Cari

10 September 2019

Memori



Hasil gambar untuk lover met again cartoon


Langkah kakinya terus membawa dirinya semakin jauh ke dalam kota. Berbagai bisikan kota terdengar jelas. Namun, itu semua tak menghalangi dirinya untuk semakin menjelajahi semua sudut kota.



Jessy, seorang gadis kota keturunan Tiongkok, melihat ke segala arah. Sudah lima tahun lamanya sejak dia lulus dari salah satu sekolah menengah atas di kota ini dan pindah ke kota lain untuk kuliah. Kenangannya bersama teman-temannya tak pernah ia lupakan. Baginya, kenangan itu adalah mutiara langka. Terutama orang sepertinya.

Jessy adalah anak yang pemalu dan pendiam. Sebagian besar temannya adalah teman satu sekolah dasarnya. Jadi bukan hal yang aneh lagi jika ia butuh waktu lama untuk menjalin suatu hubungan. Bahkan tak jarang ia merenung dan merasa bahwa sebenarnya ia tak diinginkan oleh yang lainnya. Tentu saja itu menyiksa dirinya sendiri.

Langkahnya kemudian terhenti di depan sebuah toko kue. Toko kue yang baginya tak terlalu terkenal, namun begitu ia ingat. Toko kue ini dikenalnya oleh seorang temannya. Dan beberapa kue di sini memang sudah menjadi kesukaannya juga.

“Tolong tiramisu yang ini satu,” ucapnya. “Terima kasih,” lanjutnya setelah ia membeli kue tersebut.

Ia kembali berjalan. Kali ini kakinya membawa dirinya ke sebuah bioskop. Sudah menjadi hal yang biasa seseorang ke bioskop. Namun, di bioskop inilah, ia menyimpan setitik kenangan. Ia tertawa geli mengingat masa lalu itu. Sembari melihat bioskop, ia juga melihat deretan film yang sedang tayang. “Ah, genre film kesukaannya. Apa dia sudah menontonnya?”

Kakinya kembali melangkah. Setiap tempat ia lewati sambil tersenyum dan berhenti di tempat ia meninggalkan kenangan. Biarpun semuanya hanya tinggal di kepalanya, itu semua masih sangat ia ingat jelas seperti baru saja terjadi.

Hari semakin sore, tempat terakhir yang ia datangi adalah zona bermain. Kenangan terakhir yang tak pernah ingin ia lupakan. Photobooth yang menjadi saksi bisu dirinya dan seseorang. Meskipun Salinan fotonya masih ia simpan, rasa takut bahwa kebenarannya sudah berubah tetap melayang di pikirannya. Ia melangkah masuk ke photobooth tersebut sambil melihat foto di ponsel pintarnya.

Sudah lama kita tak bertemu, apa kamu masih sama? Ia bertanya dalam hati. Harus Jessy akui, pria ini baik dan lembut. Sering kali ia menjadi korban keisengan Jessy di saat bosan. Tapi senyumnya yang tulus dan kadang kejujurannya yang berlebihan membuat Jessy ingin tertawa.

Bernostalgia sangat menyenangkan. Walau saat mengingat hal yang memalukan, tak lagi menyenangkan. Biarkan semuanya mengalir layaknya air sungai. Prinsip yang Jessy pegang sedari dulu. Dan kini air sungai membawa dirinya kembali ke kota ini.

Matahari semakin menyembunyikan dirinya. Sudah saatnya ia pulang. Ia keluar dari photobooth tanpa melakukan apa-apa. Masih menggenggam ponselnya, ia tersentak melihat seorang pria di hadapannya.

“Maaf, apa kau sudah selesai menggunakannya? Kami juga ingin pakai,” kata pria itu. “Ah, iya. Saya sudah selesai.”

Jessy menyingkir, membiarkan pria itu melewatinya bersama seorang wanita. Sesaat Ia masih tertegun, namun kemudian menggelengkan kepala. “Tidak, tidak mungkin itu dia. Memang mirip, tapi suaranya berbeda. Lagipula sudah lima tahun kami tak bertemu. Komunikasi juga seadanya. Dia tak tahu kalau aku sedang di sini sekarang. Berhenti berangan-angan Jes.”

Hari sudah berselimutkan gelap malam. Perjalanannya pulang ke rumah terasa sangat berat. Bukan tanpa alasan. Meski ia sudah berkeliling kota, melihat segala kenangan yang ada di baliknya, semuanya terasa hampa baginya. Awalnya ia berencana untuk membuat meet up dadakan setelah ia sampai di sini. Namun, pesan yang ia kirimkan, tak ada yang membacanya.

Ia menghela napas. "Mungkin ini bukan hari yang tepat untuk bertemu," ucapnya pelan dan melangkah semakin cepat. Pikirannya tak tenang, ia terus memikirkan teman-temannya. Perlahan air matanya mengalir menuruni pipinya. Semakin ia mengingat teman-temannya, semakin deras air matanya mengalir dan menghentikan langkahnya.

Apa mereka sudah lupa denganku? Pertanyaan yang terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa melangkah lagi. Air matanya sudah menyerap seluruh tenaganya yang tersisa. Ia jatuh berlutut di posisinya sekarang. Berharap malam menghapus semua sedihnya bersama dengan dirinya dan pikiran pesimisnya.

Saat malam sunyi membiarkan Jessy dengan air matanya, tanpa disadari sebuah mobil berhenti tepat di belakangnya. Seorang pria turun dari mobil itu dan menghampirinya. Pria itu sudah sangat dekat dengannya begitu ia tersadar. Ia ingin berteriak, tapi suaranya habis karena isak tangis. Ia ingin lari, tapi kakinya belum mendapatkan kekuatannya kembali. Ia diam, membiarkan jantungnya berdetak keras, dan mengepal tangannya.

"Hei, nona? Apa anda ada masalah? Sedang apa anda di sini?" tanya pria itu. Suaranya membuat Jessy terkejut. Ia menoleh dan membuat pria itu juga tekejut.

"Jessy?! Sedang apa kau di sini? Kami semua mencarimu! Kau tak ada kabar sama sekali setelah pesanmu yang terakhir. Telepon juga tak bisa terhubung. Ada apa denganmu?" ucapnya panjang. Air mata Jessy kembali mengalir setelah ia melihat bahwa pria itu adalah Elliano. Pria yang ia kenang selama lima tahun. Pria yang ia habiskan waktu bersama di photobooth. Pria yang fotonya masih ia simpan hingga sekarang. Pria yang tak ingin ia lupakan.

"Hei, hei, sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa kau menangis? Apa terjadi sesuatu? Apa kau dirampok?" tanya Ell khawatir. Jessy menggelengkan kepala. "Lalu apa kau terluka?" tanyanya lagi. Jessy kembali menggeleng. Tampaknya Ell juga tidak tahu harus bagaimana, sehingga ia berusaha membujuk Jessy untuk ke mobilnya.

"Ayo Jes, masuk ke mobilku dulu. Tenangkan dirimu dan baru ceritakan semuanya," ucap Ell sambil membantu Jessy berdiri dan masuk ke dalam mobil.

Di dalam mobil, butuh waktu cukup lama hingga Jessy benar-benar tenang. Ell menyodorkan sekotak tisu padanya. "Terima kasih," balasnya dengan suara serak.

"Jadi kau sudah bisa menjelaskan apa yang terjadi padamu seharian ini? Kami mencarimu kemana-mana. Kami sangat mengkhawatirkan dirimu. Dan ini sudah sangat malam."
"Mencariku? Kalian bahkan tidak membaca pesanku."

"Apa maksudmu tidak membaca? Kami sudah membalas hingga puluhan. Kau yang tak membalas. Kami pikir kau sibuk membantu orang tuamu atau barangkali terlalu asik dengan keluargamu, sehingga kami mendatangi rumahmu. Akan tetapi kau juga tak ada di sana. Orang tuamu bilang kau berkeliling kota sambil menunggu balasan kami. Tapi di sini kamilah yang menunggu balasanmu.  Kami juga sudah meneleponmu berulang kali. Tapi nomornya selalu di luar jangkauan. Sebenarnya kamu ke mana saja? Karena tak kunjung mendapat jawaban darimu, kami akhirnya berpencar mencarimu kecuali ibumu yang menunggu di rumah jikalau kamu pulang. Dan apa yang aku temukan ini? Kau menangis terisak-isak di tengah jalan? Ada apa?"

"Jika begitu, mengapa aku tak mendapat satu pun pesan dari kalian?" tanya Jessy sembari mengeluarkan ponselnya dari tas. "Aku sungguh tak mendapatkan satu pun notifikasi," lanjutnya.

Ell tampak tak percaya. "Mana? Sini biar aku lihat sebentar ponselmu."

Jessy memberikan ponselnya pada Ell. Ia melihat Ell yang sangat serius - konsentrasi mahasiswa IT - memperhatikan ponselnya selama beberapa saat. Kemudian Ell tertawa terbahak-bahak di atas stir mobil dan membuatnya bingung.

"Apa? Apa yang lucu?"

"Kau ini sangat teledor."

"Apa maksudmu? Aku tak mengerti. Apa yang salah dariku?"

Ell berusaha menghentikan tawanya. Kemudian ia memberikan ponsel Jessy kembali dan menunjuk pada bagian airplane mode. Setelah menyadari kesalahannya, wajah Jessy menjadi sangat merah. Dan Ell kembali tertawa.

Jessy menggenggam ponselnya erat-erat tanpa berkata apa-apa sesaat setelah mematikan airplane mode. Ell yang sudah puas tertawa, melihat Jessy yang mematung.

"Hei Jes. Tak apa. Setiap orang pasti pernah teledor pada hal yang sepele. Tak perlu direnungkan sampai seperti itu. Oke?"

"Bukan, bukan karena itu."

"Lalu karena apa?"

"Aku merasa bodoh. Setelah lima tahun tak bertemu, aku mengira kalian sudah lupa padaku. Bukannya mencari kesalahan apa yang telah kubuat. Aku malah bersedih sendirian dengan pemikiran bahwa aku sudah dilupakan. Aku merasa malu pada diriku sendiri."

Jessy kembali menangis setelah bicara. Akan tetapi kali ini ia tidak sendirian, Ell yang ada di sampingnya, memeluk dirinya. Ell sudah mengetahui sifat rapuh temannya yang satu ini, sehingga ia tak terkejut atau menganggap remeh  saat Jessy menangis. Melainkan ingin menjaga Jessy dengan sepenuh hatinya.

"Sudah, sudah. Tak apa-apa. Aku sudah beri tahu teman-teman kalau kau bersamaku. Kita akan kembali setelah kau sudah lebih tenang," katanya menenangkan. Jessy mengangguk.

Ell menyetir mobilnya berkeliling kota sambil mengulur waktu agar Jessy punya waktu untuk menenangkan dirinya. Setelah 15 menit berkeliling, Ell menghentikan mobilnya di sebuah kolam kota. "Jes, coba kau lihat kolam itu," ucapnya. Jessy menoleh. Matanya melebar. Ia melihat banyak cahaya yang berkerlap-kerlip di atas danau. "Danau itu...," balasnya.

"Iya, itu danau kota yang dulu pernah kita datangi. Bukankah indah? Sudah sejak lima bulan yang lalu, kunang-kunang mulai berdatangan. Padahal banyak orang yang datang, tapi keindahannya tak tersisihkan. Aku pernah berpikir untuk membawamu kemari di saat kita bertemu lagi. Dan ternyata sekarang menjadi kenyataan. Hihihi...," jawab Ell panjang lebar disertai tawa geli.

Jessy menghela napas dan menghapus air matanya yang tersisa. "Baiklah, ayo kita pulang." Ell mengiyakan ajakan Jessy dan mengendarai mobilnya kembali ke rumah Jessy. "Aku penasaran bagaimana reaksi mereka semua setelah mendengarkan apa yang terjadi."

"Don't! Jangan kau berani memberi tahu mereka! Cukup katakan saja kita bertemu di jalan."

"Lalu? Aku akan dapat apa dengan menurutimu?"

"Kau ini benar-benar! Baiklah, kau akan….."

"Akan... Apa?"

"Oh ya Tuhan!" teriak Jessy terkejut. "Putar balik Ell! Putar balik ke tempat kau menemukanku tadi!" lanjutnya. Ell yang juga terkejut langsung menginjak gas mobilnya tanpa bertanya apa-apa.

Sesampainya mereka di Jalan Menguni - di mana Jessy menangis tadi, Jessy langsung tergesa-gesa keluar dari mobil. Ia tampak melihat ke sekelilingnya dengan gelisah.

"Apa yang kau cari? Apa kau meninggalkan sesuatu?" tanya Ell di tengah kegelisahan Jessy. Jessy mengangguk. "Saat berkeliling, aku berhenti di toko Chadice dan membeli kue tiramisu. Kuenya tertinggal di sini," jawab Jessy panik.

"Ya sudah lah, hanya kue. Beli lagi saja yang baru."

"No...! Kue itu mahal!"

"Aku yang bayar, oke?"

Jessy manyun. Ia tampak tak puas dengan keputusan Ell. Namun mau bagaimana lagi, ia hanya bisa menurutinya. Dan mereka kembali ke mobil.

~~∆∆~~

"Berhentilah cemberut. Aku sudah membeli kuemu lagi dan kita sudah mau sampai ke rumahmu. Apa kau tega membiarkan orang tuamu melihat wajahmu yang tak karuan? Aku takkan memberi tahu mereka. Sekarang berusahalah tersenyum meski aku tahu itu akan jadi senyum palsu. Tapi tentunya kau tak ingin mereka semakin khawatir bukan? Jadi biarlah hanya aku yang tahu."

Jessy tersenyum kecil dan mengangguk. "Seharusnya aku sadar bahwa aku punya pria yang bisa kuandalkan."

"Hah? Apa kau bilang?" tanya Ell sedikit terkejut. "Bukan apa-apa," jawab Jessy memalingkan mukanya yang memerah. Ya ampun, apa yang telah kau katakan Jes? Jangan merusak suasananya. Kau tak tahu apa dia masih sama seperti dulu atau tidak.

"Tak apa. Kau bisa mengandalkanku. Aku masih orang yang sama," ucap Ell seperti tahu apa yang Jessy pikirkan. "Dengan perasaan yang sama," lanjutnya lagi. Jessy tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia tak berani melihat ke arah Ell, jikalau itu hanya imajinasinya saja.

Setelah mereka sampai di rumah Jessy, orang tuanya langsung berlari memeluk dirinya disusul oleh teman-temannya di belakang.

"Ya Tuhan, anakku!" teriak ibunya. "Kau baik-baik saja? Matamu sembab. Apa yang terjadi? Kamu ke mana saja? Mengapa ponselmu tak dapat dihubungi?" tanya ibunya panik.

"Aku baik-baik saja, bu. Ell datang di saat yang tepat. Lalu mengenai ponselku, aku tak tahu kapan, tapi ponselku mati. Jadi tidak ada yang bisa kulakukan. Maaf membuat kalian semua khawatir," jawab Jessy menjelaskan. Ia memperhatikan teman-temannya yang tersenyum lega melihat dirinya yang baik-baik saja. Dan kemudian melihat ke arah Ell sambil tersenyum lebar. Ell membalas senyumannya.

"Baiklah karena Jessy sudah pulang, ayo semuanya masuk kembali," ajak ayahnya. Semua kembali masuk ke dalam rumah, begitu pun Jessy dan Ell. Ell melangkah tepat di belakang Jessy sambil menggenggam sebuah kotak merah di kantong celananya.

~~€€~~



pic source : https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj_4qrRpcbkAhVp7nMBHfZ7Ab8QjRx6BAgBEAQ&url=%2Furl%3Fsa%3Di%26source%3Dimages%26cd%3D%26ved%3D%26url%3Dhttps%253A%252F%252Fwww.pinterest.com%252Fpin%252F686236061941926959%252F%26psig%3DAOvVaw1tyvHlUjedxfp0n0Tv1qPi%26ust%3D1568206175885247&psig=AOvVaw1tyvHlUjedxfp0n0Tv1qPi&ust=1568206175885247

Tidak ada komentar:

Posting Komentar