Cari

18 Agustus 2018

Detak Cinta Tak Mati



“Apa dia tak datang lagi, ya, hari ini?” desahku. Ini sudah kali keempat aku tak bertemu dengannya di perpustakaan ini. Seorang gadis manis yang menjadi pelanggang setia di perpustakaan ini. Dia yang menjadi alasanku untuk datang dan menunggu selama berjam-jam di sini.

Kincling...! Suara lonceng pintu berbunyi. aku reflek menoleh ke asal suara. Namun, lagi-lagi aku harus kecewa. “huh... sudah malam. Pulang sajalah,” keluhku.

Aku berjalan keluar perpustakaan, melangkah dengan kepala menunduk. Namun saat aku berjalan menjauh, kudengar suara langkah kaki yang kukenal dengan sangat baik. Dia datang! Aku berbalik dan melihatnya berjalan mendekat. Seperti sebelumnya, aku selalu terpanah oleh pesona Peony. Ya, itulah namanya. Cantik, sama seperti dirinya yang secantik Bunga Peony.

Dia terus berjalan tanpa menoleh ke kanan atau kiri. Biasanya, ia datang untuk mengembalikan buku dan meminjam buku-buku baru. Namun, kali ini ia tak membawa apapun keluar perpustakaan. Rasanya aneh.

Tanpa sadar, aku telah mengikutinya hingga ke sebuah rumah sakit. Rasa penasaraanku semakin menjadi. Aku kembali mengikutinya dan melihatnya memasuki sebuah ruangan.

“Na, malam ini kau mau di bacakan cerita apa?” Terdengar suara dari dalam ruangan itu. “Cerita yang sama,” balas seseorang. Suara mereka semakin membuat diriku penasaran. Tiba-tiba, tubuhku secara tak sadar membuka pintu ruangan itu dan membuat mereka terkejut.

“Kau? Kenapa kau ada di sini?” tanya Peony. “Ah, maaf. Tadi... kulihat... kau sepertinya buru-buru. Kukira ada apa. Jadi... eemm... ya...,” balasku terbata-bata.

Dia tersenyum padaku, “Terima kasih.” Jantungku seperti ingin melompat melihat dirinya tersenyum. Senyumannya yang indah, jauh dari kata malaikat.

“Jika kau tak keberatan, bisakah kau menunggu sebentar? Aku harus menidurkan adikku dulu,” ucapnya. “Ah, tentu saja tidak. Aku akan menunggu di luar saja.”

Malam ini, bintang bersinar sangat terang. Seakan-akan ikut bergembira bersamaku. Setelah 4 hari tak bertemu dengannya,akhirnya aku bisa berbincang panjang lebar dengannya. Namun, topik yang dibicarakan tidaklah tepat menurutku.

“Jadi...,” kucoba melanjutkan percakapan kami. “Adikmu butuh donor sumsum tulang belakang dan jantung? Paling tidak sampai 2 bulan kedepan? Sudah tanya keluargamu?”

Dia menggelengkan kepala. “Tidak, tidak mungkin.” Aku menatapnya tak mengerti. Mengapa tidak mungkin? Bukankah saat ada yang terluka, keluargalah yang akan membantu pertama kali?

“Kau belum tahu,ya? Kami berdua adalah anak angkat. Dan sejak 5 tahun yang lalu, keluarga kami mulai menolak keberadaan kami,” jelasnya. Aku terkejut mendengar ceritanya. Bagaimana bisa sebuah yang sudah mengangkat mereka sebagai anak dan merawat mereka, tiba-tiba membuang mereka begitu saja? Ditambah lagi, segala biaya hidup ditanggung oleh Peony seorang diri.

“Maaf, aku tidak tahu akan hal itu.”

“Tak apa-apa. Tak masalah. Aku sudah terbiasa menceritakan ini semua. Berkali-kali orang bertanya dan berkali-kali juga kujelaskan. Meski pada akhirnya mereka semua hanya ingin tahu saja. Bukan peduli,” ucapnya. Matanya sedikit berkaca-kaca. Meskipun dia bilang bahwa ia sudah terbiasa, tapi aku tahu di dalam dirinya ada keinginan bahwa akan ada seseorang yang benar-benar peduli dengannya.

Spontan, badanku bergerak mendekatinya dan memeluknya. Kupikir, ia akan mendorongku dan pergi. Tapi ternyata, ia menangis sejadi-jadinya di pelukanku setelah beberapa saat terkejut. Air mata yang telah ia tahan selama ini, ia keluarkan semua.

Sekarangpun ia masih menangis di pelukanku. Tapi bukan karena ceritanya, melainkan karena adiknya – satu-satunya keluarganya yang tersisa. Batas waktu semakin dekat, bahkan tak sampai 2 minggu. Adiknya sudah memiliki pendonor sumsum tulang belakang. Namun, tidak dengan jantung.

“Kenapa, Clark? Kenapa?!” tangisnya. “Kenapa semua orang yang kusayang pergi dariku? Apa salahku?! Sebelumnya keluargaku! Kemudian keluarga angkatku! Sekarang adikku pun akan pergi?! Kenapa?! Beritahu aku apa salahku, Clark?! Beritahu aku!” keluhnya di tengah-tengah isak tangisnya.

Selama beberapa lama, ia menangis tersedu-sedu sampai ia kelelahan dan tertidur di pelukanku. Malam itu, aku memeluknya erat sambil menatap langit. Berharap akan ada bintang jatuh yang lewat dan mengabulkan permintaannya.

Tuk,tuk,tuk... jariku telunjukku mengetuk meja resepsionis sembari menunggu kartuku keluar. Mataku tetap awas memperhatikan sekeliling, memastikan Peony tak ada di sekitar sini. Aku tak ingin ia tahu apa yang ku lakukan. Karena pastinya ia akan melarang habis-habisan.

“Silakan kak. Ini kartunya registrasinya,” ucap seorang resepsionis sambil menyodorkan kartuku. “Terima kasih,” balasku sambil mengambil kartu itu dan pergi dari sana. Baru saja aku berjalan beberapa langkah, terdengar seseorang memanggilku dari belakang. “Clark!”

Langsung kusembunyikan kartuku di dalam kantong jaket. Aku hanya menolehkan kepala untuk menjawab panggilan itu. “Clark, kenapa kau tidak ke kamar Peona? Tumben sekali. Ada apa?” tanya Peony.

Kuperhatikan sekeliling untuk mencari sebuah alasan yang dapat diterima olehnya. Hingga kulihat seseorang sedang berbicara di telepon. “Ah, iya. Tadi maunya berkunjung, tapi tiba-tiba temanku telepon. Ada situasi darurat yang terjadi di kampus. Dia memintaku untuk segera kembali,” jelasku panjang lebar dan berharap dia akan percaya dengan apa yang kukatakan.

Peony diam sebentar, berusaha mengolah seluruh kata-kataku dengan beberapa kali mengedipkan mata kecilnya. Kemudian ia membalas, “Oh, begitu. Ya, sudah. Pergilah. Keadaan darurat, bukan?” Aku mengangguk dan kembali melangkah.

Hingga beberapa langkah setelahnya, kubalikkan badanku dan berteriak memanggilnya, “Peony!” Ia memutar tubuhnya setelah teriakanku. “Terima kasih telah ada di hidupku. Aku takkan pernah lupa padamu. Sekali lagi terima kasih!” ucapku keras-keras, memastikan dia mendengar apa yang kukatakan.

“Ada apa denganmu? Kenapa bicara seperti itu?” balasnya. Aku menggelengkan kepala. Kemudian aku melambaikan tangan dan kembali melangkah pergi.  Aku tahu, ia pasti bertanya-tanya dalam hatinya.

Aku berdiri diam, memandang langit sore yang indah di tepi jalan raya tak jauh dari rumah sakit. Kupuaskan diri melihat langit hangat saat itu dan kuingat lekat-lekat di pikiranku.

Setelah puas memandang langit, aku mulai melangkah lagi secara perlahan menuju tempat seberang. Mata yang fokus pada tujuan, tak memperhatikan sekeliling. Tiba-tiba sebuah mobil datang dengan kecepatan tinggi dari arah kanan. Aku terkejut dan tak sempat mengelak.

Braakkk... hantaman keras kurasakan di tubuh bagian kananku. Tubuhku terpental cukup jauh. Diriku sudah tinggal setengah sadar. Dengan keadaanku yang seperti ini, aku masih bisa mendengar suara orang-orang sekitar yang berusaha membantuku.

Kesadaranku semakin menipis seiring dengan waktu. Hingga akhirnya aku dibawa ke UGD di rumah sakit yang sama dengan Peona. Dokter bergegas untuk menolongku, tapi kutahan dokter itu. “Dok...tolong...berikan...jantungku...untuk...Peona. Dan surat ini...untuk...kakaknya. aku mohon,” ucapku dengan susah payah dan memberikan secarik kertas. Sang dokter – teman dokter Peona – mengangguk dan mengambil kertasnya dariku.

Semua sudah terjadi. Sekarang, aku hanya bisa berharap bahwa Tuhan menyetujui keinginanku. Kututup mataku, kuukir senyum kecil di mulutku, dan kuhembuskan nafas terakhirku.

Teruntuk Peony,

Aku tahu kau pasti marah saat kuberitahukan semuanya. Tapi aku juga tak mau melihatmu selalu bersedih. Ya, harus kuakui. Kau juga pasti sedih akan kepergianku. Tapi, kau akan melupakanku perlahan-lahan. Maka dari itu, kuberikan jantungku untuk adikmu. Agar kau tetap memiliki keluarga disisa hidupmu. Saat kau merindukanku, kau cukup mendengar detak jantung adikmu. Karna aku tak sepenuhnya pergi, aku berdetak di dalam tubuh adikmu. Maaf, aku sangat egois dengan memilih pergi. Tapi aku yakin, kita akan bertemu lagi suatu saat, di suatu tempat.

Temanmu, Clark

Tidak ada komentar:

Posting Komentar