
Langkah kakinya terus membawa dirinya semakin jauh ke
dalam kota. Berbagai bisikan kota terdengar jelas. Namun, itu semua tak
menghalangi dirinya untuk semakin menjelajahi semua sudut kota.
Jessy, seorang gadis kota
keturunan Tiongkok, melihat ke segala arah. Sudah lima tahun lamanya sejak dia
lulus dari salah satu sekolah menengah atas di kota ini dan pindah ke kota lain
untuk kuliah. Kenangannya bersama teman-temannya tak pernah ia lupakan.
Baginya, kenangan itu adalah mutiara langka. Terutama orang sepertinya.
Jessy adalah anak yang pemalu dan
pendiam. Sebagian besar temannya adalah teman satu sekolah dasarnya. Jadi bukan
hal yang aneh lagi jika ia butuh waktu lama untuk menjalin suatu hubungan.
Bahkan tak jarang ia merenung dan merasa bahwa sebenarnya ia tak diinginkan
oleh yang lainnya. Tentu saja itu menyiksa dirinya sendiri.
Langkahnya kemudian terhenti di
depan sebuah toko kue. Toko kue yang baginya tak terlalu terkenal, namun begitu
ia ingat. Toko kue ini dikenalnya oleh seorang temannya. Dan beberapa kue di
sini memang sudah menjadi kesukaannya juga.
“Tolong tiramisu yang ini satu,”
ucapnya. “Terima kasih,” lanjutnya setelah ia membeli kue tersebut.
Ia kembali berjalan. Kali ini
kakinya membawa dirinya ke sebuah bioskop. Sudah menjadi hal yang biasa
seseorang ke bioskop. Namun, di bioskop inilah, ia menyimpan setitik kenangan.
Ia tertawa geli mengingat masa lalu itu. Sembari melihat bioskop, ia juga
melihat deretan film yang sedang tayang. “Ah, genre film kesukaannya. Apa dia
sudah menontonnya?”
Kakinya kembali melangkah. Setiap
tempat ia lewati sambil tersenyum dan berhenti di tempat ia meninggalkan
kenangan. Biarpun semuanya hanya tinggal di kepalanya, itu semua masih sangat
ia ingat jelas seperti baru saja terjadi.
Hari semakin sore, tempat terakhir
yang ia datangi adalah zona bermain. Kenangan terakhir yang tak pernah ingin ia
lupakan. Photobooth yang menjadi
saksi bisu dirinya dan seseorang. Meskipun Salinan fotonya masih ia simpan,
rasa takut bahwa kebenarannya sudah berubah tetap melayang di pikirannya. Ia
melangkah masuk ke photobooth
tersebut sambil melihat foto di ponsel pintarnya.
Sudah lama kita tak bertemu, apa kamu masih sama? Ia bertanya dalam
hati. Harus Jessy akui, pria ini baik dan lembut. Sering kali ia menjadi korban
keisengan Jessy di saat bosan. Tapi senyumnya yang tulus dan kadang
kejujurannya yang berlebihan membuat Jessy ingin tertawa.
Bernostalgia sangat menyenangkan.
Walau saat mengingat hal yang memalukan, tak lagi menyenangkan. Biarkan
semuanya mengalir layaknya air sungai. Prinsip yang Jessy pegang sedari dulu.
Dan kini air sungai membawa dirinya kembali ke kota ini.
Matahari semakin menyembunyikan
dirinya. Sudah saatnya ia pulang. Ia keluar dari photobooth tanpa melakukan apa-apa. Masih menggenggam ponselnya, ia
tersentak melihat seorang pria di hadapannya.
“Maaf, apa kau sudah selesai
menggunakannya? Kami juga ingin pakai,” kata pria itu. “Ah, iya. Saya sudah
selesai.”
Jessy menyingkir, membiarkan pria
itu melewatinya bersama seorang wanita. Sesaat Ia masih tertegun, namun kemudian
menggelengkan kepala. “Tidak, tidak mungkin itu dia. Memang mirip, tapi
suaranya berbeda. Lagipula sudah lima tahun kami tak bertemu. Komunikasi juga
seadanya. Dia tak tahu kalau aku sedang di sini sekarang. Berhenti
berangan-angan Jes.”
Hari sudah berselimutkan gelap
malam. Perjalanannya pulang ke rumah terasa sangat berat. Bukan tanpa alasan.
Meski ia sudah berkeliling kota, melihat segala kenangan yang ada di baliknya,
semuanya terasa hampa baginya. Awalnya ia berencana untuk membuat meet up dadakan setelah ia sampai di
sini. Namun, pesan yang ia kirimkan, tak ada yang membacanya.
Ia menghela napas. "Mungkin
ini bukan hari yang tepat untuk bertemu," ucapnya pelan dan melangkah
semakin cepat. Pikirannya tak tenang, ia terus memikirkan teman-temannya.
Perlahan air matanya mengalir menuruni pipinya. Semakin ia mengingat
teman-temannya, semakin deras air matanya mengalir dan menghentikan langkahnya.
Apa mereka sudah lupa denganku? Pertanyaan
yang terus terngiang di kepalanya. Ia tak bisa melangkah lagi. Air matanya
sudah menyerap seluruh tenaganya yang tersisa. Ia jatuh berlutut di posisinya
sekarang. Berharap malam menghapus semua sedihnya bersama dengan dirinya dan
pikiran pesimisnya.
Saat malam sunyi membiarkan Jessy
dengan air matanya, tanpa disadari sebuah mobil berhenti tepat di belakangnya.
Seorang pria turun dari mobil itu dan menghampirinya. Pria itu sudah sangat
dekat dengannya begitu ia tersadar. Ia ingin berteriak, tapi suaranya habis
karena isak tangis. Ia ingin lari, tapi kakinya belum mendapatkan kekuatannya
kembali. Ia diam, membiarkan jantungnya berdetak keras, dan mengepal tangannya.
"Hei, nona? Apa anda ada
masalah? Sedang apa anda di sini?" tanya pria itu. Suaranya membuat Jessy
terkejut. Ia menoleh dan membuat pria itu juga tekejut.
"Jessy?! Sedang apa kau di
sini? Kami semua mencarimu! Kau tak ada kabar sama sekali setelah pesanmu yang
terakhir. Telepon juga tak bisa terhubung. Ada apa denganmu?" ucapnya
panjang. Air mata Jessy kembali mengalir setelah ia melihat bahwa pria itu
adalah Elliano. Pria yang ia kenang selama lima tahun. Pria yang ia habiskan
waktu bersama di photobooth. Pria
yang fotonya masih ia simpan hingga sekarang. Pria yang tak ingin ia lupakan.
"Hei, hei, sebenarnya apa
yang terjadi? Mengapa kau menangis? Apa terjadi sesuatu? Apa kau
dirampok?" tanya Ell khawatir. Jessy menggelengkan kepala. "Lalu apa
kau terluka?" tanyanya lagi. Jessy kembali menggeleng. Tampaknya Ell juga
tidak tahu harus bagaimana, sehingga ia berusaha membujuk Jessy untuk ke mobilnya.
"Ayo Jes, masuk ke mobilku
dulu. Tenangkan dirimu dan baru ceritakan semuanya," ucap Ell sambil
membantu Jessy berdiri dan masuk ke dalam mobil.
Di dalam mobil, butuh waktu cukup
lama hingga Jessy benar-benar tenang. Ell menyodorkan sekotak tisu padanya.
"Terima kasih," balasnya dengan suara serak.
"Jadi kau sudah bisa
menjelaskan apa yang terjadi padamu seharian ini? Kami mencarimu kemana-mana.
Kami sangat mengkhawatirkan dirimu. Dan ini sudah sangat malam."
"Mencariku? Kalian bahkan
tidak membaca pesanku."
"Apa maksudmu tidak membaca?
Kami sudah membalas hingga puluhan. Kau yang tak membalas. Kami pikir kau sibuk
membantu orang tuamu atau barangkali terlalu asik dengan keluargamu, sehingga
kami mendatangi rumahmu. Akan tetapi kau juga tak ada di sana. Orang tuamu bilang
kau berkeliling kota sambil menunggu balasan kami. Tapi di sini kamilah yang
menunggu balasanmu. Kami juga sudah
meneleponmu berulang kali. Tapi nomornya selalu di luar jangkauan. Sebenarnya
kamu ke mana saja? Karena tak kunjung mendapat jawaban darimu, kami akhirnya
berpencar mencarimu kecuali ibumu yang menunggu di rumah jikalau kamu pulang.
Dan apa yang aku temukan ini? Kau menangis terisak-isak di tengah jalan? Ada
apa?"
"Jika begitu, mengapa aku
tak mendapat satu pun pesan dari kalian?" tanya Jessy sembari mengeluarkan
ponselnya dari tas. "Aku sungguh tak mendapatkan satu pun
notifikasi," lanjutnya.
Ell tampak tak percaya.
"Mana? Sini biar aku lihat sebentar ponselmu."
Jessy memberikan ponselnya pada
Ell. Ia melihat Ell yang sangat serius - konsentrasi mahasiswa IT -
memperhatikan ponselnya selama beberapa saat. Kemudian Ell tertawa
terbahak-bahak di atas stir mobil dan membuatnya bingung.
"Apa? Apa yang lucu?"
"Kau ini sangat
teledor."
"Apa maksudmu? Aku tak
mengerti. Apa yang salah dariku?"
Ell berusaha menghentikan
tawanya. Kemudian ia memberikan ponsel Jessy kembali dan menunjuk pada bagian airplane mode. Setelah menyadari
kesalahannya, wajah Jessy menjadi sangat merah. Dan Ell kembali tertawa.
Jessy menggenggam ponselnya
erat-erat tanpa berkata apa-apa sesaat setelah mematikan airplane mode. Ell yang sudah puas tertawa, melihat Jessy yang
mematung.
"Hei Jes. Tak apa. Setiap
orang pasti pernah teledor pada hal yang sepele. Tak perlu direnungkan sampai
seperti itu. Oke?"
"Bukan, bukan karena itu."
"Lalu karena apa?"
"Aku merasa bodoh. Setelah
lima tahun tak bertemu, aku mengira kalian sudah lupa padaku. Bukannya mencari
kesalahan apa yang telah kubuat. Aku malah bersedih sendirian dengan pemikiran
bahwa aku sudah dilupakan. Aku merasa malu pada diriku sendiri."
Jessy kembali menangis setelah
bicara. Akan tetapi kali ini ia tidak sendirian, Ell yang ada di sampingnya,
memeluk dirinya. Ell sudah mengetahui sifat rapuh temannya yang satu ini,
sehingga ia tak terkejut atau menganggap remeh
saat Jessy menangis. Melainkan ingin menjaga Jessy dengan sepenuh
hatinya.
"Sudah, sudah. Tak apa-apa.
Aku sudah beri tahu teman-teman kalau kau bersamaku. Kita akan kembali setelah
kau sudah lebih tenang," katanya menenangkan. Jessy mengangguk.
Ell menyetir mobilnya berkeliling
kota sambil mengulur waktu agar Jessy punya waktu untuk menenangkan dirinya.
Setelah 15 menit berkeliling, Ell menghentikan mobilnya di sebuah kolam kota.
"Jes, coba kau lihat kolam itu," ucapnya. Jessy menoleh. Matanya
melebar. Ia melihat banyak cahaya yang berkerlap-kerlip di atas danau.
"Danau itu...," balasnya.
"Iya, itu danau kota yang
dulu pernah kita datangi. Bukankah indah? Sudah sejak lima bulan yang lalu,
kunang-kunang mulai berdatangan. Padahal banyak orang yang datang, tapi keindahannya
tak tersisihkan. Aku pernah berpikir untuk membawamu kemari di saat kita
bertemu lagi. Dan ternyata sekarang menjadi kenyataan. Hihihi...," jawab
Ell panjang lebar disertai tawa geli.
Jessy menghela napas dan
menghapus air matanya yang tersisa. "Baiklah, ayo kita pulang." Ell
mengiyakan ajakan Jessy dan mengendarai mobilnya kembali ke rumah Jessy.
"Aku penasaran bagaimana reaksi mereka semua setelah mendengarkan apa yang
terjadi."
"Don't! Jangan kau berani memberi tahu mereka! Cukup katakan saja kita
bertemu di jalan."
"Lalu? Aku akan dapat apa
dengan menurutimu?"
"Kau ini benar-benar!
Baiklah, kau akan….."
"Akan... Apa?"
"Oh ya Tuhan!" teriak
Jessy terkejut. "Putar balik Ell! Putar balik ke tempat kau menemukanku
tadi!" lanjutnya. Ell yang juga terkejut langsung menginjak gas mobilnya
tanpa bertanya apa-apa.
Sesampainya mereka di Jalan
Menguni - di mana Jessy menangis tadi, Jessy langsung tergesa-gesa keluar dari
mobil. Ia tampak melihat ke sekelilingnya dengan gelisah.
"Apa yang kau cari? Apa kau
meninggalkan sesuatu?" tanya Ell di tengah kegelisahan Jessy. Jessy
mengangguk. "Saat berkeliling, aku berhenti di toko Chadice dan membeli
kue tiramisu. Kuenya tertinggal di sini," jawab Jessy panik.
"Ya sudah lah, hanya kue.
Beli lagi saja yang baru."
"No...! Kue itu mahal!"
"Aku yang bayar, oke?"
Jessy manyun. Ia tampak tak puas
dengan keputusan Ell. Namun mau bagaimana lagi, ia hanya bisa menurutinya. Dan
mereka kembali ke mobil.
~~∆∆~~
"Berhentilah cemberut. Aku
sudah membeli kuemu lagi dan kita sudah mau sampai ke rumahmu. Apa kau tega
membiarkan orang tuamu melihat wajahmu yang tak karuan? Aku takkan memberi tahu
mereka. Sekarang berusahalah tersenyum meski aku tahu itu akan jadi senyum
palsu. Tapi tentunya kau tak ingin mereka semakin khawatir bukan? Jadi biarlah
hanya aku yang tahu."
Jessy tersenyum kecil dan
mengangguk. "Seharusnya aku sadar bahwa aku punya pria yang bisa
kuandalkan."
"Hah? Apa kau bilang?"
tanya Ell sedikit terkejut. "Bukan apa-apa," jawab Jessy memalingkan
mukanya yang memerah. Ya ampun, apa yang
telah kau katakan Jes? Jangan merusak suasananya. Kau tak tahu apa dia masih
sama seperti dulu atau tidak.
"Tak apa. Kau bisa
mengandalkanku. Aku masih orang yang sama," ucap Ell seperti tahu apa yang
Jessy pikirkan. "Dengan perasaan yang sama," lanjutnya lagi. Jessy
tak percaya dengan apa yang ia dengar. Ia tak berani melihat ke arah Ell,
jikalau itu hanya imajinasinya saja.
Setelah mereka sampai di rumah
Jessy, orang tuanya langsung berlari memeluk dirinya disusul oleh
teman-temannya di belakang.
"Ya Tuhan, anakku!"
teriak ibunya. "Kau baik-baik saja? Matamu sembab. Apa yang terjadi? Kamu
ke mana saja? Mengapa ponselmu tak dapat dihubungi?" tanya ibunya panik.
"Aku baik-baik saja, bu. Ell
datang di saat yang tepat. Lalu mengenai ponselku, aku tak tahu kapan, tapi ponselku mati. Jadi tidak ada yang bisa kulakukan. Maaf
membuat kalian semua khawatir," jawab Jessy menjelaskan. Ia memperhatikan
teman-temannya yang tersenyum lega melihat dirinya yang baik-baik saja. Dan kemudian
melihat ke arah Ell sambil tersenyum lebar. Ell membalas senyumannya.
"Baiklah karena Jessy sudah
pulang, ayo semuanya masuk kembali," ajak ayahnya. Semua kembali masuk ke
dalam rumah, begitu pun Jessy dan Ell. Ell melangkah tepat di belakang Jessy sambil
menggenggam sebuah kotak merah di kantong celananya.
~~€€~~
pic source : https://www.google.com/url?sa=i&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=2ahUKEwj_4qrRpcbkAhVp7nMBHfZ7Ab8QjRx6BAgBEAQ&url=%2Furl%3Fsa%3Di%26source%3Dimages%26cd%3D%26ved%3D%26url%3Dhttps%253A%252F%252Fwww.pinterest.com%252Fpin%252F686236061941926959%252F%26psig%3DAOvVaw1tyvHlUjedxfp0n0Tv1qPi%26ust%3D1568206175885247&psig=AOvVaw1tyvHlUjedxfp0n0Tv1qPi&ust=1568206175885247
Tidak ada komentar:
Posting Komentar