Cari

15 November 2020

Kami (Tidak) Berteman

 Temanmu Menusuk dari Belakang? Lakukan 5 Hal Ini Kepadanya!

Namaku Frederina, mahasiswa tingkat tiga program studi biologi. Saat ini, aku sedang duduk di sebelah teman baikku sedari SMA yang sudah berbaring di ranjang rumah sakit selama lima hari. Keadaannya sudah jauh lebih baik daripada pertama kali ia dilarikan kemari yang bahkan ia sempat tak sadarkan diri selama tiga hari. Ini semua dapat terjadi ada hubungannya dengan dua teman dekatku yang lain, Parviz dan Aziel.

Mungkin hal ini harus kuceritakan dari awal. Semua juga ada hubungannya dengan salah satu dosen pria di program studiku, mari sebut saja Pak X. Dia memiliki perawakan yang lembut, sehingga sering menjadi bahan bercandaan mahasiswa di luar jam kuliah. Dan tak lama setelahnya, topiknya berubah. Dari yang terakhir kali kudengar, dikatakan kalau Pak X itu adalah penyuka sesama jenis, banyak dari teman seprogram studiku pun berusaha menghindarinya. Awalnya aku hanya menganggapnya bahan bercandaan saja, namun ternyata selama ini candaan itu benar.

Awal tahun ini, salah satu temanku – Parviz – dipanggil oleh Pak X ke ruangannya. Parviz adalah koordinator kelas untuk mata kuliahnya, jadi bukan hal aneh bagi kami semua jika ia sering dipanggil. Namun, saat itu adalah terakhir kalinya Parviz menginjakkan kaki ke dalam ruangannya.

Teman baikku, Miyori, secara kebetulan memiliki urusan di lantai yang sama sehingga ia melewati ruangan Pak X. Dan dari dalam, ia mendengar teriakan Parviz. Sontak ia terkejut. Segera ia menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil nama Parviz.

“MIO! TOLONG!”

Kami yang mendengar suara teriakan Miyori segera berlari ke sumber suara. Di sana, Miyori berusaha membuka pintu yang terkunci dengan Parviz yang tetap meminta tolong. Aziel langsung mendekati Miyori, menyuruhnya untuk mundur, dan mendobrak pintunya. Sesaat setelah pintu terbuka, Parviz dengan tubuh kecilnya yang gemetaran, berlari keluar dan bersembunyi di belakang Miyori. Aku yang berdiri tak jauh dari mereka dapat melihat raut wajah Pak X yang pucat. Kabar ini pun telah diberitahukan kepada kepala program studi dan dosen lainnya. Bagaimana selanjutnya kurasa tak perlu kuceritakan.

Setelah kejadian itu, Parviz menjadi sangat paranoid dengan sesama jenis. Ia pun menjaga jarak dengan Aziel yang mana adalah teman dekatnya sendiri. Aku paham akan perasaannya. Namun, ia menjadi sangat bergantung pada Miyori dan itu semua menuntun pada pertengkaran antara Aziel dan Miyori. Mereka adalah sepasang kekasih yang sudah menjalin hubungan selama setahun lebih.

Pada awalnya, Aziel berusaha mengerti keadaan Parviz dan membiarkan Miyori untuk terus membantunya. Akan tetapi, setelah berjalan cukup lama, Aziel telah mencapai puncak kesabarannya. Ia berkata padaku waktu itu, “Ini sudah keterlaluan Rina! Aku mengerti kalau Parviz butuh waktu untuk tidak bersamaku. Tapi yang tidak kumengerti adalah mengapa ia harus selalu melibatkan Mio! Padahal ada kau juga yang perempuan, bukan hanya Mio. Dan aku tak bisa ikut dengan mereka!”

“Mungkin karena waktu itu Mio yang pertama kali menemukannya jadi ia merasa lebih nyaman dengannya.”

“Baiklah jika dia merasa lebih nyaman dengan Mio daripada kau. Tapi harusnya Mio juga bisa mikir! Aku pacar dia! Tapi ia lebih terlihat seperti kekasih Parviz daripadaku.”

Tak berapa lama setelah ia berkata itu, ponselnya berdering. Warna wajahnya semakin merah begitu membaca pesan yang ia terima. Ia beranjak dari tempat duduknya dan melangkah pergi.

“Ziel! Kau mau kemana?” teriakku sambil berusaha mengejar Aziel yang melangkah semakin cepat.

“Ke kos Parviz!”

“Untuk apa? Apa yang membuatmu begitu marah?”

Pertanyaanku tak dijawab dengan suaranya. Ia melemparkan ponselnya yang masih menyala kepadaku. Aku melihat isi pesan yang ternyata berasal dari Mio. Seketika itu pun aku mengerti mengapa Aziel sangat marah.

“Maaf, lagi-lagi rencana kita harus ditunda. Parviz masih sangat takut. Aku akan mengantar ke kosnya. Aku takkan bisa menyusul tepat waktu setelahnya. Kuharap kau mengerti keadaannya,” tulisnya.

Aku kembali berlari menyusul Aziel yang sudah cukup jauh dariku. Dan sesampainya kami di depan kos Parviz yang berada di pinggir jalan besar, kemarahan Aziel bertambah begitu ia melihat Parviz dan Mio bergandengan tangan. Ia tak bisa menahan emosinya lagi dan langsung melayangkan pukulan tepat di wajah Parviz yang membuatnya terjatuh.

“Ziel! Apa yang kau lakukan?” teriak Mio. Mio baru saja hendak membantu Parviz untuk bangun namun ditahan oleh Aziel.

“Sudah cukup kau terus-terusan membantunya sampai kau lupa dengan pacarmu sendiri! Kau pikir aku akan terus menerus diam melihat kau lebih mementingkan dia daripada aku?”

“Tapi, kan, kondisi kalian berbeda. Parviz lebih butuh – ”

“Lalu aku tidak begitu? Kejadian itu sudah berlalu tiga bulan lebih! Bahkan di antara kita ada Rina yang juga bisa membantu, bukan hanya kau saja. Kau bisa minta Rina menggantikanmu. Bukannya malah menunda, tidak, bukan menunda. Tapi membatalkan rencana kita yang sudah kita buat dari jauh-jauh hari!”

Aku mendekati mereka dan membantu Parviz berdiri. Aku ingin mencoba melerai mereka. Akan tetapi sebelum aku sempat berkata apa-apa, Aziel kembali mencurahkan kemarahannya pada Parviz.

“Kau juga! Jangan-jangan kau mencari-cari kesempatan untuk merebut Mio dariku! Wah, skenario yang bagus sekali! Kau gunakan alasan menyedihkanmu itu untuk menjauhkanku darinya. Benar-benar brengsek!” teriaknya pada parviz sambil hendak melayangkan pukulan lain, namun ditahan oleh Mio.

“Hentikan Ziel! Kau akan membuat traumanya semakin parah!”

Perdebatan mereka tak berhenti di sana. Aziel bersikeras berpendapat apa yang Mio lakukan itu tidak semestinya dan Mio tetap bersiteguh bahwa yang ia lakukan benar. Aku tak berada di posisi yang dapat memihak siapapun, jadi aku hanya berdiri memerhatikan mereka. Sampai aku sadar, Parviz yang berada di sebelahku, menunjukkan senyum tipis.

“Viz,” bisikku. “Kau tak benar-benar ingin merebut Mio dari Ziel, kan?”

Parviz tak menjawabku. Ia hanya menoleh kepadaku dan tersenyum lebar. Aku terkejut dengan reaksi yang ia berikan padaku. Parviz yang selama ini kupandang sebagai lelaki hebat, berubah menjadi orang yang tak memiliki hati.

“Terserah apa maumu sekarang! Aku pergi!” teriak Mio.

Mio berjalan pergi meninggalkan kami, hendak kembali ke kosnya. Aziel yang merasa masalah mereka belum selesai, mengejar Mio. Ia menggapai lengan Mio dan berusaha menariknya kembali, namun Mio dapat mengelak darinya. Setelahnya adalah hal yang tak pernah kami bayangkan. Mio yang tak bisa menjaga keseimbangannya saat mengelak, tertubruk sangat keras oleh mobil yang hendak lewat.

Syukurlah keadaannya tak mengancam jiwa meski tubuhnya penuh dengan luka. Selama Mio tak sadarkan diri, kami bertigalah yang menjaganya di rumah sakit. Ini karena keluarga Mio yang berada jauh di luar pulau sehingga tidak memungkinkan untuk datang. Selama kami menjaganya, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut kami selain untuk berbicara dengan dokter atau suster.

“Aku di mana?” tanya Mio saat pertama kali membuka matanya. Kami yang begitu senang, berkumpul mendekatinya dan menyingkirkan ego kami untuk sesaat.

“Kau ada di rumah sakit,” jawabku.

“Memangnya apa yang terjadi padaku?”

“Kau tertabrak mobil di depan kos Parviz saat hendak mengelak dari pertikaian antara kau dan Aziel.”

Mio memandangku. “Parviz? Aziel?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala dengan tatapan bingung.  Kemudian Mio menatap ke arah Aziel dan Parviz. “Kalian siapa?”

Sesaat dunia terasa seperti berhenti berputar. Senyum yang awalnya terukir di bibir kami perlahan sirna. Aku menatap ke arah mereka berdua dan dapat kulihat kesedihan yang mendalam di mata Aziel hingga berkaca-kaca, namun berbeda dengan dengan Parviz. Matanya memang menunjukkan ketidakpercayaan, tapi juga memancarkan cahaya yang seakan-akan ini adalah kesempatan yang sayang untuk dilewatkan.

“Kau tak ingat mereka?”

“Tidak. Apa aku sebenarnya mengenal mereka?”

“Aku akan memanggil dokter,” ucap Parviz sebelum meninggalkan ruangan.

“Itu Parviz yang baru saja pergi. Dan ini Aziel, pacarmu.”

“Pacar? Sejak kapan aku punya? Dan dari mana aku mengenalnya?”

“Apa kau benar-benar tak ingat kebersamaan kita selama lebih dari setahun, Mio? Saat kita kuliah atau pun saat kita menghabiskan waktu berdua?” tanya Aziel.

“Aku sudah kuliah?”

Di saat yang sama, Parviz kembali bersama dengan dokter yang selama ini merawat Mio. Kami memperhatikan jawaban-jawaban yang Mio berikan setiap dokter bertanya padanya. Dan dari situ aku mengetahui kalau ingatan Mio hanya sampai saat kami SMA.

Kini, kami menunggunya pulih hingga dokter mengijinkannya pulang. Aku memerhatikannya yang sedang terlelap menghadap ke arah jendela rumah sakit sebelum akhirnya aku melihat ke arah Aziel dan Parviz. Aziel masih sama dengan matanya yang sembab termenung di sudut kamar. Parviz… Parviz tertidur di sudut lain kamar dengan posisi duduk. Aku beranjak dari tempatku dan menghampiri Aziel.

“Ziel, tolong jaga Mio sebentar. Ada yang ingin kubicarakan dengan Parviz.”

“Ah, iya, iya.”

Aku berjalan ke arah Parviz dan membangunkannya. “Viz, bangun! Kita harus bicara,” ucapku sebelum berjalan ke luar ruangan. Parviz mengikutiku dengan mata setengah terbuka.

“Apa yang ingin kau bicarakan, Rin?”

“Kau tak benar serius, bukan? Senyum lebarmu terhadap pertanyaanku sesaat sebelum kecelakaan Mio.”

“Menurutmu?” balasnya dengan senyuman yang sama.

“Kita berempat sudah berteman dari awal perkuliahan, Viz! Setega itukah kau terhadap temanmu sendiri? Di mana hati nuranimu? Aku selama ini memandangmu sebagai lelaki yang hebat, bertanggung jawab, pekerja keras, dan – ”

“Ya, ya, ya, terima kasih atas pujianmu. Kau pikir selama ini aku mau berteman dengan kalian karena apa? Ya karena ingin Mio. Satu-satunya alasan aku bertahan di lingkar pertemanan ini hanya Mio. Sudahlah, berhenti berdebat denganku. Aku ingin cari udara segar dulu. Hoaamm….”

Aku menatap setiap langkah yang Parviz ambil hingga menghilang di balik pintu utama sebelum kembali memandangi Mio dari luar kamar melalui jendela pintu. “Bagaimana akhir dari semua ini? Aku ingin kau segera mengingat semuanya, Miyori.”

pic src: https://cdn.idntimes.com/content-images/community/2017/08/8783294c73fdab596053981a874380e4-6ecbe7aeb824429cc733fee1592286b4_600x400.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar