
Sret, sret, sret….
Aku terus menulis di
atas secarik kertas. Kadang kala mencoret paragraf yang dirasa kurang tepat. Keadaan sekitar yang
terbilang cukup ramai tak mengusikku. Satu-satunya yang mengangguku adalah
suara tawa Edenn, lelaki di sampingku ini.
“Jangan tertawa!”
“Habisnya lu lucu,
paniknya kelihatan banget. Sudah berapa kali lu coret-coret itu kertas, tapi
masih nulis hal yang sama,” balasnya. Aku hanya menunduk di atas meja. Benar,
aku memang panik, gugup, dan gelisah. Tugas Bahasa Inggris ini benar-benar
menghabiskan tenagaku, walau sudah dibantu banyak oleh Edenn.
“Ayo Dwi! Bisa ayo!”
ucapnya sambil menepuk pundakku.
“Gue benci
presentasi,” kataku pelan. Edenn hanya menepuk pundakku tanpa berkomentar. Aku kembali fokus pada kertasku,
berusaha menemukan rangkaian kata yang dirasa lebih tepat untuk digunakan.
Waktu berlalu, aku
bernapas lega saat menyelesaikan rangkaian kata untuk presentasi. Edenn yang
memperhatikanku sedari tadi bertanya, “Sudah?” Aku menjawabnya dengan anggukan
kepala.
“Good. Sekarang ayo dipraktikkan.”
Holy shit! Aku kembali meletakkan kepalaku ke atas meja. “Apa gue gak usah masuk
aja?” tanyaku lemah.
“Jangan nyerah dulu, atuh. Belum juga dicoba. Ayo bisa! Gue
di sini buat bantu.”
Aku sudah merasa
ingin menangis sedari tadi. Sedari dulu, aku tak pernah percaya diri untuk maju
di depan banyak orang. Tubuhku akan secara otomatis gemetar atau lebih parah
kakiku akan lemas. Memikirkannya saja sudah membuatku tidak tenang.
Aku berulang kali
menarik dan menghembuskan napas guna menenangkan diri. Akan tetapi, mulutku
tidak ingin bekerja sama setiap kali aku berusaha membaca rangkaian kata yang
telah kutulis di atas kertas. Semua tertahan di tenggorokan. Butuh waktu lama
hingga akhirnya aku membacanya dengan mulut sedikit kaku. Edenn tak hanya
mendengarkan saja, ia juga memberiku saran untuk tiap pengucapanku. Dia memang
teman yang dapat diandalkan.
Aku berlari ke luar
kelas menemui Edenn setelah Mata Kuliah Umumku selesai.
“Bagaimana
presentasinya?” tanya Edenn.
“Gak tahu lagi, deh.
Untung gue gak disuruh ulang sama dosennya. Takut banget gue.”
“Harusnya tadi gue
menyelinap masuk ke kelas lu, pakai seragam cheerleaders
sama bawa pom-pom. Nanti gue semangatin dari belakang.”
“Iiih… Apaan sih!
Malu-maluin banget!” balasku sambil memukulnya. Edenn hanya tertawa melihat
reaksiku. Tapi harus kuakui, aku sedikit terhibur mendengar lelucon konyolnya.
Hari demi hari berlalu. Kedekatan kami terkadang membuat
orang-orang bertanya-tanya akan
hubungan kami. Hingga akhirnya salah satu temanku memberanikan diri untuk
bertanya langsung padaku.
“Hubungan lu sama
Edenn apa, sih?”
“Teman. Kenapa?”
“Bohong! Masa temen
lengket banget kayak orang pacaran. Berdua melulu.”
“Yaa… kami memang
cuma teman. Kami mungkin kelihatan dekat
banget, tapi gak sedekat itu kok.”
Temanku hanya
mengangguk pelan dengan wajah manyun. Kurasa ia kurang puas dengan jawabanku.
Namun, memang kenyataannya seperti itu.
Waktu berlalu begitu
cepat, tak terasa semester pertama sudah hampir selesai. Liburan semester telah
di depan mata. Banyak dari teman-temanku sudah memesan tiket pulang ke kampung
halamannya. Di sini aku pun mempertimbangkan kepulanganku di tengah
mempersiapkan diri untuk UAS bersama Edenn.
“Ed, lu biasanya
pulang ke Bogor naik bus travel?” tanyaku. Edenn mengangguk pelan tanpa
memalingkan pandangannya dari buku catatanku. Dan aku kembali memperhatikan
layar handphone-ku.
“Lu biasanya naik
kereta ke sini?” tanya Edenn memecahkan keheningan. Aku mengangguk. “Lalu
kenapa gak naik kereta lagi saja?” tanyanya lagi.
“Harganya naik. Gue
juga belum tahu bakal pulang kapan. Tiketnya keburu habis. Habis itu, ribet
juga ke stasiunnya dari sini,” jawabku. Setelah berkali-kali keluar masuk
berbagai website, akhirnya aku
menyerah.
“Ah, sudahlah!
Belajar buat UAS dulu, deh. Lu sudah
baca sampai mana?” tanyaku sambil
mengalihkan pandangan ke arah Edenn. “Sudah bagian oligopoly. Setelah bagian ini, baru gue jelasin ke lu,” jawabnya.
Aku mengangguk setuju dengannya.
Masa UAS sudah
selesai. Aku dan Edenn masih suka bertemu hanya sekedar bersenda gurau. Tawa
canda selalu menyelingi percakapan kami. Terkadang kutak percaya, sosok Edenn
yang hampir kubenci di masa OSPEK kini menjadi sosok yang selalu menemani
hariku. Aku yang awalnya bahkan tak ingin mendengar namanya, sekarang merasa
ada yang kurang jika tak bersama dengannya meski sebentar saja.
“Dwi? Lu sudah
memutuskan bakal pulang naik apa?” Tanya Edenn membuyarkan lamunanku.
“Sudah. Gue jadinya
naik bus travel juga. Lebih mudah diakses dari sini.”
“Kapan?”
“Lusa siang hari.”
“Beda tipis sama gue.
Gue paginya. Kalau tahu lusa juga, disamain aja jadwalnya,” gerutunya. Aku
hanya tersenyum mendengarnya. Melihat dirinya untuk terakhir kali sebelum
akhirnya berpisah, memang akan menjadi mimpi indah di siang hari.
“Ya Sudah, mau
bagaimana lagi. Balik ke kost, yuk! Sudah saatnya beres-beres sebelum pulang,”
ajakku. Ia menurutiku. Kami berjalan bersama sambil tetap membicarakan berbagai
hal. Hingga akhirnya kami berpisah di depan gerbang kampus.
“Sampai jumpa semester
depan Ed,” ucapku sambil menatap dan menarik jaket kesayangannya. Ia tersenyum,
mengelus rambutku, dan berkata, “Sampai jumpa Dwi. Hati-hati selama jauh dari
gue ya.”
Setelah beberapa
saat, kami berjalan saling menjauh karena lokasi kost kami yang berlawanan
arah. Senyum kami menjadi hal terakhir yang kami tinggalkan dalam kenangan
semester satu kami. Bagaimana keadaan semester dua kami? Aku menantikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar