“I really miss you darling,” ucapku
meneteskan air mata. Ia membalas pelukanku dan mengelus rambutku. “Either did I,” jawabnya.
Aku
Nardilla, mahasiswi semester empat di salah satu universitas di Indonesia.
Lelaki ini adalah pacarku. Kami kuliah di universitas yang sama. Aku mengambil
salah satu prodi di Fakultas Matematika dan IPA, sedangkan dia di Fakultas
Teknik Geologi.
Selama
sebulan kemarin, ia harus pergi ke suatu pegunungan untuk praktikum langsung.
Karena tempat yang sangat jauh dari jangkauan jaringan ponsel, kami jarang
berkomunikasi. Kami sudah sering terpisah seperti ini. Apalagi karena kami
sudah hampir menginjak tingkat akhir perkuliahan, kesibukan kami bertambah.
“Jangan
hanya memandangiku. Makan makananmu!” ucap Lawrence.
“Mau
bagaimana lagi? Asupan nutrisi harianku akhirnya kembali,” balasku sedikit
menggoda. Wajahnya sedikit memerah. Ia kemudian menunjuk piring makananku
sambil menutup sebagian wajahnya. Aku tertawa kecil melihat reaksinya.
Kami sudah
berpacaran sejak kelas sebelas. Lawrence adalah tipe lelaki tsundere. Meski begitu, ia tetap
menunjukkan sisi romantisnya kadang kala. Walaupun akhirnya ia malu sendiri.
Hari itu
kami bercerita hal-hal apa saja yang kami lewati selama sebulan. Banyak hal
menarik yang Lawrence juga ceritakan meski aku tak begitu mengerti. Lawrence
juga suka mendengar kegiatan-kegiatan kampus yang kulakukan.
“Lawrence!”
teriakku sambil berlari ke arahnya. “Bagaimana liburanmu? Untungnya praktikummu
tak dijadwalkan di liburan semester lagi, atau kau takkan bertemu dengan
keluargamu lagi.”
Lawrence
tersenyum kecil padaku. “Iya,” jawabnya sambil melihat ke layar ponsel. Ia
tampak sibuk dengan ponselnya hingga hanya menjawabku seadanya.
“Rence? Kau
sibuk apa?” tanyaku sambil berusaha melihat isi ponselnya. Akan tetapi di saat
yang bersamaan, sebuah mobil putih berhenti di depan kami.
“Jemputan
kita sudah sampai. Ayo!” ajaknya. Aku hanya mengikutinya dengan tanda tanya di
kepalaku.
Selama
perjalanan pun kami tidak berbicara banyak. Lawrence hanya menunjukkan respon
biasa untuk setiap topik yang kubicarakan.
Mungkin ia lelah karena perjalanan jauh dari ke
mari. Awalnya
kupikir begitu. Namun, ini berlangsung terus menerus. Semakin lama ia menjadi
sering menghindariku. Seakan-akan ia sudah tidak ingin menganggapku ada. Ini
semakin membuatku curiga dengan isi ponselnya.
Aku selalu
berusaha mencuri-curi kesempatan untuk melihat isi ponselnya. Sampai akhirnya
aku mengetahui apa yang selama ini yang ia sembunyikan dariku. Hatiku
benar-benar hancur begitu membacanya. Air mataku mengalir tak terbendung.
Lawrence memergokiku
melihat isi ponselnya tanpa izin. Namun ia tak memarahiku. Ia mengambil ponselnya
dariku dan memelukku erat. Hari itu kami kembali ke kos dengan meninggalkan
luka di hati masing-masing.
Siang ini
dengan baju wisuda dan toga di kepalaku, aku menatap foto kami berdua yang
kupegang. Kemudian menatap langit biru yang bahkan tak kurasakan keindahannya. Aku
melipat foto kami membentuk sebuah pesawat kertas, dan melemparkannya ke udara,
membiarkannya terombang-ambing mengikuti tarian angin kala itu.
“Dan kini
telah sampailah di akhir cerita kita berdua. Selamat tinggal, Rence. Tenanglah
di alam sana.”
pic src: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/patah-hati-_151204081118-319.jpg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar