih dingin daripada di sini, jadi sering-seringlah kenakan ini,” ujarnya. Aku mengambil baju hangat itu dan tersenyum sebelum memasukkannya ke dalam koper. Kemudian kupeluk dirinya untuk kesekian kalinya sejak saat itu dan berterima kasih.

Ia membalas pelukanku. Dekapannya terasa sangat erat, seakan-akan kami akan berpisah selamanya. Sejak saat itu, kami jadi sering berpelukan. Seharusnya sering kami lakukan sejak awal bersama.

“Kau ingin kubawakan apa dari sana?” tanyaku padanya.

“Kau bawa dirimu saja. Kau bawa dirimu yang selamat padaku.”

Aku tersenyum lebar mendengar jawaban darinya. “Baiklah.”

Di hari kuakan berangkat, di depan pintu bandara. Berulang kali kuperiksa tasku, memastikan segala keperluan untuk check in tidak ada yang tertinggal. Tak ada perbincangan antara kami. Gaddiel hanya berdiri di sebelahku, memperhatikanku. Sampai kemudian terdengar pengumuman bahwa pesawat penerbanganku telah diperbolehkan untuk check in, aku berusaha tersenyum pada Gaddiel dan melambai padanya.

“Sampai jumpa. Akan kukabari begitu sampai.”

“Iya.”

Ia menjawabku dengan lambaian tangan yang lemah. Tidak seperti dirinya. Ia selalu menampilakan sosoknya yang kuat. Tampaknya kami adalah pasangan sok tegar, pikirku sambil menahan tawa kecil.

Aku baru berbalik hendak melangkah masuk ke dalam bandara saat aku dikejutkan dengan Gaddiel yang menarik tanganku tiba-tiba. Aku menatap lurus ke arah matanya. Matanya telah berkaca-kaca, kali ini terlihat lebih jelas dari pada yang terakhir kali.

“Kumohon, jangan pergi.”

“Tidak, jangan, jangan memohon seperti itu. Aku tidak bisa menolak permintaanmu jika kau berekspresi seperti itu. Tapi aku juga tak bisa melepaskan kesempatan ini begitu saja. Aku harus bagaimana?” dilemaku dalam hati.

Semakin kulihat matanya, semakin tak ingin kutinggalkan dirinya. Namun, tak ada satu pun kata yang dapat keluar dari bibirku. Semuanya tersangkut di tenggorokanku. Dan ia hanya menatapku dengan mata penuh ibanya yang polos. Hingga beberapa lama tak ada pergerakan dari kami, aku hendak mengatakan sesuatu. Namun akhirnya ia melepaskan tanganku dan membuka kedua lengannya.

“Boleh kudapat pelukan terakhir?”

Pertanyaan sederhana darinya sangat menyayat hatiku begitu mendengarnya. Tanpa berpikir apapun lagi, aku melayangkan pelukan padanya juga. Bahaya, jika seperti ini terus, aku akan semakin tak bisa meninggalkannya. Kalau bisa aku ingin terus memeluknya seperti sekarang ini.

“Penumpang dengan penerbangan XC-123, diharapkan melakukan check in. Check in akan ditutup dalam 15 menit. Penumpang dengan….”

“Kalau bisa…,” ketusku dalam hati.

“Pergilah, atau kau akan ketinggalan pesawat,” ucap Gaddiel padaku yang masih dalam pelukannya. Kulepas dekapanku, diikuti olehnya juga. Perlahan, aku melangkah menjauh darinya yang tak bergerak dari tempatnya berdiri. Entah hingga kapan ia akan berdiri di sana.

Aku sedang mengantre di tempat untuk check in saat tiba-tiba bosku menelponku. Kupikir ia menelponku karena mencariku yang belum berada di ruang tunggu. Ia adalah atasan yang tidak pernah ingin mendapat desakan waktu, jadi ia pasti selalu datang lebih awal di setiap pertemuan.

“Halo? Maaf, Pak, saya sedang mengantre untuk check in. Sebentar lagi saya ke sana.”

“Tidak, tidak apa-apa. Tidak perlu,” balasnya di ujung telepon, “Klien merubah jadwalnya. Ia yang akan mendatangi kita saat kunjungannya di Indonesia. Sekarang saya sedang mengurus pengambilan bagasi saya kembali karena batal. Kau boleh langsung pulang saja.”

Seperti sebuah pemberian hadiah yang sangat berharga. Hal ini tak pernah kuduga sama sekali. Selama beberapa detik, bibirku kelu meski hanya untuk mengucapkan terima kasih padanya.

“Halo? Kau masih di sana?”

“Ah, iya, Pak. Baiklah, terima kasih banyak, Pak,” balasku berusaha menahan rasa senang yang meluap-luap.

“Tidak, aku yang seharusnya minta maaf padamu karena merepotkan dirimu.”

“Bukan masalah.”

Segera kucari nomor kontak Gaddiel begitu kami menyudahi percakapan kami. Tak buang-buang waktu, aku pun menelpon dirinya sembari berjalan kembali ke tempat kami berpisah tadi. Rasa senang dalam diriku… tak dapat didefinisikan.

“Aneh, kenapa dia dari tadi tidak mengangkat teleponku? Semoga tidak terjadi sesuatu padanya,” harapku dalam hati. Aku telah menghubunginya berulang kali hingga kuberdiri di sini. Entah sudah berapa puluh panggilan yang kubuat, tapi tak ada satupun yang ia jawab. Pesanku padanya pun tidak dibaca olehnya. Ini membuatku khawatir. Hingga tiba-tiba, aku mendengar suatu suara yang keras.

Kulihat sekeliling, sepertinya orang-orang lain juga bertanya-tanya suara apa itu. Tapi tak terlihat ada satu orang pun yang mengetahuinya. Aku masih terus menelepon Gaddiel. Sampai kemudian kulihat sosok seseorang yang terlihat setengah berlari dan itu adalah Gaddiel.

“Gaddiel!” teriakku. Ia mendengar teriakkanku dan menoleh ke arahku. Aku berjalan ke arahnya. Semakin dekat langkahku padanya semakin dapat kulihat ekspresinya. Dari pada ekspresi senang, ia lebih menunjukkan ekspresi terkejutnya. Aku senang melihatnya ternyata baik-baik saja, namun aku juga kesal teleponku tak dijawab sama sekali. Begitu aku berada di hadapannya, kutepuk perutnya.

“Dari tadi aku telepon kenapa tidak diangkat, sih? Kamu habis dari mana? Ada apa kembali ke sini?” tanyaku sambil menunjukkan ekspresi kurang senang. Akan tetapi ia tak memjawabku, ia langsung mendekapku kuat-kuat. Sangat kuat hingga rasanya seperti akan meremukkan tulang belulangku. Aku meronta padanya, untungnya ia langsung melepaskannya.

“Maaf, maaf. bukankah seharusnya kau sudah berada di pesawat?” tanyanya padaku. Aku mengangguk padanya kemudian kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Gaddiel tersenyum setelah aku selesai bercerita. Ia menepuk kepalaku dan kemudian mengelus rambutku.

“Welcome home, Honey.”

“I am home, Darling,” balasku tersenyum, “Kau tadi kenapa berlari? Kau ingin ke suatu tempat?”

“Bukan apa-apa. Ayo, kita pulang,” ujarnya sambil mengambil koper yang kutarik sedari tadi dan menggandengku kembali ke mobil untuk pulang.


pc src: https://p2.piqsels.com/preview/789/937/128/aircraft-landing-reach-injection-thumbnail.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar