
“Ha...ha...ha..,”tawa Salma. “Yang bener lu? Masa gitu,sih?” Tanya dia penasaran. “Iya, bener. Gw gak bohong,” jawabku. “Kalo gw sudah tutup muka! Itu,sih,malu-in banget!” Bicaranya blak-blakan. “Oke,deh. Sudah sore, gw harus pulang.”
“Ok, tapi jangan lupa,ya! Natal nanti gw tunggu kedatangan lu!” Bicaraku menekan. “Iya, iya, gw janji. Tunggu aja. Bye!”
------------------------------------||------------------------------------------
Memori itu masih melekat kuat dipikiranku. Percakapanku dengan temanku, Salma Putriyana, menjelang natal 1 tahun lalu.
Aku Ruya Yatsumito. Aku bukanlah anak keturunan Jepang. Aku hanya gadis yatim piatu cacat yang ditemukan di depan gereja. Bapa, Kakema Yatsumito, yang telah menemukan dan merawatku hingga kini. Dia adalah pastor keturunan Jepang. Aku mengidap penyakit Cerebral Palsy Spastik, sehingga aku harus selalu menggunakan kursi roda. Bapa mengetahuinya setelah membawaku ke dokter karna aku tak bisa berjalan walau umurku sudah menginjak 3 tahun.
Sejak saat itu, setiap sore Bapa selalu membawaku pergi ke taman dekat gereja. Hanya agar aku tidak bosan terus-terusan berada di panti. Di taman itulah, aku berjumpa dengan Salma. Dan sejak itupun, aku dan Salma berteman.
“Ruya! Salma datang,nih!” Teriakan suster gereja menyadarkanku. “Iya, sus, aku datang!” Segera aku keluar dari kamar. Hanya perlu beberapa meter, sosok Salma sudah terlihat jelas.
“Hei, yo, Ruya! Gimana? Seperti Biasa?” Sapanya.
“Yoi, dong! Gw gk mungkin gk nunggu lu!” Balasku.
Salma selalu mengunjungiku setelah berdoa di gereja. Dan kamipun bercakap-cakap seperti biasa. Tiada hari tanpa kami bersama.
“Oh, ya, Ru! Untuk natal kali ini, gw berjanji akan memberikan sesuatu yang luar biasa. Lu akan menyukainya.”
“Benarkah? Apa itu?”
“Eitss... no,no,no,no! Bukan sekarang! Saat natal nanti, lu akan tahu. Baiklah, sekarang gw pulang dulu. Bye!”
“Bye...” Aku melambaikan tangan. ‘Sesuatu yang luar biasa? Apa, ya?’ Aku terus menerka-nerka.
------------------------------------||-----------------------------------------
“Sus? Salma tadi ada datang gk?” Tanyaku.
“Ngaak, setahu sus gk ada yang datang,” jawabnya.
“Oh, gitu, ya? Ya, sudah, deh.”
Aneh? Salma selalu mengunjungiku. Meskipun dia sibuk dengan tugas sekolah ataupun perayaan di rumahnya, dia pasti akan telpon. Tapi kali ini, dia tak ada kabar.
------------------------------------||------------------------------------------
Sudah 2 minggu sejak kedatangannya terakhir kali. Dia benar-benar tak ada kabar. “Ruya?” Kudengar Bapa memanggil. “Ya, Bapa?” Balasku.
“Makan malam sudah siap. Ayo, makan!” Ajak Bapa.
“Hhmm...”
“Lho, putri Bapa ini kenapa? Kok, murung sekali?” Bapa bertanya. Aku hanya menggelengkan kepala. “Jangan bohong! Putri pastor tak pernah berbohong, lho!”
“Iya, iya. Ini tentang Salma,” jelasku. “fuuhh...” Bapa bernafas lega. “Ternyata hanya Salma.” Aku menghadap Bapa tak mengerti. “Maksudnya?” Bapa tersenyum lebar. “Bapa kira tentang cowok.”
“Dih! Apaan coba! Aku kenal 1 cowok aja ngak.”
“Hihihi... Salma kenapa memangnya?” Bapa mengganti topik pembicaraan. “Dia gk ada kabar. Sudah 2 minggu dia tak datang lagi.” Aku menjelaskan. “Tapi sepertinya Bapa lihat dia datang ke gereja, kok.”
“Benarkah? Tapi kenapa dia tak mengunjungiku?!”
“Mungkin dia ada urusan. Kan, kita tak tau kegiatan di rumahnya.”
“Tapi selama bertahun-tahun, dia selalu mengabari jika sibuk.” Bapa terdiam. Bapa tahu benar, aku lebih mengenal Salma darinya. “Baiklah, sekarang kita makan dulu. Calm down and everything will be alright.” Aku menghela nafas. “I hope too.”
--------------------------------------||----------------------------------------
“Jingle bells, jingle bells, jingle all the way...” Kuputar musik di handphoneku berulang-ulang. Sudah 7 jam lebih, tapi Salma tak datang-datang juga. Marah, kecewa, sedih, semua perasaanku campur aduk.
KRIII...NG!!! Telepon panti berbunyi. “Ya, hallo?...... ya, ya, tunggu sebentar. Ruya? Ada telpon untukmu.” Suster mengarahkan telepon padaku. Aku mengambil telepon itu. “Dari siapa?”
“Dari Salma.” Aku menatap suster tak percaya. OH, GOD!!! This is what I’ve been waiting for! “Hallo, Salma?! Hey, kemana aja lu? Kok, gk ada kabar?”
“Ruya?” Salma berkata pelan. “Iya, ini gw. Ada apa? Lu gk ada kabar sama sekali. Sekarang sudah natal. Mana hadiah yang lu janjikan?” Aku menunggu jawaban darinya. Tapi tak ada 1 patah kata pun yang dia ucapkan. “Salma? Hallo?”
“Maaf, Ruya.” Ucapnya dengan nafas berat. “Maaf kenapa?” Tanyaku penasaran. “Kita takkan merayakan natal bersama lagi.”
“Tapi kena....” TUUUT,TUUUT,TUUUT. Dia menutup teleponnya sebelum kuselesaikan kalimatku. Aku benar-benar tak mengerti. Kenapa kami tak bisa merayakan natal bersama lagi? Salma bukanlah orang yang sembarang memutuskan pilihan.
“Ruya?” Bapa memanggil. “Sekarang sudah sore, kamu tak mau ke taman?” Taman!!! Ya, setiap sore Salma selalu ke taman. “Ya, Bapa! Aku mau!”
------------------------------------||------------------------------------------
“Salma!” Aku berteriak. “Ruya?!” Salma tampak kaget. “Apa maksud lu?! Apanya yang takkan lagi?!” Salma terdiam. “Hey! Ayo, jawab!” Aku melanjutkan kalimatku. “Padahal lu sudah janji sama gw, lu bakal kasih gw hadiah luar biasa! Sekarang mana?! Jika memang lu gk bisa kasih, tak masalah. Tak perlu sampai bilang takkan bisa merayakan natal bersama lagi! Atau lu bisa kasih gw hadiah kecil saja. Gw gk begitu butuh hadiah lu. Gw cuma mau lu selalu ada di sisi gw. Gk ada yang lain! Dan sekarang lu.....”
“GW GAK BISA BERTEMAN DENGAN LU!” Dia memotong pembicaraanku. “Orang tua gw gk mau gw berteman dengan gadis cacat seperti lu!”
Kata-katanya sangat menusukku. 10 tahun kami berteman, ini pertama kalinya dia menyebutku cacat. Tetes air mata mulai membasahi pipiku. Tapi bukannya menghiburku, ia hanya berlalu. Berjalan kembali ke mobil mewahnya.
Bapa menghampiriku. “Ru? Kamu gak apa-apa?” Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Rasanya lidahku kelu, bibirku beku. Aku hanya bisa menatap langit luas yang ada di atasku. “Bapa? Kenapa rasanya natal kali ini begitu kelabu?” Bapa mengerti apa yang kumaksud. “Sebaiknya kita pulang sekarang.” Aku mencegah Bapa. “Tidak. Aku ingin ke gereja dulu. Ada yang ingin kutanyakan pada-Nya.”
-------------------------------------||-----------------------------------------
“Kamu yakin tak perlu Bapa temani?” Aku hanya mengangguk. “Baiklah, jika ada apa-apa, panggil saja Bapa.” Bapa berjalan keluar gereja. Disaat yang sama, air mataku mengalir deras. “Sebenarnya apa yang Kau inginkan?”
“Apa tidak cukup Kau bermain-main dengan nasibku? Pertama, aku dibuang oleh orang tuaku. Kedua, aku mengidap penyakit si**an ini. Dan sekarang, Kau pisahkan aku dari satu-satunya teman yang kupunya! Kenapa?! Katanya Kau takkan berikan cobaan melebihi kemampuan hamba-Mu! Tapi ini sudah melebihi kemampuanku!!! KATAKAN!! SEBENARNYA APA YANG KAU INGINKAN?!!!”
“Lu anak pastor....” Aku mengenal suara itu. Akupun menoleh ke arah suara. “Harusnya lu tahu kalimat ‘orang sabar disayang Tuhan’. Benarkan?”
“We wish you a merry christmas, we wish you a merry christmas, we wish you a merry christmas and a happy new year...” Sekumpulan anak muncul sambil terus bernyanyi. “Merry christmas and happy new year, Ruya,” senyum Salma. Aku menangis dengan keras. “Eh,eh,eh?! Kok, malah nangis?” Salma mulai panik.
“Jahat! Lu satu-satunya teman yang gw punya! Gw kira lu benar-benar ninggalin gw!” Aku berteriak dan menangis di depannya. “Iya, iya. Maaf? Btw, akting gw hebat,kan?” Salma menghiburku dengan senyumannya yang lebar. “Ih... dasar!” Aku mencubit pipinya. “Auw,auw! Sakit tahu!” Salma mengelak.
Kami kembali tertawa bersama lagi. Tapi kali ini berbeda. Kali ini Salma memberiku hadiah yang luar biasa. Seluruh teman sekelasnya datang untukku. Sekarang aku tak perlu kuatir lagi. Meskipun dunia melupakanku, Salma takkan pernah meninggalkanku. Dan akupun mengetahui makna lain dari natal.
Tuhan...., maaf, aku sudah berteriak pada-Mu. Maaf, aku juga sudah meragukan-Mu. Aku tarik kembali semua ucapanku. Karna sekarang aku tahu, tanpa campur tangan-Mu.... semua akan lebih buruk dari ini....
† THE END †
Tidak ada komentar:
Posting Komentar