Cari

02 Februari 2020

Kisah Kita

Hasil gambar untuk animated girl boy best friend images


Sret, sret, sret….

Aku terus menulis di atas secarik kertas. Kadang kala mencoret paragraf yang dirasa kurang tepat. Keadaan sekitar yang terbilang cukup ramai tak mengusikku. Satu-satunya yang mengangguku adalah suara tawa Edenn, lelaki di sampingku ini.


“Jangan tertawa!”

“Habisnya lu lucu, paniknya kelihatan banget. Sudah berapa kali lu coret-coret itu kertas, tapi masih nulis hal yang sama,” balasnya. Aku hanya menunduk di atas meja. Benar, aku memang panik, gugup, dan gelisah. Tugas Bahasa Inggris ini benar-benar menghabiskan tenagaku, walau sudah dibantu banyak oleh Edenn.

“Ayo Dwi! Bisa ayo!” ucapnya sambil menepuk pundakku.

“Gue benci presentasi,” kataku pelan. Edenn hanya menepuk pundakku tanpa berkomentar. Aku kembali fokus pada kertasku, berusaha menemukan rangkaian kata yang dirasa lebih tepat untuk digunakan.

Waktu berlalu, aku bernapas lega saat menyelesaikan rangkaian kata untuk presentasi. Edenn yang memperhatikanku sedari tadi bertanya, “Sudah?” Aku menjawabnya dengan anggukan kepala.

Good. Sekarang ayo dipraktikkan.”

Holy shit! Aku kembali meletakkan kepalaku ke atas meja. “Apa gue gak usah masuk aja?” tanyaku lemah.

“Jangan nyerah dulu, atuh. Belum juga dicoba. Ayo bisa! Gue di sini buat bantu.”

Aku sudah merasa ingin menangis sedari tadi. Sedari dulu, aku tak pernah percaya diri untuk maju di depan banyak orang. Tubuhku akan secara otomatis gemetar atau lebih parah kakiku akan lemas. Memikirkannya saja sudah membuatku tidak tenang.

Aku berulang kali menarik dan menghembuskan napas guna menenangkan diri. Akan tetapi, mulutku tidak ingin bekerja sama setiap kali aku berusaha membaca rangkaian kata yang telah kutulis di atas kertas. Semua tertahan di tenggorokan. Butuh waktu lama hingga akhirnya aku membacanya dengan mulut sedikit kaku. Edenn tak hanya mendengarkan saja, ia juga memberiku saran untuk tiap pengucapanku. Dia memang teman yang dapat diandalkan.


Aku berlari ke luar kelas menemui Edenn setelah Mata Kuliah Umumku selesai.

“Bagaimana presentasinya?” tanya Edenn.

“Gak tahu lagi, deh. Untung gue gak disuruh ulang sama dosennya. Takut banget gue.”

“Harusnya tadi gue menyelinap masuk ke kelas lu, pakai seragam cheerleaders sama bawa pom-pom. Nanti gue semangatin dari belakang.”

“Iiih… Apaan sih! Malu-maluin banget!” balasku sambil memukulnya. Edenn hanya tertawa melihat reaksiku. Tapi harus kuakui, aku sedikit terhibur mendengar lelucon konyolnya.


Hari demi hari berlalu. Kedekatan kami terkadang membuat orang-orang bertanya-tanya akan hubungan kami. Hingga akhirnya salah satu temanku memberanikan diri untuk bertanya langsung padaku.

“Hubungan lu sama Edenn apa, sih?”

“Teman. Kenapa?”

“Bohong! Masa temen lengket banget kayak orang pacaran. Berdua melulu.”

“Yaa… kami memang cuma teman.  Kami mungkin kelihatan dekat banget, tapi gak sedekat itu kok.”

Temanku hanya mengangguk pelan dengan wajah manyun. Kurasa ia kurang puas dengan jawabanku. Namun, memang kenyataannya seperti itu.


Waktu berlalu begitu cepat, tak terasa semester pertama sudah hampir selesai. Liburan semester telah di depan mata. Banyak dari teman-temanku sudah memesan tiket pulang ke kampung halamannya. Di sini aku pun mempertimbangkan kepulanganku di tengah mempersiapkan diri untuk UAS bersama Edenn.

“Ed, lu biasanya pulang ke Bogor naik bus travel?” tanyaku. Edenn mengangguk pelan tanpa memalingkan pandangannya dari buku catatanku. Dan aku kembali memperhatikan layar handphone-ku.

“Lu biasanya naik kereta ke sini?” tanya Edenn memecahkan keheningan. Aku mengangguk. “Lalu kenapa gak naik kereta lagi saja?” tanyanya lagi.

“Harganya naik. Gue juga belum tahu bakal pulang kapan. Tiketnya keburu habis. Habis itu, ribet juga ke stasiunnya dari sini,” jawabku. Setelah berkali-kali keluar masuk berbagai website, akhirnya aku menyerah.

“Ah, sudahlah! Belajar buat UAS dulu, deh. Lu sudah baca sampai mana?” tanyaku sambil mengalihkan pandangan ke arah Edenn. “Sudah bagian oligopoly. Setelah bagian ini, baru gue jelasin ke lu,” jawabnya. Aku mengangguk setuju dengannya.


Masa UAS sudah selesai. Aku dan Edenn masih suka bertemu hanya sekedar bersenda gurau. Tawa canda selalu menyelingi percakapan kami. Terkadang kutak percaya, sosok Edenn yang hampir kubenci di masa OSPEK kini menjadi sosok yang selalu menemani hariku. Aku yang awalnya bahkan tak ingin mendengar namanya, sekarang merasa ada yang kurang jika tak bersama dengannya meski sebentar saja.

“Dwi? Lu sudah memutuskan bakal pulang naik apa?” Tanya Edenn membuyarkan lamunanku.

“Sudah. Gue jadinya naik bus travel juga. Lebih mudah diakses dari sini.”

“Kapan?”

“Lusa siang hari.”

“Beda tipis sama gue. Gue paginya. Kalau tahu lusa juga, disamain aja jadwalnya,” gerutunya. Aku hanya tersenyum mendengarnya. Melihat dirinya untuk terakhir kali sebelum akhirnya berpisah, memang akan menjadi mimpi indah di siang hari.

“Ya Sudah, mau bagaimana lagi. Balik ke kost, yuk! Sudah saatnya beres-beres sebelum pulang,” ajakku. Ia menurutiku. Kami berjalan bersama sambil tetap membicarakan berbagai hal. Hingga akhirnya kami berpisah di depan gerbang kampus.

“Sampai jumpa semester depan Ed,” ucapku sambil menatap dan menarik jaket kesayangannya. Ia tersenyum, mengelus rambutku, dan berkata, “Sampai jumpa Dwi. Hati-hati selama jauh dari gue ya.”


Setelah beberapa saat, kami berjalan saling menjauh karena lokasi kost kami yang berlawanan arah. Senyum kami menjadi hal terakhir yang kami tinggalkan dalam kenangan semester satu kami. Bagaimana keadaan semester dua kami? Aku menantikannya.



pic src: https://pm1.narvii.com/5870/e3acc032047e83104b44504134abed9f0215e386_hq.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar