Aku baru saja selesai merapikan dapur saat kulihat Gaddiel berada di kamar sedang merapikan berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Kami memang bukan pasangan baru, tapi usia pernikahan kami juga belum lama. Akan tetapi, hubungan kami tidak seperti pasangan lainnya yang biasanya dapat leluasa saling bermanja. Kami sama-sama adalah orang yang berdedikasi pada karier, walaupun mungkin aku lebih terlihat seperti memaksakan diri.
Aku tak mau
membebani dirinya, jadi kutak pernah mengeluhkan apapun di depannya. Padahal
jauh di dalam hati, aku seperti ingin menangis setiap kali banyak pekerjaan
yang menghampiriku.
Hari ini
kami belum berbincang selain hal-hal penting. Aku ingin memberitahunya mengenai
penugasanku ke luar negeri selama beberapa hari yang jika berakhir baik, aku
akan dipromosikan. Tapi entah mengapa, rasanya sangat berat untuk
memberitahunya. Itu mengingatkanku pada masa kami menjalani hubungan jarak
jauh. Aku tak mau lagi berada jauh dari Gaddiel, namun aku juga tak berani
untuk membuang kesempatan langka ini.
Aku
melangkah pelan menuju kamar. Gaddiel masih sibuk merapikan berkas-berkasnya.
Aku melebarkan tanganku dan memeluknya dari belakang.
“Fel? ada
apa?” tanyanya padaku. Tentu saja ia akan bertanya. Ini bukanlah hal yang
lumrah kulakukan atau mungkin bisa kubilang jarang sekali terjadi. Namun lidahku
membeku, aku tak bisa langsung menjawab dirinya. Di saat yang sama, aku
merasakan kehangatan yang mengalir dari punggungnya. Kugosok-gosok wajahku di
punggungnya ke kanan dan ke kiri, seperti sedang menggelengkan kepala secara
perlahan. Aku menyukainya.
Gaddiel
melepaskan diri dari pelukanku dan berbalik menghadapku setelah beberapa lama
kami saling diam. Ia menarik tanganku melingkari pinggangnya lagi, kali ini ia
juga memelukku. Ia mengecup keningku dan kembali bertanya, “Ada apa, Fel?”
Aku tak
menjawabnya. Aku hanya memperlihatkan wajah manyun dan bersandar di dadanya
yang lebar. Mengapa aku tak pernah merasakan kehangatan ini, ya? Pelukan
darinya terasa jauh lebih nyaman. Ah, iya, aku sendiri yang selalu bertingkah
sok dewasa. Sepertinya aku tak pernah menganggap ada sosok anak kecil dalam
diriku.
“Biarkan
seperti ini dulu. Sebentar saja,” pintaku. Ia tak membalasku lagi. Dapat
kurasakan pelukannya yang semakin erat setelah kuucapkan permintaanku.
Selama hampir
sejam, kami berpelukan. Aku hanya diam dalam pelukannya sedangkannya beberapa
kali mencium kepalaku dan mengelus punggungku atau rambutku. Ekspresi kasih
sayang ini, belum pernah kurasakan lagi sejak bekerja. Sepertinya aku pun
sangat merindukan belaiannya yang hampir kulupakan rasanya.
Air mataku
jatuh setiap merasakan belaiannya yang sangat lembut. Di saat yang sama,
belaian Gaddiel semakin intens dan terus-menerus, hampir tak berhenti. Sepertinya
aku harus berhenti sok tegar.
Waktu
kembali berlalu, akhirnya aku melepaskan pelukanku darinya. Ia bertanya lagi
padaku pertanyaan yang sama. Kuangkat kepalaku, menatapnya. Baru saja kuhendak
menjawab pertanyaannya, ia menahanku ia menahan tanganku yang akan mengucek
mata merahku selepas menangis.
“Jangan!
Jangan dikucek. Nanti tambah merah,” ucapnya. Ia menuntunku ke ranjang dan
membaringkanku, kemudian keluar dari kamar. Ia kembali dengan sehelai kain
basah di tangannya. Ia meletakkannya secara perlahan menutupi mataku,
setelahnya aku merasakan ia duduk di sebelahku.
“Ada apa,
Fel?” tanyanya lagi sembari mengelus salah satu tanganku. Pertanyaan yang belum
sempat kujawab sedari tadi.
“Bukan
apa-apa,” jawabku setelah menarik dan membuang napas beberapa kali, “Hanya…,
aku mendapat asisten di luar negeri, jadi….”
Aku masih
berusaha sok tegar, bahkan setelah menangis tadi. Di saat yang sama, aku dapat
mendengar suara hela napas Gaddiel yang panjang seperti merasa lega akan
sesuatu. Kemudian ia mencium punggung tanganku dan berkata, “Aku pikir ada
apaan. Kau sampai menangis seperti itu. Membuatku takut saja.”
Aku
tersenyum lebar, menunjukkan gigiku yang berbaris dalam mulutku. Tidak, aku
tidak sedang tertawa. Namun, ada sedikit perasaan senang mendengar perasaan
lega Gaddiel. Aku tak pernah tahu kau sangat sekhawatir itu padaku.
“Memangnya
ke mana? Kapan? Selama berapa hari?” tanyanya.
“Bulan
depan, selama tiga hari di Los Angeles.”
Ia tak
menjawabku. Aku merasakan keheningan yang menerpa kami selama beberapa lama
sampai kurasakan ia menggenggam erat tanganku. Kuangkat kain yang menutupi
mataku dan bangkit dari kasur. Kulihat matanya yang hampir tak berkedip. Entah
ia merasakannya atau tidak, kali ini matanyalah yang berkaca-kaca. Ia mengecup
punggung tanganku lagi sebelum menatapku lagi sambil tersenyum.
“Tak
apa-apa. Pergilah. Aku akan menjemputmu di bandara saat kau pulang nanti.”
Malamnya,
kami tidur dalam posisi saling memeluk satu sama lain. Tak butuh waktu lama
hingga akhirnya aku tertidur dalam pelukannya. Namun sebelum jatuh tertidur,
dapat kurasakan detak jantungnya berdegup sangat cepat. Mengapa sebelumnya
aku tak pernah seperti ini? Ini sangat nyaman. Aku ingin seperti ini terus.
Sisa
tinggal tiga hari lagi sebelum keberangkatanku. Aku sedang membereskan
keperluan yang akan kubawa ketika Gaddiel masuk ke kamar dan meletakkan sebuah
baju hangat yang belum pernah kulihat sebelumnya di sebelah koperku yang berada
di atas kasur.
“Bawalah
ini juga. Setahuku LA jauh lebih dingin daripada di sini, jadi sering-seringlah
kenakan ini,” ujarnya. Aku mengambil baju hangat itu dan tersenyum sebelum
memasukkannya ke dalam koper. Kemudian kupeluk dirinya untuk kesekian kalinya
sejak saat itu dan berterima kasih.
Ia membalas
pelukanku. Dekapannya terasa sangat erat, seakan-akan kami akan berpisah
selamanya. Sejak saat itu, kami jadi sering berpelukan. Seharusnya sering
kami lakukan sejak awal bersama.
“Kau ingin
kubawakan apa dari sana?” tanyaku padanya.
“Kau bawa
dirimu saja. Kau bawa dirimu yang selamat padaku.”
Aku
tersenyum lebar mendengar jawaban darinya. “Baiklah.”
Di hari
kuakan berangkat, di depan pintu bandara. Berulang kali kuperiksa tasku,
memastikan segala keperluan untuk check in tidak ada yang tertinggal.
Tak ada perbincangan antara kami. Gaddiel hanya berdiri di sebelahku,
memperhatikanku. Sampai kemudian terdengar pengumuman bahwa pesawat
penerbanganku telah diperbolehkan untuk check in, aku berusaha tersenyum
pada Gaddiel dan melambai padanya.
“Sampai
jumpa. Akan kukabari begitu sampai.”
“Iya.”
Ia
menjawabku dengan lambaian tangan yang lemah. Tidak seperti dirinya. Ia
selalu menampilakan sosoknya yang kuat. Tampaknya kami adalah pasangan sok
tegar, pikirku sambil menahan tawa kecil.
Aku baru
berbalik hendak melangkah masuk ke dalam bandara saat aku dikejutkan dengan Gaddiel
yang menarik tanganku tiba-tiba. Aku menatap lurus ke arah matanya. Matanya
telah berkaca-kaca, kali ini terlihat lebih jelas dari pada yang terakhir kali.
“Kumohon,
jangan pergi.”
“Tidak,
jangan, jangan memohon seperti itu. Aku tidak bisa menolak permintaanmu jika
kau berekspresi seperti itu. Tapi aku juga tak bisa melepaskan kesempatan ini
begitu saja. Aku harus bagaimana?” dilemaku dalam hati.
Semakin
kulihat matanya, semakin tak ingin kutinggalkan dirinya. Namun, tak ada satu
pun kata yang dapat keluar dari bibirku. Semuanya tersangkut di tenggorokanku.
Dan ia hanya menatapku dengan mata penuh ibanya yang polos. Hingga beberapa
lama tak ada pergerakan dari kami, aku hendak mengatakan sesuatu. Namun
akhirnya ia melepaskan tanganku dan membuka kedua lengannya.
“Boleh
kudapat pelukan terakhir?”
Pertanyaan
sederhana darinya sangat menyayat hatiku begitu mendengarnya. Tanpa berpikir
apapun lagi, aku melayangkan pelukan padanya juga. Bahaya, jika seperti ini
terus, aku akan semakin tak bisa meninggalkannya. Kalau bisa aku ingin terus
memeluknya seperti sekarang ini.
“Penumpang
dengan penerbangan XC-123, diharapkan melakukan check in. Check in akan ditutup
dalam 15 menit. Penumpang dengan….”
“Kalau
bisa…,” ketusku dalam hati.
“Pergilah,
atau kau akan ketinggalan pesawat,” ucap Gaddiel padaku yang masih dalam
pelukannya. Kulepas dekapanku, diikuti olehnya juga. Perlahan, aku melangkah
menjauh darinya yang tak bergerak dari tempatnya berdiri. Entah hingga kapan ia
akan berdiri di sana.
Aku sedang
mengantre di tempat untuk check in saat tiba-tiba bosku menelponku.
Kupikir ia menelponku karena mencariku yang belum berada di ruang tunggu. Ia
adalah atasan yang tidak pernah ingin mendapat desakan waktu, jadi ia pasti
selalu datang lebih awal di setiap pertemuan.
“Halo?
Maaf, Pak, saya sedang mengantre untuk check in. Sebentar lagi saya ke sana.”
“Tidak,
tidak apa-apa. Tidak perlu,” balasnya di ujung telepon, “Klien merubah
jadwalnya. Ia yang akan mendatangi kita saat kunjungannya di Indonesia. Sekarang
saya sedang mengurus pengambilan bagasi saya kembali karena batal. Kau boleh
langsung pulang saja.”
Seperti
sebuah pemberian hadiah yang sangat berharga. Hal ini tak pernah kuduga sama
sekali. Selama beberapa detik, bibirku kelu meski hanya untuk mengucapkan terima
kasih padanya.
“Halo? Kau
masih di sana?”
“Ah, iya,
Pak. Baiklah, terima kasih banyak, Pak,” balasku berusaha menahan rasa senang
yang meluap-luap.
“Tidak, aku
yang seharusnya minta maaf padamu karena merepotkan dirimu.”
“Bukan
masalah.”
Segera
kucari nomor kontak Gaddiel begitu kami menyudahi percakapan kami. Tak
buang-buang waktu, aku pun menelpon dirinya sembari berjalan kembali ke tempat
kami berpisah tadi. Rasa senang dalam diriku… tak dapat didefinisikan.
“Aneh,
kenapa dia dari tadi tidak mengangkat teleponku? Semoga tidak terjadi sesuatu
padanya,” harapku dalam hati. Aku telah menghubunginya berulang kali hingga
kuberdiri di sini. Entah sudah berapa puluh panggilan yang kubuat, tapi tak ada
satupun yang ia jawab. Pesanku padanya pun tidak dibaca olehnya. Ini membuatku
khawatir. Hingga tiba-tiba, aku mendengar suatu suara yang keras.
Kulihat
sekeliling, sepertinya orang-orang lain juga bertanya-tanya suara apa itu. Tapi
tak terlihat ada satu orang pun yang mengetahuinya. Aku masih terus menelepon
Gaddiel. Sampai kemudian kulihat sosok seseorang yang terlihat setengah berlari
dan itu adalah Gaddiel.
“Gaddiel!”
teriakku. Ia mendengar teriakkanku dan menoleh ke arahku. Aku berjalan ke
arahnya. Semakin dekat langkahku padanya semakin dapat kulihat ekspresinya.
Dari pada ekspresi senang, ia lebih menunjukkan ekspresi terkejutnya. Aku
senang melihatnya ternyata baik-baik saja, namun aku juga kesal teleponku tak
dijawab sama sekali. Begitu aku berada di hadapannya, kutepuk perutnya.
“Dari tadi
aku telepon kenapa tidak diangkat, sih? Kamu habis dari mana? Ada apa kembali
ke sini?” tanyaku sambil menunjukkan ekspresi kurang senang. Akan tetapi ia tak
memjawabku, ia langsung mendekapku kuat-kuat. Sangat kuat hingga rasanya
seperti akan meremukkan tulang belulangku. Aku meronta padanya, untungnya ia
langsung melepaskannya.
“Maaf,
maaf. bukankah seharusnya kau sudah berada di pesawat?” tanyanya padaku. Aku
mengangguk padanya kemudian kuceritakan apa yang terjadi sebenarnya. Gaddiel
tersenyum setelah aku selesai bercerita. Ia menepuk kepalaku dan kemudian
mengelus rambutku.
“Welcome
home, Honey.”
“I am home,
Darling,” balasku tersenyum, “Kau tadi kenapa berlari? Kau ingin ke suatu
tempat?”
“Bukan
apa-apa. Ayo, kita pulang,” ujarnya sambil mengambil koper yang kutarik sedari
tadi dan menggandengku kembali ke mobil untuk pulang.
pc src: https://p2.piqsels.com/preview/789/937/128/aircraft-landing-reach-injection-thumbnail.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar