“Apa dia tak datang lagi, ya, hari ini?” desahku. Ini sudah kali keempat aku tak bertemu
dengannya di perpustakaan ini. Seorang gadis manis yang menjadi pelanggang
setia di perpustakaan ini. Dia yang menjadi alasanku untuk datang dan menunggu
selama berjam-jam di sini.
Kincling...!
Suara lonceng pintu berbunyi. aku reflek menoleh ke asal suara. Namun,
lagi-lagi aku harus kecewa. “huh... sudah malam. Pulang sajalah,” keluhku.
Aku
berjalan keluar perpustakaan, melangkah dengan kepala menunduk. Namun saat aku
berjalan menjauh, kudengar suara langkah kaki yang kukenal dengan sangat baik.
Dia datang! Aku berbalik dan melihatnya berjalan mendekat. Seperti sebelumnya,
aku selalu terpanah oleh pesona Peony. Ya, itulah namanya. Cantik, sama seperti
dirinya yang secantik Bunga Peony.
Dia terus
berjalan tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Biasanya, ia datang untuk
mengembalikan buku dan meminjam buku-buku baru. Namun, kali ini ia tak membawa
apapun keluar perpustakaan. Rasanya aneh.
Tanpa
sadar, aku telah mengikutinya hingga ke sebuah rumah sakit. Rasa penasaraanku
semakin menjadi. Aku kembali mengikutinya dan melihatnya memasuki sebuah
ruangan.
“Na,
malam ini kau mau di bacakan cerita apa?” Terdengar suara dari dalam ruangan
itu. “Cerita yang sama,” balas seseorang. Suara mereka semakin membuat diriku
penasaran. Tiba-tiba, tubuhku secara tak sadar membuka pintu ruangan itu dan
membuat mereka terkejut.
“Kau?
Kenapa kau ada di sini?” tanya Peony. “Ah, maaf. Tadi... kulihat... kau
sepertinya buru-buru. Kukira ada apa. Jadi... eemm... ya...,” balasku
terbata-bata.
Dia
tersenyum padaku, “Terima kasih.” Jantungku seperti ingin melompat melihat
dirinya tersenyum. Senyumannya yang indah, jauh dari kata malaikat.
“Jika
kau tak keberatan, bisakah kau menunggu sebentar? Aku harus menidurkan adikku
dulu,” ucapnya. “Ah, tentu saja tidak. Aku akan menunggu di luar saja.”
Malam ini, bintang bersinar sangat terang. Seakan-akan ikut bergembira bersamaku.
Setelah 4 hari tak bertemu dengannya,akhirnya aku bisa berbincang panjang lebar
dengannya. Namun, topik yang dibicarakan tidaklah tepat menurutku.
“Jadi...,”
kucoba melanjutkan percakapan kami. “Adikmu butuh donor sumsum tulang belakang
dan jantung? Paling tidak sampai 2 bulan kedepan? Sudah tanya keluargamu?”
Dia
menggelengkan kepala. “Tidak, tidak mungkin.” Aku menatapnya tak mengerti. Mengapa tidak mungkin? Bukankah saat ada
yang terluka, keluargalah yang akan membantu pertama kali?
“Kau
belum tahu,ya? Kami berdua adalah anak angkat. Dan sejak 5 tahun yang lalu,
keluarga kami mulai menolak keberadaan kami,” jelasnya. Aku terkejut mendengar
ceritanya. Bagaimana bisa sebuah yang sudah mengangkat mereka sebagai anak dan
merawat mereka, tiba-tiba membuang mereka begitu saja? Ditambah lagi, segala
biaya hidup ditanggung oleh Peony seorang diri.
“Maaf,
aku tidak tahu akan hal itu.”
“Tak
apa-apa. Tak masalah. Aku sudah terbiasa menceritakan ini semua. Berkali-kali
orang bertanya dan berkali-kali juga kujelaskan. Meski pada akhirnya mereka
semua hanya ingin tahu saja. Bukan peduli,” ucapnya. Matanya sedikit
berkaca-kaca. Meskipun dia bilang bahwa ia sudah terbiasa, tapi aku tahu di
dalam dirinya ada keinginan bahwa akan ada seseorang yang benar-benar peduli
dengannya.
Spontan,
badanku bergerak mendekatinya dan memeluknya. Kupikir, ia akan mendorongku dan
pergi. Tapi ternyata, ia menangis sejadi-jadinya di pelukanku setelah beberapa
saat terkejut. Air mata yang telah ia tahan selama ini, ia keluarkan semua.
Sekarangpun ia masih menangis di
pelukanku. Tapi bukan karena ceritanya,
melainkan karena adiknya – satu-satunya keluarganya yang tersisa. Batas waktu
semakin dekat, bahkan tak sampai 2 minggu. Adiknya sudah memiliki pendonor
sumsum tulang belakang. Namun, tidak dengan jantung.
“Kenapa,
Clark? Kenapa?!” tangisnya. “Kenapa semua orang yang kusayang pergi dariku? Apa
salahku?! Sebelumnya keluargaku! Kemudian keluarga angkatku! Sekarang adikku
pun akan pergi?! Kenapa?! Beritahu aku apa salahku, Clark?! Beritahu aku!”
keluhnya di tengah-tengah isak tangisnya.
Selama
beberapa lama, ia menangis tersedu-sedu sampai ia kelelahan dan tertidur di
pelukanku. Malam itu, aku memeluknya erat sambil menatap langit. Berharap akan
ada bintang jatuh yang lewat dan mengabulkan permintaannya.
Tuk,tuk,tuk... jariku telunjukku mengetuk meja resepsionis sembari menunggu kartuku
keluar. Mataku tetap awas memperhatikan sekeliling, memastikan Peony tak ada di
sekitar sini. Aku tak ingin ia tahu apa yang ku lakukan. Karena pastinya ia
akan melarang habis-habisan.
“Silakan
kak. Ini kartunya registrasinya,” ucap seorang resepsionis sambil menyodorkan
kartuku. “Terima kasih,” balasku sambil mengambil kartu itu dan pergi dari
sana. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, terdengar seseorang memanggilku
dari belakang. “Clark!”
Langsung
kusembunyikan kartuku di dalam kantong jaket. Aku hanya menolehkan kepala untuk
menjawab panggilan itu. “Clark, kenapa kau tidak ke kamar Peona? Tumben sekali.
Ada apa?” tanya Peony.
Kuperhatikan
sekeliling untuk mencari sebuah alasan yang dapat diterima olehnya. Hingga
kulihat seseorang sedang berbicara di telepon. “Ah, iya. Tadi maunya
berkunjung, tapi tiba-tiba temanku telepon. Ada situasi darurat yang terjadi di
kampus. Dia memintaku untuk segera kembali,” jelasku panjang lebar dan berharap
dia akan percaya dengan apa yang kukatakan.
Peony
diam sebentar, berusaha mengolah seluruh kata-kataku dengan beberapa kali mengedipkan
mata kecilnya. Kemudian ia membalas, “Oh, begitu. Ya, sudah. Pergilah. Keadaan
darurat, bukan?” Aku mengangguk dan kembali melangkah.
Hingga
beberapa langkah setelahnya, kubalikkan badanku dan berteriak memanggilnya,
“Peony!” Ia memutar tubuhnya setelah teriakanku. “Terima kasih telah ada di
hidupku. Aku takkan pernah lupa padamu. Sekali lagi terima kasih!” ucapku
keras-keras, memastikan dia mendengar apa yang kukatakan.
“Ada
apa denganmu? Kenapa bicara seperti itu?” balasnya. Aku menggelengkan kepala.
Kemudian aku melambaikan tangan dan kembali melangkah pergi. Aku tahu, ia pasti bertanya-tanya dalam
hatinya.
Aku berdiri diam, memandang langit sore yang indah di tepi jalan raya tak
jauh dari rumah sakit. Kupuaskan diri melihat langit hangat saat itu dan
kuingat lekat-lekat di pikiranku.
Setelah
puas memandang langit, aku mulai melangkah lagi secara perlahan menuju tempat
seberang. Mata yang fokus pada tujuan, tak memperhatikan sekeliling. Tiba-tiba
sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Aku terkejut dan
tak sempat mengelak.
Braakkk... hantaman keras kurasakan di tubuh bagian kananku. Tubuhku terpental cukup
jauh. Diriku sudah tinggal setengah sadar. Dengan keadaanku yang seperti ini,
aku masih bisa mendengar suara orang-orang sekitar yang berusaha membantuku.
Kesadaranku
semakin menipis seiring dengan waktu. Hingga akhirnya aku dibawa ke UGD di
rumah sakit yang sama dengan Peona. Dokter bergegas untuk menolongku, tapi
kutahan dokter itu. “Dok...tolong...berikan...jantungku...untuk...Peona. Dan
surat ini...untuk...kakaknya. aku mohon,” ucapku dengan susah payah dan
memberikan secarik kertas. Sang dokter – teman dokter Peona – mengangguk dan
mengambil kertasnya dariku.
Semua
sudah terjadi. Sekarang, aku hanya bisa berharap bahwa Tuhan menyetujui
keinginanku. Kututup mataku, kuukir senyum kecil di mulutku, dan kuhembuskan
nafas terakhirku.
Teruntuk
Peony,
Aku tahu kau
pasti marah saat kuberitahukan semuanya. Tapi aku juga tak mau melihatmu selalu
bersedih. Ya, harus kuakui. Kau juga pasti sedih akan kepergianku. Tapi, kau
akan melupakanku perlahan-lahan. Maka dari itu, kuberikan jantungku untuk
adikmu. Agar kau tetap memiliki keluarga disisa hidupmu. Saat kau merindukanku,
kau cukup mendengar detak jantung adikmu. Karna aku tak sepenuhnya pergi, aku
berdetak di dalam tubuh adikmu. Maaf, aku sangat egois dengan memilih pergi.
Tapi aku yakin, kita akan bertemu lagi suatu saat, di suatu tempat.
Temanmu, Clark
Tidak ada komentar:
Posting Komentar