Namaku Frederina, mahasiswa tingkat tiga program studi biologi. Saat ini, aku sedang duduk di sebelah teman baikku sedari SMA yang sudah berbaring di ranjang rumah sakit selama lima hari. Keadaannya sudah jauh lebih baik daripada pertama kali ia dilarikan kemari yang bahkan ia sempat tak sadarkan diri selama tiga hari. Ini semua dapat terjadi ada hubungannya dengan dua teman dekatku yang lain, Parviz dan Aziel.
Mungkin
hal ini harus kuceritakan dari awal. Semua juga ada hubungannya dengan salah
satu dosen pria di program studiku, mari sebut saja Pak X. Dia memiliki
perawakan yang lembut, sehingga sering menjadi bahan bercandaan mahasiswa di
luar jam kuliah. Dan tak lama setelahnya, topiknya berubah. Dari yang terakhir
kali kudengar, dikatakan kalau Pak X itu adalah penyuka sesama jenis, banyak
dari teman seprogram studiku pun berusaha menghindarinya. Awalnya aku hanya
menganggapnya bahan bercandaan saja, namun ternyata selama ini candaan itu
benar.
Awal
tahun ini, salah satu temanku – Parviz – dipanggil oleh Pak X ke ruangannya.
Parviz adalah koordinator kelas untuk mata kuliahnya, jadi bukan hal aneh bagi
kami semua jika ia sering dipanggil. Namun, saat itu adalah terakhir kalinya
Parviz menginjakkan kaki ke dalam ruangannya.
Teman
baikku, Miyori, secara kebetulan memiliki urusan di lantai yang sama sehingga
ia melewati ruangan Pak X. Dan dari dalam, ia mendengar teriakan Parviz. Sontak
ia terkejut. Segera ia menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil nama
Parviz.
“MIO!
TOLONG!”
Kami
yang mendengar suara teriakan Miyori segera berlari ke sumber suara. Di sana,
Miyori berusaha membuka pintu yang terkunci dengan Parviz yang tetap meminta
tolong. Aziel langsung mendekati Miyori, menyuruhnya untuk mundur, dan
mendobrak pintunya. Sesaat setelah pintu terbuka, Parviz dengan tubuh kecilnya
yang gemetaran, berlari keluar dan bersembunyi di belakang Miyori. Aku yang
berdiri tak jauh dari mereka dapat melihat raut wajah Pak X yang pucat. Kabar
ini pun telah diberitahukan kepada kepala program studi dan dosen lainnya.
Bagaimana selanjutnya kurasa tak perlu kuceritakan.
Setelah
kejadian itu, Parviz menjadi sangat paranoid dengan sesama jenis. Ia pun
menjaga jarak dengan Aziel yang mana adalah teman dekatnya sendiri. Aku paham
akan perasaannya. Namun, ia menjadi sangat bergantung pada Miyori dan itu semua
menuntun pada pertengkaran antara Aziel dan Miyori. Mereka adalah sepasang
kekasih yang sudah menjalin hubungan selama setahun lebih.
Pada
awalnya, Aziel berusaha mengerti keadaan Parviz dan membiarkan Miyori untuk
terus membantunya. Akan tetapi, setelah berjalan cukup lama, Aziel telah
mencapai puncak kesabarannya. Ia berkata padaku waktu itu, “Ini sudah
keterlaluan Rina! Aku mengerti kalau Parviz butuh waktu untuk tidak bersamaku.
Tapi yang tidak kumengerti adalah mengapa ia harus selalu melibatkan Mio!
Padahal ada kau juga yang perempuan, bukan hanya Mio. Dan aku tak bisa ikut
dengan mereka!”
“Mungkin
karena waktu itu Mio yang pertama kali menemukannya jadi ia merasa lebih nyaman
dengannya.”
“Baiklah
jika dia merasa lebih nyaman dengan Mio daripada kau. Tapi harusnya Mio juga
bisa mikir! Aku pacar dia! Tapi ia lebih terlihat seperti kekasih Parviz
daripadaku.”
Tak
berapa lama setelah ia berkata itu, ponselnya berdering. Warna wajahnya semakin
merah begitu membaca pesan yang ia terima. Ia beranjak dari tempat duduknya dan
melangkah pergi.
“Ziel!
Kau mau kemana?” teriakku sambil berusaha mengejar Aziel yang melangkah semakin
cepat.
“Ke
kos Parviz!”
“Untuk
apa? Apa yang membuatmu begitu marah?”
Pertanyaanku
tak dijawab dengan suaranya. Ia melemparkan ponselnya yang masih menyala
kepadaku. Aku melihat isi pesan yang ternyata berasal dari Mio. Seketika itu
pun aku mengerti mengapa Aziel sangat marah.
“Maaf,
lagi-lagi rencana kita harus ditunda. Parviz masih sangat takut. Aku akan
mengantar ke kosnya. Aku takkan bisa menyusul tepat waktu setelahnya. Kuharap
kau mengerti keadaannya,” tulisnya.
Aku
kembali berlari menyusul Aziel yang sudah cukup jauh dariku. Dan sesampainya
kami di depan kos Parviz yang berada di pinggir jalan besar, kemarahan Aziel
bertambah begitu ia melihat Parviz dan Mio bergandengan tangan. Ia tak bisa
menahan emosinya lagi dan langsung melayangkan pukulan tepat di wajah Parviz yang
membuatnya terjatuh.
“Ziel!
Apa yang kau lakukan?” teriak Mio. Mio baru saja hendak membantu Parviz untuk
bangun namun ditahan oleh Aziel.
“Sudah
cukup kau terus-terusan membantunya sampai kau lupa dengan pacarmu sendiri! Kau
pikir aku akan terus menerus diam melihat kau lebih mementingkan dia daripada
aku?”
“Tapi,
kan, kondisi kalian berbeda. Parviz lebih butuh – ”
“Lalu
aku tidak begitu? Kejadian itu sudah berlalu tiga bulan lebih! Bahkan di antara
kita ada Rina yang juga bisa membantu, bukan hanya kau saja. Kau bisa minta
Rina menggantikanmu. Bukannya malah menunda, tidak, bukan menunda. Tapi
membatalkan rencana kita yang sudah kita buat dari jauh-jauh hari!”
Aku
mendekati mereka dan membantu Parviz berdiri. Aku ingin mencoba melerai mereka.
Akan tetapi sebelum aku sempat berkata apa-apa, Aziel kembali mencurahkan
kemarahannya pada Parviz.
“Kau
juga! Jangan-jangan kau mencari-cari kesempatan untuk merebut Mio dariku! Wah,
skenario yang bagus sekali! Kau gunakan alasan menyedihkanmu itu untuk
menjauhkanku darinya. Benar-benar brengsek!” teriaknya pada parviz sambil
hendak melayangkan pukulan lain, namun ditahan oleh Mio.
“Hentikan
Ziel! Kau akan membuat traumanya semakin parah!”
Perdebatan
mereka tak berhenti di sana. Aziel bersikeras berpendapat apa yang Mio lakukan
itu tidak semestinya dan Mio tetap bersiteguh bahwa yang ia lakukan benar. Aku
tak berada di posisi yang dapat memihak siapapun, jadi aku hanya berdiri
memerhatikan mereka. Sampai aku sadar, Parviz yang berada di sebelahku,
menunjukkan senyum tipis.
“Viz,”
bisikku. “Kau tak benar-benar ingin merebut Mio dari Ziel, kan?”
Parviz
tak menjawabku. Ia hanya menoleh kepadaku dan tersenyum lebar. Aku terkejut
dengan reaksi yang ia berikan padaku. Parviz yang selama ini kupandang sebagai
lelaki hebat, berubah menjadi orang yang tak memiliki hati.
“Terserah
apa maumu sekarang! Aku pergi!” teriak Mio.
Mio
berjalan pergi meninggalkan kami, hendak kembali ke kosnya. Aziel yang merasa
masalah mereka belum selesai, mengejar Mio. Ia menggapai lengan Mio dan
berusaha menariknya kembali, namun Mio dapat mengelak darinya. Setelahnya
adalah hal yang tak pernah kami bayangkan. Mio yang tak bisa menjaga
keseimbangannya saat mengelak, tertubruk sangat keras oleh mobil yang hendak
lewat.
Syukurlah
keadaannya tak mengancam jiwa meski tubuhnya penuh dengan luka. Selama Mio tak
sadarkan diri, kami bertigalah yang menjaganya di rumah sakit. Ini karena
keluarga Mio yang berada jauh di luar pulau sehingga tidak memungkinkan untuk
datang. Selama kami menjaganya, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut
kami selain untuk berbicara dengan dokter atau suster.
“Aku
di mana?” tanya Mio saat pertama kali membuka matanya. Kami yang begitu senang,
berkumpul mendekatinya dan menyingkirkan ego kami untuk sesaat.
“Kau
ada di rumah sakit,” jawabku.
“Memangnya
apa yang terjadi padaku?”
“Kau
tertabrak mobil di depan kos Parviz saat hendak mengelak dari pertikaian antara
kau dan Aziel.”
Mio
memandangku. “Parviz? Aziel?” tanyanya. Aku menganggukkan kepala dengan tatapan
bingung. Kemudian Mio menatap ke arah
Aziel dan Parviz. “Kalian siapa?”
Sesaat
dunia terasa seperti berhenti berputar. Senyum yang awalnya terukir di bibir
kami perlahan sirna. Aku menatap ke arah mereka berdua dan dapat kulihat
kesedihan yang mendalam di mata Aziel hingga berkaca-kaca, namun berbeda dengan
dengan Parviz. Matanya memang menunjukkan ketidakpercayaan, tapi juga
memancarkan cahaya yang seakan-akan ini adalah kesempatan yang sayang untuk
dilewatkan.
“Kau
tak ingat mereka?”
“Tidak.
Apa aku sebenarnya mengenal mereka?”
“Aku
akan memanggil dokter,” ucap Parviz sebelum meninggalkan ruangan.
“Itu
Parviz yang baru saja pergi. Dan ini Aziel, pacarmu.”
“Pacar?
Sejak kapan aku punya? Dan dari mana aku mengenalnya?”
“Apa
kau benar-benar tak ingat kebersamaan kita selama lebih dari setahun, Mio? Saat
kita kuliah atau pun saat kita menghabiskan waktu berdua?” tanya Aziel.
“Aku
sudah kuliah?”
Di
saat yang sama, Parviz kembali bersama dengan dokter yang selama ini merawat
Mio. Kami memperhatikan jawaban-jawaban yang Mio berikan setiap dokter bertanya
padanya. Dan dari situ aku mengetahui kalau ingatan Mio hanya sampai saat kami SMA.
Kini,
kami menunggunya pulih hingga dokter mengijinkannya pulang. Aku memerhatikannya
yang sedang terlelap menghadap ke arah jendela rumah sakit sebelum akhirnya aku
melihat ke arah Aziel dan Parviz. Aziel masih sama dengan matanya yang sembab
termenung di sudut kamar. Parviz… Parviz tertidur di sudut lain kamar dengan
posisi duduk. Aku beranjak dari tempatku dan menghampiri Aziel.
“Ziel,
tolong jaga Mio sebentar. Ada yang ingin kubicarakan dengan Parviz.”
“Ah,
iya, iya.”
Aku
berjalan ke arah Parviz dan membangunkannya. “Viz, bangun! Kita harus bicara,”
ucapku sebelum berjalan ke luar ruangan. Parviz mengikutiku dengan mata
setengah terbuka.
“Apa
yang ingin kau bicarakan, Rin?”
“Kau
tak benar serius, bukan? Senyum lebarmu terhadap pertanyaanku sesaat sebelum
kecelakaan Mio.”
“Menurutmu?”
balasnya dengan senyuman yang sama.
“Kita
berempat sudah berteman dari awal perkuliahan, Viz! Setega itukah kau terhadap
temanmu sendiri? Di mana hati nuranimu? Aku selama ini memandangmu sebagai
lelaki yang hebat, bertanggung jawab, pekerja keras, dan – ”
“Ya,
ya, ya, terima kasih atas pujianmu. Kau pikir selama ini aku mau berteman
dengan kalian karena apa? Ya karena ingin Mio. Satu-satunya alasan aku bertahan
di lingkar pertemanan ini hanya Mio. Sudahlah, berhenti berdebat denganku. Aku
ingin cari udara segar dulu. Hoaamm….”
Aku
menatap setiap langkah yang Parviz ambil hingga menghilang di balik pintu utama
sebelum kembali memandangi Mio dari luar kamar melalui jendela pintu. “Bagaimana
akhir dari semua ini? Aku ingin kau segera mengingat semuanya, Miyori.”
pic src: https://cdn.idntimes.com/content-images/community/2017/08/8783294c73fdab596053981a874380e4-6ecbe7aeb824429cc733fee1592286b4_600x400.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar